Clara menuruti perintah Sebastian. Kebetulan sekali Clara belum makan malam. Clara mendaratkan pantatnya di kursi di dekat Sebastian.Pria itu tidak lagi banyak bicara. Sangat berbeda saat Clara belum datang."Makanlah, ini bagus untuk kesehatan rahimmu," ucap Sebastian.Melihat itu, Andrew merasa lega. Begitu juga dengan pelayan yang lain. Andrew segera menyuruh pelayan yang lain untuk menyingkir karena saat bersama dengan Clara, Sebastian tidak ingin diganggu.Clara menatap Sebastian dengan tatapan memicing. "Tuan, setelah ini...""Aku tahu, malam ini aku sedang tidak ingin. Kamu bisa beristirahat sepuasmu."Clara mengernyit mendengarnya. Apa pria itu cenayang? Seolah mengetahui isi pikiran Clara. Biasanya, pria itu memberinya makan yang banyak karena memiliki tujuan."Maafkan saya, Tuan," ucap Clara."Aku terlalu keras memaksamu," sahut Sebastian."Itu sudah perjanjian," kata Clara.Sebastian menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Clara."Clara," panggil Sebastian."Ya, Tuan."
Clara menatap dua mertuanya secara bergantian. "Hutang apa Ma, Pa?" tanya Clara.Ben dan Julia terlihat kelabakan. Terlihat enggan untuk menjawab. Namun akhirnya slah satu dari mereka mengerluarkan suara."Tentu saja hutang untuk membayar rumah sakit William, hutang apa lagi?" cerocos Julia. Kening Clara mengkerut. Clara mencoba untuk berpikir positif. Dulu Ben dan Julia memang membuantu biaya rumah sakit William. Akan tetapi, seingat Clara, Ben dan Julia mendapatkan uang itu dari hasil menjual barang-barangnya.Clara lantas menatap pria bernama Markus. "Bisakah Anda memberikan rinciannya?" pinta Clara.Markus tersenyum miring, kemudian melirik ke arah dua anak buahnya. "Berikan!"Secarik kertas diberikan kepada Clara. Wanita itu menerimanya dan seketika membulatkan mata ketika melihat nominal yang tertera."10 Miliar?" pekik Clara. Dia menatap Ben dan Julia dengan bola mata yang nyaris lepas.Mendadak, kepala Clara terasa berdenyut. Ini bahkan melebihi nominal dari yang dia pinjam pa
Beberapa menit yang lalu.Sebastian menunggu di dalam mobil. Sebenarnya dia ingin protes saat Clara menyuruhnya menunggu di dalam mobil dengan alasan kecurigaan dua mertuanya.Namun, yang dikatakan Clara ada benarnya. Akhirnya dia mengiyakan ucapan wanita itu. Setelah Clara pergi, Sebastian baru menyadari sesuatu."Tunggu, kenapa aku jadi aku patuh pada wanita itu?" Sebastian tidak percaya dengan dirinya sendiri yang berubah begitu mudahnya. Dia tertawa sendiri."Siapa yang Tuan di sini?" gerutu Sebastian. Meski begitu dia memutuskan untuk menunggu.Lama-lama Sebastian semakin bosan. Dia keluar dari mobil. Perumahan ini sangat sepi. Penghuninya adalah mayoritas kalangan menengah ke bawah. Terlihat beberapa hewan piaraan seperti anjing tengah berkerumun di dekat toh sampah.Sebastian berjalan mondar-mandir di dekat mobilnya."Kenapa dia lama sekali?" gumam Sebastian. Kekhawatiran kini mulai merajai dirinya. Sebastian tidak mengerti dengan perasaan ini, kekhawatiran ini sungguh tak berd
Setelah kejadian itu, Clara lebih banyak diam. Dia jarang tersenyum. Dan hanya bicara jika Sebastian mengajaknya bicara atau rekan yang lain. Hal itu membuat Sebastian merasa aneh. Dia tahu Clara seperti itu karena kejadian beberapa waktu yang lalu.Ketika Sebastian meminta dilayani, wanita itu melakukannya dengan setengah hati. Hal itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang datar dan tatapannya yang kosong.Namun, Sebastian tidak marah. Dia justru memberi waktu pada Clara untuk menyendiri."Besok kita akan pergi, sebaiknya kamu bersiap mulai dari sekarang," kata Sebastian."Bersiap? Apakah saya harus membawa pakaian ganti?" tanya Clara."Tidak perlu, kita bisa membelinya. Siapkan keperluanmu saja, karena kita akan menginap," kata Sebastian."Baik, Tuan."Sebastian sudah pergi, ketika Clara menyadari sesuatu. "Kenapa aku tidak tanya mau pergi ke mana? Ah, dasar pelupa!" Clara menonyor kepalanya sendiri.Keesokan harinya, Clara bangun pagi-pagi sekali. Seperti yang dikatakan oleh Se
Clara kembali ke dalam ruangan ganti. Dia mengenakan Coat panjang yang diberikan Sebastian. Rasanya memang cukup hangat. Modelnya juga sangat keren. Serasi dengan setelan yang dipakainyaClara menatap pantulan dirinya di cermin."Aku seperti artis Hollywood saja," gumam Clara sembari terkekeh.Ketika Clara keluar, dia melihat Sebastian yang sudah berganti pakaian dengan setelan berwarna senada seperti miliknya."Tuan?" ucap Clara kaget. Lalu dia melihat dirinya sendiri. Warna setelan yang dikenakan Sebastian sama dengan setelan miliknya. "Kita sudah seperti pasangan,” celetuk Clara."Kita memang pasangan 'kan, ayo berangkat."Sebastian melakukan pembayaran. Beberapa tas belanja dimasukkan ke dalam mobil.Urusan pakaian ganti selesai, keduanya masuk ke dalam mobil dan kembali dalam perjalanan.Sebastian menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.Saat berangkat dari Mansion, keduanya memang belum sarapan.Sebastian berniat untuk mencari rumah makan. Kendaraan memasuki area perbuki
Clara ingin sekali memprotes nama panggilan itu, namun Sebastian lebih dulu menyela. "Roger, perkenalkan ini Clara.""Selamat datang, Nyonya Clara," sapa pria setengah baya dengan setelan jas dan dasi kupu-kupu. Dilihat dari penampilannya, mungkin saja Roger ini sekelas Andrew.Clara mengangguk sopan kemudian berkata. "Halo, Tuan Roger.""Apa semuanya sudah siap?" Kini giliran Sebastian yang bertanya."Sudah, Tuan. Mari silakan masuk," ucap Roger.Pintu utama terbuka. Sebastian dan Clara memasuki ruang tamu.Clara mengedarkan pandangannya. Villa ini sangat besar, dan juga megah.Dari banyaknya Villa yang berdiri di pegunungan ini, milik Sebastian lah yang paling megah.Sebastian mengajak Clara untuk naik ke lantai atas di mana kamar utama berada.Pintu kamar dibuka. Ketika Clara masuk, dia mendengar suara berisik dari luar jendela. Clara berjalan mendekati kusen jendela dan mengintip dari tirai yang tersibak sedikit. Seketika itu Clara membulatkan mata."Air terjun?" gumam Clara.Gumam
Clara terdiam beberapa saat. Bukannya Clara merasa besar kepala. Namun, sosok yang disebutkan Sebastian sangat mirip dengan dirinya saat masih kecil.Dulu mendiang neneknya suka sekali mengepang rambutnya, itu sebabnya sang nenek melarangnya untuk memotong rambut tersebut. Lalu sang kakek selalu berkata, bahwa rambut adalah salah satu mahkota terindah bagi perempuan. Itu sebabnya Clara begitu menjaga serta merawat kesehatan rambutnya."Rambutmu bagus, Clara."Ucapan Sebastian seketika menyentakkan Clara dari lamunannya. Wanita itu melirik ke samping dengan ekor mata yang mengarah ke belakang. Dia dapat melihat Sebastian sedang bermain-main dengan rambutnya, sesekali lelaki itu menciumnya."Apa teman masa kecil Tuan suka berkebun?" tanya Clara penasaran."Kenapa kamu bisa tahu?"Clara kembali terdiam. Dia merasa sangat aneh. Jantungnya kembali berdegup kencang. "Hanya menebak saja," ucap Clara akhirnya. "Apa Tuan tidak mencarinya?" tanya Clara lagi."20 tahun, aku sudah mencarinya ke ma
Sebastian seketika menutup bukunya, kemudian menatap Clara. Wanita itu nampak menggigil kedinginan. Sebastian meletakkan bukunya di atas nakas kemudian berdiri dari duduknya, dia meraih remote lalu menyalakan penghangat ruangan. Jendela ditutup rapat, lalu tirai juga dirapatkan.Setelah memastikan ruangan dalam kondisi hangat, Sebastian naik ke atas ranjang. Dia membuka kancing kemejanya kemudian merebahkan diri di dekat Clara.Wanita itu merubah posisinya menghadap Sebastian dan menenggelamkan diri di dada bidang pria itu.Sebastian merengkuh tubuh Clara dan memeluknya dengan sangat erat.Cara ini memang sangat akurat untuk menghangatkan tubuh. Clara tidak menolak, dia justru merasa sangat bersyukur karena Sebastian sudah membantunya."Terima kasih, Tuan," ucap Clara. Dia tidak lagi merasa sungkan terhadap Sebastian."Tidurlah, sepertinya kamu tidak cocok dengan cuaca di sini, besok kita pulang saja," kata Sebastian.Clara mengangguk. Kali ini dia setuju dengan ucapan Sebastian. Clara
Sebastian dan Ramon saling memandang dalam diam, seolah berusaha membaca pikiran satu sama lain tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan mereka penuh makna, mencerminkan kebingungan yang sama mengenai langkah yang harus diambil selanjutnya. Di antara ketegangan yang menggantung di udara, perhatian mereka kemudian terarah kepada sosok Richard yang berdiri beberapa meter dari tempat mereka berada. Pria paruh baya itu tampak sibuk menyesuaikan letak topi kebun berwarna cokelat lusuh yang menutupi sebagian rambut hitamnya. "Ayah," panggil Sebastian. Bukannya menjawab, Richard justru memeriksa benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini sudah pukul berapa?" Sebastian dan Ramon kembali saling memandang, kali ini dengan raut wajah yang sarat kebingungan. Kerutan halus tampak di dahi keduanya, seolah mencoba mencari jawaban atas sikap Richard yang tiba-tiba berubah dingin. "Kenapa kalian baru datang? Harusnya kalian datang lebih pagi dari kemarin!" Kali ini nada bicara Richard
Clara membelalak, matanya membesar dalam ketakjuban. Jantungnya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perasaan terkejut menyergap dirinya dengan cepat. Namun, di balik keterkejutan itu, tumbuh kehangatan yang begitu manis di dalam hatinya. Untuk sesaat dia terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang kini terbentang di hadapannya. "Jadi Ayah menerimamu?" Clara harus memastikannya lagi. Sebastian mengernyitkan dahi. "Kamu terlihat senang?" Sebastian balik bertanya. Tatapannya menyipit. "Tentu saja aku senang. Kamu tahu sendiri kan bagaimana Ayah?" Clara menatap suaminya dengan tatapan intens. Sebastian mengangguk paham. "Ya, dia sangat sulit ditaklukkan," cetusnya. Ingatan terlempar pada saat pertemuan pertama mereka. Kesalahan besar dilakukan Sebastian, harusnya sebelum menikahi Clara, dia harus menemui mereka. Tetapi Clara telah mengandung terlebih dahulu kala itu. Itu Sebabnya Sebastian harus melakukan pernikahan dengan cepat. Dia ingin member
Richard terdiam sejenak setelah mendengar penuturan Sebastian. Raut wajahnya tidak segera menunjukkan reaksi apa pun. Tatapannya kosong, namun sorot matanya mengisyaratkan bahwa pikirannya tengah bekerja keras mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan sang menantu. Suasana di antara mereka seketika menjadi hening, hanya terdengar suara ketukan jam dinding dan deru napas yang saling bersahutan. Sebastian terdiam, menunggu dengan sabar, meskipun di dalam hatinya terselip kegelisahan. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya barusan mengandung makna pentin. Tentang Clara, tentang keluarga, dan tentang harapan akan hubungan yang lebih baik. Dia tidak bisa membaca isi pikiran Richard, namun dia berharap kejujuran dan ketulusannya mampu menembus lapisan jarak yang selama ini membentang di antara mereka.Richard akhirnya mengangkat wajahnya, memandang Sebastian dengan mata yang lebih teduh. Meski ekspresinya masih tenang dan sulit ditebak, nada suaranya ketika akhirnya berbicara t
Clara menghampiri Sebastian yang masih duduk di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Kaisar sudah tertidur di pangkuan Sebastian, wajah kecilnya terlihat damai."Dia sudah mulai mirip kamu," ucap Clara pelan, sambil menatap wajah putra mereka."Mirip aku?" Sebastian tersenyum tipis. "Semoga dia tidak mewarisi keras kepalaku."Clara terkekeh pelan. "Sayangnya, dia sudah punya itu. Tapi juga mewarisi hatimu yang hangat."Sebastian menatap langit sejenak, lalu kembali menatap Clara. "Hari ini aku merasa lega. Pusat pelatihan itu... aku harap benar-benar bisa membawa perubahan. Itu yang Kakek impikan."Clara mengangguk mantap. "Aku yakin akan berhasil. Kau telah melakukan segalanya dengan tulus dan sepenuh hati, Bas."Sebastian menghela napas panjang, mengingat kembali hari-hari ketika hidup mereka masih penuh ketegangan dan luka masa lalu. Dari pertentangan dengan orang tua Clara, ancaman dari Ziyon dan rekan-rekannya,
Minggu berikutnya, suasana di rumah keluarga Abraham mulai lebih ringan. Meskipun duka masih membekas, namun kehidupan terus berjalan, dan setiap anggota keluarga berusaha untuk tetap kuat. Sebastian memutuskan untuk mengambil waktu istirahat sejenak dari kantor. Ia mengajak Clara, Kaisar, Dareen, serta Lucia dan Louis untuk berlibur ke vila lama Maxime di pegunungan—tempat yang dulu sering mereka datangi untuk mencari ketenangan. Vila itu dikelilingi pepohonan pinus dan hamparan bunga liar yang bermekaran. Udara segar dan sejuk menyambut mereka begitu tiba. Kaisar berlari kecil dengan wajah ceria, sementara Clara mengejarnya sambil tertawa. "Ini pertama kalinya kita kembali ke sini setelah semuanya," ujar Lucia sambil memandang langit biru yang bersih. "Iya," jawab Sebastian. "Dan tempat ini seakan masih menyimpan jejak Kakek. Rasanya seperti dia masih ada bersama kita." Hari-hari di vila itu berjalan tenang. Mereka menikmati waktu bersama tanpa gangguan teknologi maupun urusan b
Tiga hari setelah kepergian Maxime Abraham, upacara perpisahan digelar dengan penuh khidmat. Keluarga, kerabat, kolega bisnis, serta karyawan dari seluruh lini usaha yang pernah disentuh oleh tangan dinginnya, hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Aula utama di kantor pusat Abraham Group dipenuhi karangan bunga dan potret besar Maxime dengan senyum teduhnya.Clara menggenggam tangan Kaisar yang duduk tenang di pangkuannya, seolah mengerti suasana yang berbeda dari biasanya. Sebastian berdiri di samping mimbar, memberikan pidato terakhir sebagai cucu sekaligus penerus sang pendiri."Maxime Abraham bukan hanya seorang pemimpin besar. Ia adalah seorang ayah, kakek, dan guru kehidupan. Kami semua belajar banyak darinya—tentang kejujuran, kerja keras, dan pentingnya menjaga martabat di tengah segala kemewahan yang ia bisa miliki. Ia pergi dengan damai, meninggalkan warisan yang tidak akan kami sia-siakan."Sebastian berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar, lalu melanjutkan, "Ha
Beberapa hari setelah percakapan terakhir antara Sebastian dan Clara, suasana di rumah keluarga Abraham sedikit berubah. Bukan karena duka, melainkan karena sebuah kesadaran baru yang lahir—tentang waktu yang tak dapat diulang, dan pentingnya menjaga apa yang telah diwariskan dengan penuh kesungguhan.Maxime kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, tetapi sesekali ia meminta untuk dibawa keluar, ke taman belakang yang penuh bunga matahari, tempat di mana Kaisar biasa bermain. Di sanalah ia merasa paling damai.Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja menyentuh permukaan bumi dengan sinar keemasannya, Sebastian membantu Maxime duduk di kursi roda. Kaisar, dengan langkah kecilnya yang kini sudah mulai stabil, membawa boneka kesayangannya lalu meletakkannya di pangkuan sang kakek.“Ini buat Kakek,” katanya polos, disusul tawa renyah yang membuat semua hati yang menyaksikan menjadi hangat.Maxime mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Kakek tak perlu harta apapun lagi, Nak. Ta
Beberapa minggu berlalu sejak Maxime kembali dari rumah sakit. Meski kesehatannya belum sepenuhnya pulih, semangat hidupnya tidak pernah surut. Ia semakin sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama bersama Kaisar, yang kini menjadi pusat kehidupannya. Setiap pagi, Maxime akan duduk di taman belakang dengan selimut di pangkuannya, menanti Sebastian atau Clara membawakan secangkir teh hangat dan kehadiran si kecil yang lincah itu.Suatu sore, Sebastian tengah mengawasi Kaisar yang bermain dengan Dareen dan Louis. Clara datang menghampiri sambil membawa sebuah berkas.“Ini laporan terakhir dari cabang di Marseille,” ujar Clara sambil menyerahkannya. “Dareen sudah menandatangani beberapa perjanjian kerja sama baru.”Sebastian membaca sekilas, lalu tersenyum bangga. “Aku tidak menyangka dia akan tumbuh sejauh ini.”“Karena kamu percaya padanya. Itu yang membuatnya terus berusaha,” ujar Clara lembut. “Kamu juga seperti itu dulu.”Sebastian menoleh dan menatap istrinya dengan penuh
Beberapa hari setelah perayaan kecil di rumah keluarga Abraham, suasana bahagia itu masih terasa menggema di setiap sudut rumah. Kaisar, si kecil yang menjadi pusat perhatian semua orang, semakin aktif dan cerdas. Ia mulai mengenali beberapa kata sederhana dan bisa menyebut “Mama” dan “Ayah” dengan fasih, membuat Clara dan Sebastian semakin kagum akan pertumbuhannya.Pagi itu, Sebastian tengah duduk di ruang kerja pribadinya, menatap beberapa dokumen merger lanjutan antara Abraham Group dan mitra baru dari luar negeri. Konsentrasinya terganggu ketika ponselnya berdering. Nama Andrew muncul di layar. Segera ia angkat.“Halo, Andrew. Ada kabar apa?” tanya Sebastian.“Tuan Sebastian, saya baru mendapat kabar dari rumah sakit. Tuan Maxime sudah sadar, namun dokter menyarankan agar keluarga terdekat menemuinya.”Sebastian berdiri dari kursinya. “Baik. Saya akan segera ke sana.”Dalam waktu singkat, Sebastian telah berada di rumah sakit bersama Clara dan Kaisar. Lucia, Louis, serta Dareen j