Share

Kegelisahan Delia

BAB 8

Delia POV

Setelah sadar dari lamunan panjangku, aku dikejutkan dengan posisi di mana mobil ini berhenti. Bagaimana mungkin bosku ini tau, tepatnya rumah tempatku dan Lila tinggal. 

Sepanjang perjalanan aku sibuk dengan isi pikiranku, siapa yang menunjukkannya arah? setan? tidak mungkin 'kan?

"Bagaimana Bapak bisa tau? kalau ini rumah tempat saya tinggal" tanyaku dengan wajah bingung. 

"Apa yang sedang kamu lamunkan, hah!?" dia balik bertanya dengan kesal. 

"Sa-saya, tadi sa-saya" melihatnya kesal, membuat bibirku kelu, mendadak aku menjadi orang gagap. 

"Sa-sa, apa! hah? sapi?" ucapnya yang membuatku berpikir 'dia sedang kesal atau sedang melawak'.

"Katakan, apa yang kamu pikirkan, hah?" tanyanya kembali dengan wajah yang mendekat ke wajahku. 

Dag.. dig..  dug.. 

Posisi kami membuat jantungku berdetak tidak normal, biasanya aku akan marah jika ada lelaki yang sedekat ini denganku. Tapi ini? kenapa aku menjadi bungkam?

Aku ingin bersuara, tapi bertatapan dengan matanya yang tajam seolah mengunci bibirku. Apa yang terjadi denganku? apa ada seseorang yang mengalami hal sama sepertiku? Ah... aku akan bertanya pada Lila nanti. 

Matanya perlahan metutup, namun mataku semakin membulat. Sampai akhirnya ... 

'Hatchiiii!' 

Aku bersin dengan cukup kuat, sampai-sampai sedikit percikan air liurku mengenai wajah bosku ini.

"AGHRRR... kamu!" kali ini dia benar-benar marah, aku dapat merasakan itu.

"Ma-maaf Pak, maaf" kataku seperti anak kucing yang sedang ketakutan. 

"Tadi saya hanya berpikir Pak, bagaimana cara mengambil hati Denis, membuat Denis nyaman dengan saya" sambungku, menjawab pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. 

"Kamu melamun seperti orang mati!" makinya dengan kejam. 

Ingin sekali aku memelintir bibirnya, sembarangan sekali dia bicara. Namun aku harus sabar, di sini aku juga bersalah. 

"Hmm.. maaf Pak, saya tidak sengaja" ada jeda, sebelum aku melanjutkan.

"Bapak tahu ini rumah saya?" tanyaku kembali dengan takut. 

"Sudah saya katakan, kamu melamun seperti orang mati! Bahkan kamu tidak sadar, saya membuka tas dan melihat berkas lamaran kerja kamu. Dalam berkas itu tertulis alamat lengkap tempat kamu tinggal" jelasnya dengan sedikit penekanan. 

"Bapak membuka tas saya? tidak sopan sekali" ucapku kesal, berani sekali dia. 

"Saya tidak akan membuka tas kamu, jika kamu tidak mendadak mati" balasnya lagi. 

Aku hanya bisa membatin 'Ya... Tuhan, makhluk ciptaanMu ini benar-benar keterlaluan. Tidak bisakah dia berbicara lebih buruk lagi? rasanya aku ingin melenyapkan manusia sepertinya dari muka bumi ini'. 

Untuk mengakhiri perdebatan ini, aku pun mengajaknya masuk ke rumah sewaku. Tapi dia mengatakan 'sibuk' dan harus segera pergi. 

Kubuka kunci pintu dan masuk ke rumah dengan mengucapkan salam. Sekarang masih jam 06.30 pm, kemungkinan Lila masih dalam perjalanan pulang. 

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pm, tapi Lila belum juga sampai. Di mana dia? tidak mungkin dia lupa jalan pulang 'kan?

Dor.. dor.. dorr

"Ya ampun... siapa sih? ketuk pintu begitu banget! perasaan biaya sewa juga uda bayar" gerutuku sembari berjalan ke arah pintu. 

"Deliaaa!!!" 

Begitu pintu kubuka Lila langsung berteriak dan memelukku erat. 

"Ishh... berisik! kenapa sih? happy banget" ujarku sembari melepas pelukan dengannya. 

Meski kesal karena Lila mengetuk pintu seperti setan yang kesetanan, tapi melihat rona bahagia di wajahnya membuatku urung untuk sedikit mengomelinya. 

"Tau gak? siapa yang antar aku pulang?" tanya Lila dengan senyum mengembangkan serta kedua alis yang sama-sama naik. 

"Kalau gak bisa naikin salah satu alis, gak usah sok-sokan dinaikin gitu, lucu tau ngak" ujarku tanpa menjawab pertanyaannya. 

"Masuk, ceritanya di dalam saja. Aku juga mau cerita sesuatu" ujarku menyuruhnya masuk.

Tidak mungkinkan kita berbicara di depan pintu, berdiri pula. Dan lagi, hari mulai malam. Aku tidak ingin sampai 'terdengar burung hantu, suaranya merdu, tut.. tu.. tut.. tu' seperti lagu yang sering kunyanyikan saat kecilku dulu, hihi. 

"Delll! tadi kamu tau ngak?!" ujar Lila langsung heboh membuka pembicaraan ketika baru duduk. 

"Shutt! diam, mandi dulu sana" suruhku. 

"Del! please, dengar dulu" ujarnya lagi dengan wajah memelas. 

"Ngak! sana mandi" suruhku kembali. 

"Dasar!" Lila bangkit dengan perasaan kesal dan melangkah pergi ke kamar mandi. 

Sembari menunggu Lila selesai mandi, aku kembali termenung. Bagaimana mengatakan pada Lila? Dia pasti sedih. 

Kami sudah cukup lama tinggal bersama dan sekarang aku harus pergi dari rumah sewa ini untuk bekerja, Lila akan tinggal sendiri nanti. 

'Ceklek' 

Suara pintu kamar mandi terbuka, refleks aku pun menoleh. Lila terlihat sedang membungkus rambutnya dengan handuk. 

Wajahnya terlihat sangat bahagia, sangat berbeda dari wajah bahagia Lila yang biasa aku lihat. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengannya. Jatuh cinta? hmm.. mungkin saja. 

Senyum di wajah Lila tidak lepas, saat ini dia sedang duduk di depanku sembari menyeduh teh hangat yang telah kusediakan untuknya.

"Del, tahu ngak?" tanyanya memulai pembicaraan dengan senyum mengembang yang tidak lepas dari wajahnya.

"Kamu gila ya? dari tadi tanya itu terus. 'del, tahu ngak?' - 'del, tahu ngak' ya jelas, aku gak tahulah, kan kamu belum kasih tau" cercaku panjang lebar dan di tengah kalimat kutirukan gayanya ketika bertanya. 

"Gak asik! kamu gak mau tahu gitu, kenapa aku bahagia?" ujarnya dengan bibir yang maju beberapa centi, tapi kemudian di akhir kalimat dia kembali tersenyum lebar, dengan kedua alis yang naik.

"Oke-oke, kamu kenapa Lila sayang?" tanyaku dengan senyum. 

"Ceritanya gini..." Lila mulai bercerita, tentang hal apa yang membuatnya bahagianya hari ini.

Ternyata hal yang membuatnya seperti orang kesambet adalah 'Yuda'. Lila begitu bahagia karena Yuda menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. 

Di sela Lila bercerita, aku kembali termenung. Setelah malam ini berlalu, kami tidak lagi tinggal seatap. Iya, besok pagi pak Ganda akan menjemputku untuk mulai bekerja dan tinggal di rumahnya.

Meski kita tidak begitu dekat, tapi kita cukup dekat. Hm... aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan pertemanan kami, tapi yang pasti, aku menyayangi Lila sebagai teman seperjuanganku. 

"Del, Delia, Del!" ujarnya mengagetkanku dengan menggebrak meja yang menjadi pembatas di antara kami. 

"Ngelamunin apa sih?" lanjutnya bertanya. 

"Ngak, ngak ada" sanggahku. Aku masih bingung harus mulai mengatakan ini dari mana.

"Jadi menurut kamu, Pak Yuda itu gimana?" tanya Lila masih dengan wajah berseri. 

Aku diam, menilik ekspresi wajah Lila. Mungkinkah dia berpikir Yuda menyukainya? ah... naif sekali temanku ini. 

"Apa kamu berpikir, bahwa Pak Yuda menyukaimu?" tanyaku balik, to the poin menanyakan apa yang ada di otakku.

"Hmm... ng-ngak-ngak, aku kan cuma tanya sama kamu" bantahnya, namun dengan wajah yang bersemu malu. 

Dan sekarang aku makin yakin, Lila sedang jatuh cinta. Entah hal apa yang sudah dilakukan Pak Yuda, mengingat Lila adalah perempuan tomboi yang tidak mudah jatuh hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status