“Apa?” Clara menatap Sebastian tak percaya.
“Clara, kamu sungguh membuatku kesal!” Kehilangan kesabaran, Sebastian berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menghampiri Clara.
Clara termundur ke belakang. “Tuan, Anda mau apa?” tanya Clara takut-takut.
“Diam dan patuh!”
Ucapan Sebastian membuat Clara diam seribu bahasa. Dia hanya bisa pasrah ketika Sebastian melepas simpul tali handuk kimono yang dia kenakan. Detik selanjutnya, kain yang membungkus tubuhnya itu terjatuh ke lantai, menampilkan tubuh seksi menawan Clara yang hanya mengenakan pakaian dalam.
Sebelah sudut Sebastian tertarik ke samping ketika melihatnya. Dia merasa desiran aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Sepertinya kamu lebih bagus tanpa mengenakan ini.” Sebastian merengkuh pinggang Clara, dan menarik tengkuk wanita itu lalu mendaratkan kecupan di bibir.
Clara terkesiap, serangan ini begitu mendadak. Meski begitu, dia tidak berniat menolak sentuhan yang Sebastian berikan.
Puas dengan permainan bibir, Sebastian beralih pada anggota tubuh lainnya. Posisi ini membuat Sebastian tidak nyaman. Dia menggiring Clara ke atas kasur dan kembali menyerangnya.
Kali ini dia bermain-main dengan dua buah keranuman milik Clara. Tangan Sebastian memutar, meremas dan memilin. Bagai bayi besar, Sebastian begitu menikmati ujung yang telah mencuat.
Clara meloloskan lenguhannya akibat ulah Sebastian. Tanpa sadar, tangannya meremas rambut Sebastian dan menyebut nama pria itu dengan rintihan penuh kenikmatan.
“Tuan, Sebastian!”
Sebastian telah terkurung hasrat, segera melancarkan aksinya. Kain segitiga yang menutupi area kewanitaan Clara diturunkan, dia segera menyatukan miliknya dengan milik Clara. Saat memasukinya, Sebastian merasakan sesuatu yang sangat mengejutkan.
“Clara, kamu masih perawan?”
Clara terpejam. Air mata Clara lolos begitu saja. Satu-satunya mahkota yang dia jaga hanya untuk sang suami kini terenggut sudah. Meski semua terjadi bukan karena keinginannya. Akan tetapi, Clara tetap merasa bersalah. Rasa sakit akibat area intimnya yang diterobos secara paksa tak sebanding dengan rasa sakit dalam hatinya.
“Mohon pelan sedikit, Tuan.” Clara merasa tubuhnya seolah terbelah.
Sebastian memang sudah bergerak pelan, akan tetapi, ini yang pertama kali bagi Clara. Jelas saja wanita itu akan kesakitan.
Sementara Sebastian merasa terkejut kala mendapati Clara masih virgin saat pertama kali memasukinya. Seperti yang dia tahu, Clara telah menikah satu tahun yang lalu. Siapa sangka wanita itu masih perawan.
“Mppphhhhh!” Suara desahan Clara menggema di ruangan. Tanpa sadar menikmati permainan panas bersama Sebastian. Malam pertama yang seharusnya dia lakukan bersama sang suami, justru dihabiskan bersama pria lain yang tak lain adalah bosnya sendiri.
Yang Clara sesalkan adalah, Clara melakukan semua ini karena uang. Kenyataan bahwa Clara juga menikmatinya membuat Clara mengumpati diri sendiri. Sebagai wanita yang telah bersuami, bohong jika Clara tidak ingin disentuh, namun karena kondisi suaminya yang tidak memungkinkan. Membuat Clara harus menerima sentuhan dari pria lain.
Clara hanyut dalam permainan penuh hasrat hingga melupakan William.
Sebastian mempercepat ritme gerakanannya.
“Ahhhhhh!” suara lenguhan panjang dari bibir keduanya terdengar nyaring sebagai tanda bahwa permainan telah mencapai puncak.
Sebastian merunduk, mengecup kening Clara dan berucap, “Terima kasih, Clara. Aku sangat puas!”
Clara memejamkan mata. Dalam hati menolak perlakuan Sebastian terhadap dirinya, namun reaksi tubuh Clara berbeda. Dia merasa bahwa Sebastian melakukannya dengan sangat lembut dan penuh cinta. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari William, suaminya.
“Besok, kamu pergilah ke dokter obgyn, periksakan kondisi rahimmu, aku ingin kamu segera mengandung anakku!” titah Sebastian.
“Baik, Tuan.” Clara juga berpikir bahwa lebih cepat lebih baik. Mengandung bukanlah hal yang mudah. Clara juga harus berpikir bagaimana cara untuk menghindari kedua orang tua William selama dirinya mengandung anak Sebastian.
Selesai melakukan permainan panas, Clara berpamitan ke kamar mandi. Dia menatap dirinya melalui pantulan di cermin. Jejak kemerahan terlihat nyaris di semua anggota tubuhnya. Dalam sekejap, Clara telah berubah menjadi seorang penghianat.
Bagaimana tidak, suaminya telah berjuang di antara hidup dan mati, tetapi dirinya justru bertukar peluh bersama pria lain, bahkan menerima tawaran untuk mengandung benih pria itu. Clara merasa dirinya benar-benar sangat buruk. Clara juga merasa dirinya telah gagal menjadi istri.
Clara hanya berharap apa yang dia lakukan ini tidak sia-sia. Demi kesembuhan William, dia rela menukar harga dirinya dengan uang.
Sementara di kamar, Sebastian menyunggingkan senyumnya kala melihat noda merah yang terdapat pada sprei tempat tidur, hal itu menandakan bahwa Clara benar-benar masih perawan. Oleh karena itu, Sebastian akan memperlakukan Clara dengan layak sebagai hadiah karena telah memberikan keperawanannya kepada dirinya.
Saat keluar dari kamar mandi, aroma daging panggang menyentuh indera penciuman Clara. Dia tertegun ketika melihat meja telah terisi penuh dengan makanan, dia memandang Sebastian yang sudah mengenakan kembali jubah tidurnya.
Dengan senyum lebarnya Sebastian berkata, “Kemari, ayo makan. Setelah ini kita akan bermain ronde selanjutnya.”
“Apa?”
Clara sedikit kesal saat Sebastian mengatakan ronde selanjutnya. Nyatanya, pria itu memberinya makan hanya untuk digempur habis-habisan. Sepertinya Sebastian memang tidak mau rugi, sehingga dengan pandai memanfaatkan kesempatan ini. “Tuan, izinkan saya memejamkan mata sebentar,” pinta Clara. Dia merasa sangat lelah setelah melayani hasrat Sebastian untuk yang kesekian kalinya. “Baiklah, kamu aku izinkan beristirahat. Setelah itu kita lanjut,” balas Sebastian. Clara tidak peduli dengan ucapan Sebastian dan hanya mengiyakan. Yang terpenting dirinya bisa tidur guna memulihkan tenaganya yang terkuras habis demi melayani Sebastian. Pukul 03.00 dini hari, Clara terbangun karena sebuah sentuhan. Dia membuka mata, dan terkejut melihat Sebastian berada di atas tubuhnya. Wajahnya begitu dekat, seolah-olah ingin memangsa dirinya hidup-hidup. Clara kembali menegang. "Tuan...Anda...!" Clara seolah kehilangan kemampuan bicaranya. Namun, Sebastian justru meresponnya dengan sebuah senyum seri
“Lingerie?” Clara mengernyitkan dahi. Pakaian tembus pandang berwarna merah itu tampak indah, namun, entah mengapa Clara merasa aneh kala melihatnya. “Ya, aku suka melihatmu memakai Lingerie,” ujar Sebastian. Ucapan Sebastian mengingatkan Clara pada kejadian malam-malam sebelumnya. Di mana Sebastian terlihat bernafsu ketika melihat dirinya mengenakan baju tembus pandang ini. Clara memperhatikan sekitar dan melihat Andrew si kepala pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa pelayan wanita juga tampak berlalu lalang, entah mengapa mendengar Sebastian bicara begitu, Clara jadi malu sendiri. “Kamu tenang saja, semua orang yang bekerja di sini telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi di rumah ini.” Seolah tahu isi kepala Clara, Sebastian segera menjelaskan, dan itu membuat kegelisahan di hati Clara menghilang. “Karena kamu sudah melayani aku semalaman, hari ini aku membebaskan kamu dari pekerjaan,” ucap Sebastian. Mendengar hal itu, senyum Clara seketika mel
Clara sudah merasa curiga saat mendapati nama Sebastian di layar ponselnya. Ketika dirinya menjawab panggilan itu, Sebastian menyuruhnya datang. “Sekarang, Tuan?” tanya Clara. “Tahun depan, tentu saja sekarang!" jawab Sebastian yang terdengar ketus. Clara menggigit kecil bibir bawahanya. Dirinya sudah berjanji pada kedua orang tua William untuk bermalam di rumah sakit dan menjaga William. Apa jadinya jika dirinya tiba-tiba pergi? Sesaat, Clara merasa ragu. Namun, saat mengingat surat perjanjian yang dia tanda tangani tadi pagi, seketika itu keraguan dalam hatinya lenyap. Dari mana dirinya mendapat uang sebanyak itu untuk membayar denda? “Kenapa diam? Jawab aku, Clara!” teriak Sebastian. Suara Sebastian menyentakkan Clara, gegas dia menjawab. “Ya, Tuan. Saya ke sana sekarang.” “Bagus, aku tunggu sepuluh menit.” “Apa?” Clara hendak melayangkan protes kepada Sebastian, namun panggilan lebih dulu ditutup. Clara mengumpat dalam hati. Jarak antara rumah sakit dan rumah Sebastian cu
“Tuan." Clara kembali memanggil setelah panggilan pertama tidak menjawab. Sebastian menoleh setelah menenggak pil dan air putih. Clara mengernyitkan dahi. "Tuan minum obat apa?" tanya Clara penasaran. “Kamu tidak perlu tahu, sebaiknya kamu tidur.” Bukannya tidur, Clara justru turun dari atas kasur, meraih pakaian miliknya lalu memakainya dengan gerakan yang cepat. Hal itu baru menarik atensi Sebastian. “Kamu mau ke mana, Clara?” tanya Sebastian. “Saya harus kembali ke rumah sakit, Tuan,” jawab Clara. Sebastian melotot. "Apa? Aku belum selesai, dan aku baru saja minum obat..." Ucapan Sebastian refleks terhenti setelah dia teringat sesuatu. Alis Clara mengkerut. Dia menyadari itu. "Obat apa, Tuan?" Jujur saja, Clara semakin penasaran. Daripada menjawab, Sebastian malah menatap jam di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka 3 kemudian kembali menatap Clara/ “Dini hari begini?” Sebastian sengaja mengalihkan topik pembicaraan. “Saya sudah berjanji pada mertua saya untuk
Clara seketika tercekat, tangannya refleks menyentuh lehernya. Clara melupakan sesuatu. Saat di rumah Sebastian, dia melihat tanda yang dimaksud oleh Julia. Ini adalah tanda merah yang dihasilkan dari hubungan terlarangnya bersama Sebastian. Dan dengan cerobohnya Clara tanpa sengaja memperlihatkan ini kepada Julia.“Kenapa diam? Kau tidak tuli ‘kan, Clara?” tanya Julia sinis.“Em…ini, aku lupa kalau aku alergi kacang merah, kemarin aku tidak sengaja memakannya,” jelas Clara. Dia tidak percaya bahwa dirinya kini pandai sekali membual.Kening Julia mengkerut. Memperhatikan tanda merah itu dengan teliti.Melihat itu, Clara segera meraih syal dari dalam tas kemudian melingkarkan di leher.“Maaf, Ma. Aku harus pergi bekerja.” Clara segera meraih sling bag miliknya kemudian menyingkir dari hadapan Julia. Clara bahkan tidak sempat berpamitan kepada William. Ini semua gara-gara Julia.Meski suaminya itu tidak bisa melihat dan mendengar, Clara terbiasa meminta izin kepada William sebelum pergi
Clara menatap Sebastian tidak berkedip sedikit pun. Dia terkejut ketika mendengar penuturan Sebastian. Apa yang baru saja pria itu katakan? Hari ini banyak jadwal penting. Akan tetapi pria itu justru ingin membatalkannya.“Tuan, apa maksud Anda?” tanya Clara lagi. Dia seketika menundukkan pandangannya ketika tatapan tajam Sebastian menghujam ke arahnya.“Sudah kukatakan berapa kali? Aku tidak suka mengulang ucapanku!” sergah Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Clara segera menyadari kesalahannya.“Kemari, Clara!” Sebastian kembali mengulurkan tangan.Clara menatap Sebastian, mencoba mencari tahu maksud dari uluran tangan itu. Sepertinya Sebastian ingin dirinya mendekat. Takut-takut, Clara melangkah maju. Dia menatap tangan Sebastian.Clara menyambut uluran tangan itu, dia tersentak kala tubuhnya ditarik dan tanpa sengaja terjatuh di pangkuan Sebastian. Untuk sesaat, Clara merasa canggung. Apa boleh begini? Ini adalah kantor.“Rambut ini.” Sebastian menyentuh surai panjang milik Clara. “A
Clara sedikit terperangah, meski begitu dia tidak protes kali ini, dia segera mengikuti ke mana langkah Sebastian. Tatapan iri dan tidak suka mengiringi langkah Clara yang kini berjalan di belakang Sebastian. Apa yang Clara pikirkan? Bukankah itu sudah biasa? Jadi Clara tidak perlu memusingkannya.Pasalnya, banyak yang mengincar posisi asisten pribadi. Siapa yang tidak ingin dekat dengan pria tampan seperti Sebastian? Dan asal mereka tahu saja, hal itu tidak akan mudah dilakukan. Tiga tahun Clara menahan diri untuk tidak mengumpati Sebastian. Terlebih beberapa hari terakhir, sikapnya sangat menyebalkan.Meski begitu, Clara harus berterima kasih kepada Sebastian karena telah membantunya. Tidak, dirinya juga sudah memberikan sesuatu yang berharga kepada pria itu yaitu kesuciannya.“Masuk!” Sebastian membukakan pintu mobil untuk Clara.Clara patuh, dan segera masuk.Sebastian menutup pintu mobil, kemudian berjalan memutari kendaraan, mendudukkan dirinya di kursi kemudi. Dia sengaja tidak
Mendengar itu, Leonard dan Sania saling bertukar pandang. Rona kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Bukan hanya sesepuh saja yang menginginkan seorang bayi penerus, Leonard dan sania pun sama halnya. Mereka berdua ingin segera menimang cucu mengingat usia Sebastian yang sudah cukup matang.“Kalau begitu kau setuju untuk menikah?” tanya Sania. Dia tidak sabar untuk menantikan hal semacam itu.Kening Sebastian mengkerut. “Aku tidak bilang akan menikah.”“Lalu?” Leonard menaikkan sebelah alisnya.“Kakek hanya meminta seorang penerus ‘kan. Kalian tenang saja, dalam waktu dekat aku akan memberikannya.” Sebastian berdiri dari duduknya.Sania mendongak menatap putra semata wayangnya dengan tatapan bingung sekaligus khawatir. Dia masih tidak mengerti dengan ucapan Sebastian.“Nak, tolong jelaskan pada Mom. Apa maksudnya dengan memberikan bayi tapi tidak menikah?” tanya Sania.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Dia menatap wanita bergelar ibu sejenak lalu melanjutkan langkah meninggalkan
Clara menghampiri Sebastian yang masih duduk di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Kaisar sudah tertidur di pangkuan Sebastian, wajah kecilnya terlihat damai."Dia sudah mulai mirip kamu," ucap Clara pelan, sambil menatap wajah putra mereka."Mirip aku?" Sebastian tersenyum tipis. "Semoga dia tidak mewarisi keras kepalaku."Clara terkekeh pelan. "Sayangnya, dia sudah punya itu. Tapi juga mewarisi hatimu yang hangat."Sebastian menatap langit sejenak, lalu kembali menatap Clara. "Hari ini aku merasa lega. Pusat pelatihan itu... aku harap benar-benar bisa membawa perubahan. Itu yang Kakek impikan."Clara mengangguk mantap. "Aku yakin akan berhasil. Kau telah melakukan segalanya dengan tulus dan sepenuh hati, Bas."Sebastian menghela napas panjang, mengingat kembali hari-hari ketika hidup mereka masih penuh ketegangan dan luka masa lalu. Dari pertentangan dengan orang tua Clara, ancaman dari Ziyon dan rekan-rekannya,
Minggu berikutnya, suasana di rumah keluarga Abraham mulai lebih ringan. Meskipun duka masih membekas, namun kehidupan terus berjalan, dan setiap anggota keluarga berusaha untuk tetap kuat. Sebastian memutuskan untuk mengambil waktu istirahat sejenak dari kantor. Ia mengajak Clara, Kaisar, Dareen, serta Lucia dan Louis untuk berlibur ke vila lama Maxime di pegunungan—tempat yang dulu sering mereka datangi untuk mencari ketenangan. Vila itu dikelilingi pepohonan pinus dan hamparan bunga liar yang bermekaran. Udara segar dan sejuk menyambut mereka begitu tiba. Kaisar berlari kecil dengan wajah ceria, sementara Clara mengejarnya sambil tertawa. "Ini pertama kalinya kita kembali ke sini setelah semuanya," ujar Lucia sambil memandang langit biru yang bersih. "Iya," jawab Sebastian. "Dan tempat ini seakan masih menyimpan jejak Kakek. Rasanya seperti dia masih ada bersama kita." Hari-hari di vila itu berjalan tenang. Mereka menikmati waktu bersama tanpa gangguan teknologi maupun urusan b
Tiga hari setelah kepergian Maxime Abraham, upacara perpisahan digelar dengan penuh khidmat. Keluarga, kerabat, kolega bisnis, serta karyawan dari seluruh lini usaha yang pernah disentuh oleh tangan dinginnya, hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Aula utama di kantor pusat Abraham Group dipenuhi karangan bunga dan potret besar Maxime dengan senyum teduhnya.Clara menggenggam tangan Kaisar yang duduk tenang di pangkuannya, seolah mengerti suasana yang berbeda dari biasanya. Sebastian berdiri di samping mimbar, memberikan pidato terakhir sebagai cucu sekaligus penerus sang pendiri."Maxime Abraham bukan hanya seorang pemimpin besar. Ia adalah seorang ayah, kakek, dan guru kehidupan. Kami semua belajar banyak darinya—tentang kejujuran, kerja keras, dan pentingnya menjaga martabat di tengah segala kemewahan yang ia bisa miliki. Ia pergi dengan damai, meninggalkan warisan yang tidak akan kami sia-siakan."Sebastian berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar, lalu melanjutkan, "Ha
Beberapa hari setelah percakapan terakhir antara Sebastian dan Clara, suasana di rumah keluarga Abraham sedikit berubah. Bukan karena duka, melainkan karena sebuah kesadaran baru yang lahir—tentang waktu yang tak dapat diulang, dan pentingnya menjaga apa yang telah diwariskan dengan penuh kesungguhan.Maxime kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, tetapi sesekali ia meminta untuk dibawa keluar, ke taman belakang yang penuh bunga matahari, tempat di mana Kaisar biasa bermain. Di sanalah ia merasa paling damai.Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja menyentuh permukaan bumi dengan sinar keemasannya, Sebastian membantu Maxime duduk di kursi roda. Kaisar, dengan langkah kecilnya yang kini sudah mulai stabil, membawa boneka kesayangannya lalu meletakkannya di pangkuan sang kakek.“Ini buat Kakek,” katanya polos, disusul tawa renyah yang membuat semua hati yang menyaksikan menjadi hangat.Maxime mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Kakek tak perlu harta apapun lagi, Nak. Ta
Beberapa minggu berlalu sejak Maxime kembali dari rumah sakit. Meski kesehatannya belum sepenuhnya pulih, semangat hidupnya tidak pernah surut. Ia semakin sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama bersama Kaisar, yang kini menjadi pusat kehidupannya. Setiap pagi, Maxime akan duduk di taman belakang dengan selimut di pangkuannya, menanti Sebastian atau Clara membawakan secangkir teh hangat dan kehadiran si kecil yang lincah itu.Suatu sore, Sebastian tengah mengawasi Kaisar yang bermain dengan Dareen dan Louis. Clara datang menghampiri sambil membawa sebuah berkas.“Ini laporan terakhir dari cabang di Marseille,” ujar Clara sambil menyerahkannya. “Dareen sudah menandatangani beberapa perjanjian kerja sama baru.”Sebastian membaca sekilas, lalu tersenyum bangga. “Aku tidak menyangka dia akan tumbuh sejauh ini.”“Karena kamu percaya padanya. Itu yang membuatnya terus berusaha,” ujar Clara lembut. “Kamu juga seperti itu dulu.”Sebastian menoleh dan menatap istrinya dengan penuh
Beberapa hari setelah perayaan kecil di rumah keluarga Abraham, suasana bahagia itu masih terasa menggema di setiap sudut rumah. Kaisar, si kecil yang menjadi pusat perhatian semua orang, semakin aktif dan cerdas. Ia mulai mengenali beberapa kata sederhana dan bisa menyebut “Mama” dan “Ayah” dengan fasih, membuat Clara dan Sebastian semakin kagum akan pertumbuhannya.Pagi itu, Sebastian tengah duduk di ruang kerja pribadinya, menatap beberapa dokumen merger lanjutan antara Abraham Group dan mitra baru dari luar negeri. Konsentrasinya terganggu ketika ponselnya berdering. Nama Andrew muncul di layar. Segera ia angkat.“Halo, Andrew. Ada kabar apa?” tanya Sebastian.“Tuan Sebastian, saya baru mendapat kabar dari rumah sakit. Tuan Maxime sudah sadar, namun dokter menyarankan agar keluarga terdekat menemuinya.”Sebastian berdiri dari kursinya. “Baik. Saya akan segera ke sana.”Dalam waktu singkat, Sebastian telah berada di rumah sakit bersama Clara dan Kaisar. Lucia, Louis, serta Dareen j
Pagi itu langit tampak cerah. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar ruang makan keluarga Abraham, memantulkan kehangatan yang menyelimuti seluruh ruangan. Clara tengah menyuapi Kaisar yang kini semakin aktif. Bocah satu tahun itu tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali melihat buku bergambar, ia akan menunjuk dengan ekspresi penuh semangat, membuat semua orang di rumah tersenyum.Sebastian baru saja turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih yang sudah sedikit kusut. Di wajahnya tergambar lelah, tetapi matanya tetap menyiratkan semangat.“Pagi, Sayang,” ucap Clara lembut saat Sebastian mencium keningnya.“Pagi,” jawab Sebastian, lalu berjongkok di sisi Kaisar. “Dan pagi juga untuk pangeran kecil ayah. Sudah makan?”Kaisar hanya tertawa dan mengoceh dalam bahasanya sendiri, sementara tangannya menunjuk ke arah sendok yang dipegang Clara.Sebastian tertawa kecil. “Lihat dia. Sudah mulai pintar memerintah.”Clara mengangguk. “Dia tiru d
Beberapa hari setelah peresmian Yayasan Maxime Abraham, suasana bahagia masih terasa di rumah keluarga itu. Clara berjalan menyusuri lorong rumah sambil menggendong Kaisar yang tertidur lelap di pelukannya. Ia berhenti sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Dari situ, terlihat Sebastian dan Dareen sedang berbincang di dekat gazebo, tampak serius namun akrab.Clara tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Segala ketegangan dan konflik yang dahulu pernah mereka alami kini seolah tinggal kenangan. Ia yakin, semua telah menjadi bagian dari perjalanan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih matang.Tak lama, Louis datang menyusul Clara, membawa secangkir teh.“Lucia sedang beristirahat. Hari ini ia tampak lebih lelah dari biasanya,” ujar Louis sembari menyerahkan teh ke tangan Clara.Clara menerima dengan anggukan kecil. “Terima kasih, Louis. Lucia sangat bersemangat akhir-akhir ini. Ia bahkan ikut mencatat nama-nama calon penerima bantuan dari yayasan.”Lou
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Abraham tetap dipenuhi semangat baru. Matahari pagi menyinari halaman luas, membelai kebun kecil tempat Kaisar biasa bermain. Burung-burung berkicau riang seolah turut merayakan kebahagiaan keluarga itu.Sebastian duduk di teras bersama Maxime, sambil menyeruput kopi hangat. Kaisar berlari-lari kecil di halaman, diawasi oleh Clara dan Lucia yang duduk di ayunan."Kaisar benar-benar menjadi pusat dunia kita sekarang," ujar Maxime, matanya tidak pernah lepas dari cucu buyut kecilnya itu.Sebastian tersenyum bangga. "Dia anugerah terbesar kami, Kek. Kami ingin membesarkannya dengan nilai-nilai yang sudah Kakek ajarkan."Maxime mengangguk pelan. Ia tahu, Sebastian bukan hanya berkata-kata. Ia melihat sendiri bagaimana putranya itu kini menjadi sosok pemimpin keluarga yang kuat namun penuh kasih."Kau tahu, Sebastian," kata Maxime setelah beberapa saat hening. "Aku sempat khawatir, ketika dulu semua terasa begitu kacau... Aku takut keluarga ini akan