Share

MENUNGGU

BAB 3

Delia POV

Di sini aku sekarang, duduk dalam sebuah cafe menunggu seseorang yang sebelumnya sudah kuhubungi, tapi sudah hampir dua jam aku menunggu dia tidak datang juga. Dia benar-benar seenaknya! Dia yang menentukan waktu dan tempat bertemu, tapi dia juga yang lambat. 

Dasar! Apa semua orang berduit seperti itu? Semaunya saja pada orang yang membutuhkan! Sudah sedari tadi aku kesal dan terus memaki. Ini sudah di luar batas, mau berapa lama lagi aku menunggu? Sampai cafe ini tutup? sialan! Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dia benar-benar keterlaluan. Lebih baik aku pulang sekarang, mungkin memang pekerjaan ini bukan untukku. 

Saat aku akan bangkit dari kursi yang hampir dua jam kududuki, seseorang mengintrupsiku. 

"Delia!" Suaranya membuatku menoleh ke belakang, aku mengira itu Pak Yuda, ternyata bukan. Dia Beni, temanku dan Lila. 

"Ha-hai ... Ben," jawabku kaku, tidak menyangka kita akan bertemu di sini. 

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya dengan senyum ramah. 

"Aku lagi nunggu seseorang," jawabku dengan tenang. 

"Seseorang? Kamu punya pacar? Wah ... selamat, ya, Del. Akhirnya ada juga yang—" Belum sempat Beni menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotongnya. 

"Yang mau, maksudnya?" sambungku dengan wajah kesal.

"Buaahahaaaahaha ...," tawanya memenuhi seisi cafe, mungkin dia lupa di mana dia berada. 

"Bukan itu maksudnya, akhirnya ada juga yang bisa dapetin hati kamu, dia beruntung banget," ujarnya dengan ... entahlah, tatapan itu seperti 'tulus' mungkin. 

"Mau menghina, apa gimana?" tanyaku, seolah tidak memperdulikan ucapannya. Meski dalam hati ada gemuruh merah muda. 

"Serius—" Untuk kedua kalinya aku memotong kalimatnya. 

"Dah ... jangan lagi dibahas. Lagian yang aku tunggu itu, orang yang mau ngasih aku pekerjaan. Aku lagi butuh banget ini," ujarku menjelaskan. 

"Bukan pacar kamu?" tanyanya kembali. 

"Ya, bukanlah, lagian siapa yang mau sama aku coba?" jawabku dengan suara yang 'kubuat' sedih.

"Iya juga, ya, siapa yang mau?" balasnya santai sembari mengelus dagu seolah berpikir.

"Jahattttt!" seruku tak terima, dan lagi-lagi dia tertawa dengan lebarnya. 

Puluhan panggilan terus saja mengusikku, siapa lagi pelakunya jika bukan Bapak Yuda yang terhormat. Belasan pesan-pesan pun masuk bertubi-tubi ke ponsel bututku, tentu saja pengirimnya orang yang sama. 

Aku sangat kesal, sampai malam menjelang pun dia tidak datang. Beruntung, Beni mau menemaniku menunggu. Kami banyak bercerita siang tadi, sampai aku pun melupakan alasan kenapa aku pergi ke cafe. 

          

"Ponsel kamu bunyi terus, kenapa nggak diangkat?" seru Lila, sepertinya dia terganggu dengan bunyi ponselku. 

"Kalau nggak mau angkat teleponnya, buat mode diam, dong!" serunya lagi. 

"Ponsel aku butut, nggak bisa mode-modean," balasku cuek, karena memang benar.

Lila yang kesal, tanpa aku duga, langsung meraih ponsel yang kuletakkan di sebelahku. Dengan santainya dia mengangkat telepon dari Yuda. 

"Halo, dengan siapa dan ada perlu apa? Langsung saja, saya sibuk!" Lila yang sama sekali tidak tahu, kalau yang menelepon itu Yuda, manajer restoran tempat dia bekerja, langsung saja to the point dengan gaya sok cool-nya.

"Halo, ini dengan Delia?" balas seseorang di seberang telepon. Lila sengaja mengeraskan volume suara menjadi full, agar kami dapat mendengar bersama. 

"Delia sudah mampus, jangan cari dia lagi."

Mendengar jawaban Lila yang sangat santai, membuat mataku melebar. Seenaknya saja dia menjawab, dasar teman gila. Dan dia? yang kutatap dengan mata menyalaku, hanya tersenyum tanpa dosa dengan menunjukkan gigi-gigi rapinya.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung merebut ponselku dari genggaman Lila, mengecilkan volume suara yang sebelumnya tinggi, dan mulai berbicara dengan si penelpon. 

"Halo? saya Delia. Bagaimana kabar anda, Pak?" ujarku seolah tak ada masalah sama sekali. Lila yang penasaran dengan siapa aku menelepon, mencoba menguping.

"Maaf Delia, maafkan saya. Hari ini benar-benar hari sial saya. Pertama meeting dengan klien saya batal, kedua—" Belum selesai dia menjelaskan, aku langsung memotong ucapannya.

"Jangan curhat, Pak! Saya bukan psikologi," ujarku kesal, dan mematikan telepon secara sepihak.

Lila yang sedari tadi memperhatikanku, akhirnya bertanya. "Siapa sih, Del? Kalau dari suaranya, nggak asing. Tapi siapa?" tanya Lila penasaran. 

"Boss kamu," jawabku singkat. 

"Boss aku? Siapa, sih?" tanyanya lagi, semakin penasaran. 

"Manajer restoran DF," jawabku cuek. 

"Pak Yuda? Kamu ada hubungan apa sama Pak Yuda?" tanyanya dengan nada curiga.

Aku pun mulai menceritakan semuanya kepada Lila, berawal dari Yuda yang menolak lamaran kerjaku, dan tawarannya yang ingin menjadikanku baby sitter anak atasannya. Kemudian, tentang kejadian hari ini, di mana aku menunggunya seharian di cafe. Tentu saja, bagian aku yang bertemu Beni tidak kuceritakan. Aku tidak ingin dia salah paham. 

Setelah mendengarkan semua ceritaku, wajahnya mulai menunjukkan ketidaksukaan. 

"Kenapa baru memberi tahu?" tanyanya dengan lirikan mata. 

"Karena kau tidak tahu," jawabku sekenanya saja. Sebab aku tahu, dia tengah marah padaku. 

"Aku serius!" serunya, menuntut penjelasan lagi dariku. 

Beginilah Lila, rasa penasarannya tinggi. Saat ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dia akan terus bertanya. Aku yang tidak ingin dia marah karena masalah sepele ini, akhirnya mencoba menjelaskan. 

Meskipun sebenarnya tidak ada yang kututupi, aku hanya tidak ingin bercerita, itu saja. Bagaimana pun, aku juga memberi batasan dalam berteman. Aku tidak ingin, mempublikasi segala hal tentangku kepada orang terdekatku sekali pun. Untuk Lila, bukan aku tidak mempercayainya atau meragukan solidaritasnya dalam berteman. Namun, memang, aku tidak mudah bercerita tentang apa pun kepada siapa pun.

"Aku sudah memberitahumu saat itu juga, saat aku keluar dari ruang wawancara itu, kamu bertanya, apa aku di terima? Saat itu juga aku langsung menjawab 'tidak'. Terkait alasan kenapa aku tidak menceritakan tentang tawaran itu, karena aku merasa itu tidak penting. Pada saat itu, aku pun tidak memiliki minat menjadi baby sitter. Sampai akhirnya, aku berpikir, tidak ada salahnya mencoba. Apa sudah jelas, nona cantik?" 

Penjelasan yang sangat panjang, kuakhiri dengan sedikit menggodanya, agar wajah itu kembali seperti biasa. 

Lila yang mendengar penjelasanku, akhirnya tersenyum. Menepuk pelan bahuku dan mengatakan. "Ceritakan saja, aku senang mendengarmu bercerita. Hanya dengan kamu bercerita, aku merasa kamu menganggapku ada, sebagai tempatmu berbagi," ujar Lila yang secara tidak langsung membuatku merasa terperhatikan. 

Menjadi anak tunggal dan sekarang yatim piatu, membuatku sedikit merasa Lila dapat kujadikan sebagai seorang kakak. Namun entahlah, suatu waktu Almarhumah ibuku berpesan. "Jangan terlalu percaya, apalagi berharap kepada orang lain. Berharaplah hanya pada Tuhan dan diri sendiri. Dalam berteman, berceritalah sewajarnya saja, kita tidak tahu bagaimana pertemanan kita di kemudian hari."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status