Share

Bab 3

Author: Tansera
Pukul sembilan pagi, Jeremy menelepon. "Rena, aku di depan lift basemen. Kamu bisa turun sekarang."

Rena mengambil perlengkapan persembahan yang sudah dia siapkan sejak tadi, lalu naik ke mobil Jeremy.

Nenek Rena meninggal saat Rena masih duduk di semester empat kuliah. Awalnya, dia ingin memakamkan sang nenek di kampung halaman. Akan tetapi, Jeremy sudah lebih dulu membeli sebidang makam di taman pemakaman paling mewah di Southville.

Katanya, karena kelak Rena akan tinggal bersamanya di Southville, tidak adil jika sang nenek dibiarkan sendirian di tempat yang jauh. Rena akhirnya luluh oleh bujuk rayunya dan menguburkan neneknya di pemakaman Southville.

Namun sekarang, dia akan pergi. Pergi jauh dan takkan kembali. Neneknya pun akan tetap dimakamkan di kota ini sendirian, tanpa seorang pun keluarga di sisinya. Rena menyesal. Dia tidak seharusnya terlalu percaya pada janji-janji Jeremy dulu.

Di dalam mobil, air matanya mengalir semakin deras.

Melihat hal itu, Jeremy panik dan segera menghentikan mobil di tepi jalan. Dia menarik Rena ke pelukannya dan menepuk punggungnya dengan lembut. "Rena, sayang, jangan nangis terus .... Kalau Nenek lihat kamu seperti ini, dia pasti nggak tenang di atas sana."

Yang Rena pikirkan saat itu hanyalah pengkhianatannya. Akan tetapi, pria ini masih bisa berpura-pura seolah-olah peduli dan tulus di hadapannya.

Rena memejamkan mata dengan kuat, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. Suaranya serak saat berkata, "Kamu benar. Aku nggak boleh bikin Nenek sedih. Ayo kita jalan."

Jeremy menatapnya dengan cemas. "Rena, kamu kenapa? Apa ada masalah lain? Nenek sudah lama meninggal. Kenapa kamu sesedih ini?"

Rena menggeleng pelan. "Nggak ada. Aku cuma ... tiba-tiba kangen Nenek."

Jeremy terus bertanya beberapa kali, tapi Rena tidak memberikan jawaban lain. Akhirnya, dia hanya bisa melanjutkan perjalanan sambil terus mengkhawatirkannya. "Rena, tolong jangan nangis lagi, ya? Nanti kalau kita ketemu Nenek di makam, aku akan ngadu padanya. Kamu bandel, kemarin baru sakit perut, sekarang malah nangis sesenggukan karena kangen."

Rena menundukkan kepala, tidak menjawab sepatah kata pun.

Begitu sampai di pemakaman, Rena turun dari mobil sambil membawa dua kantong berisi persembahan.

Jeremy hendak membantunya membawakan, tapi Rena segera menghindar. "Aku ingin memberikannya sendiri untuk Nenek."

Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga menuju area atas.

Rena menatap foto neneknya di batu nisan. Melihat senyum yang begitu dikenalnya, seketika rasa kehilangan menyeruak dari dalam hatinya. Dia berlutut, tangannya menyentuh permukaan batu nisan dengan lembut.

Jeremy ikut berlutut di sampingnya.

"Nenek, tenanglah di sana. Aku akan menjaga Rena dan jadi sandaran hidupnya selamanya," katanya dengan nada sungguh-sungguh.

Rena tidak bisa mengerti. Sudah di saat seperti ini, kenapa pria itu masih bisa mengatakan hal seperti itu di hadapan makam neneknya?

Dari dalam tas, Rena mengeluarkan sepasang simpul merah berbentuk hati yang dia rajut sendiri, lalu mengangkat tangan hendak meletakkannya di depan nisan. Namun, Jeremy buru-buru menahan tangannya.

"Rena, ini 'kan simpul yang kamu rajut untuk kita berdua?"

Rena mengangguk. "Iya. Aku mau kasih ke Nenek, supaya dia juga ikut bahagia untuk kita."

Jeremy mengernyit. "Tapi dulu kamu bilang kita bakal saling tukar simpul ini di hari pernikahan kita."

"Aku bisa buat dua yang baru."

Mau tak mau, Jeremy melepaskan genggamannya. Dia hanya bisa menatap saat Rena meletakkan simpul yang telah dia rajut selama setahun penuh di depan nisan neneknya dengan hati-hati.

Entah kenapa, perasaannya mulai diliputi kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. "Rena, kamu ... apa kamu sedang ...."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, suara teriakan yang riang memotong keheningan yang khidmat di pemakaman. "Jeremy!"

Jeremy dan Rena sama-sama menoleh.

Terlihat Nadia yang berdiri tidak jauh dari mereka. Rambut hitam panjang dan pakaian putihnya membuatnya tampak ringkih dan rapuh.

Jeremy langsung berdiri dan berjalan menghampirinya dengan dahi berkerut. "Kamu ngapain ke sini?"

Rena berusaha tidak memperhatikan mereka. Dia mengalihkan fokusnya ke dalam tas, lalu mengeluarkan sebuah ukiran batu kecil berbentuk rumah. Itu adalah suvenir khas dari kampung halamannya yang dia persiapkan khusus untuk hari ini.

Dalam hatinya, dia berbisik pelan, 'Nek, aku akan segera pergi. Rumah kecil ini biar jadi kenang-kenangan kampung kita untuk Nenek, ya ....'

Namun, saat dia mengangkat tangan hendak meletakkan ukiran batu itu di depan makam, tiba-tiba sebuah tangan lain menyambar dan merebutnya dari genggamannya.

Rena terkejut dan menoleh.

Nadia berdiri di sampingnya, menggenggam patung batu kecil itu sambil menangis. Air matanya berderai deras.

"Bu Rena ... rumah kecil ini mirip sekali sama rumah kakek nenekku waktu aku kecil. Boleh nggak kamu kasih ini ke aku?"

Rena langsung menolak tanpa berpikir panjang, "Nggak bisa. Ini aku pahat sendiri untuk nenekku. Tolong kembalikan."

Rena mengulurkan tangan.

Namun, Nadia enggan mengembalikannya. Dia malah menoleh ke Jeremy dengan tatapan memohon, "Jeremy, kamu tahu ... waktu kakek dan nenekku meninggal, mereka selalu bicara soal rumah masa kecil mereka. Rumah kecil ini benar-benar mirip. Bisa nggak kamu minta Bu Rena kasih ini ke aku?"

Jeremy hanya ragu sejenak, lalu berkata pada Rena, "Rena, kasih saja ke dia. Nanti kamu bisa bikin yang baru untuk Nenek, ya?"

Tubuh Rena seketika membeku.

Saat dia baru belajar memahat, jarinya penuh luka karena tertusuk alat. Jeremy saat itu sangat khawatir. Dia bahkan memeluk Rena sambil berkata, tanganmu ini dibuat untuk menyembuhkan orang, bukan untuk mengukir batu.

Ketika tidak berhasil mencegahnya, Jeremy akhirnya memaksa Rena berjanji hanya akan membuat satu ukiran saja dan tidak akan menyentuh batu pahat lagi selamanya.

Namun sekarang, Jeremy malah memintanya memberikan ukiran satu-satunya yang penuh darah dan luka kepada Nadia.

Rena menunduk. "Itu aku buat khusus untuk nenekku."

Jeremy mendekat, laly menunduk dan berbisik lembut di telinganya, "Dia sakit kanker, hidupnya tinggal sebentar lagi. Rena, tolong berikan padanya, ya?"

Rena menjawab tenang, "Kalau aku bilang nggak ?"

Jeremy terdiam.

Udara di sekitar mereka mendadak dingin dan menegang.

Nadia menahan dada sembari menangis tersedu-sedu. "Jeremy ...."

Tanpa ragu sedikit pun, Jeremy langsung berkata, "Aku setuju. Ambil saja, Nadia."

Nadia seketika berhenti menangis dan tersenyum bahagia. Dia segera berbalik dan berjalan cepat ke makam kakek neneknya, lalu meletakkan ukiran batu rumah kecil itu di depan nisan.

Rena menatap foto neneknya yang tersenyum di atas batu nisan. Dia memaksa bibirnya untuk tersenyum, tetapi ujung matanya sudah memerah, menahan perih yang tak bisa disembunyikan lagi.

Entah apa yang Jeremy katakan di sampingnya, Rena tidak lagi mendengarnya sama sekali.

Yang ada di pikirannya hanyalah, betapa lama dirinya belajar memahat. Dia mencari guru, menggambar sketsa berulang kali dan gagal entah berapa puluh kali. Dia mencurahkan waktu dan tenaga, mengukirnya dengan penuh kesabaran.

Ukiran kecil itu adalah simbol cinta dan kenangan yang dia persiapkan dengan sepenuh hati untuk diberikan kepada neneknya. Namun akhirnya, semuanya diserahkan oleh Jeremy kepada Nadia dengan mudahnya.

Sampai titik ini ... apa lagi yang tidak bisa diberikan Jeremy pada Nadia?

Rena menatap batu nisan neneknya, dalam hati berkata, 'Nek, ternyata kita berdua sama-sama salah menilai orang. Untungnya, semuanya belum terlambat. Aku ... nggak butuh laki-laki seperti dia lagi.'
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 14

    "Aku boleh datang menemuimu? Kita bicara langsung bertatap muka," tanya Jeremy.Namun, Rena menolak, "Nggak perlu. Di mana pun tempatnya, jawabanku tetap sama."Jeremy belum menyerah. "Kalau begitu ... aku tunggu kamu pulang ke negara kita. Nanti aku akan mengejarmu lagi dari awal. Kali ini aku akan melakukannya dengan benar. Aku akan membuat seluruh kota ... nggak, seluruh negeri ini, bahkan seluruh dunia tahu kalau aku mencintaimu. Aku ingin ...."Rena menyela, "Maaf, Jeremy Hardez. Sekarang aku telah menemukan terlalu banyak hal bermakna dalam hidupku. Untuk sementara, aku nggak tertarik menjalin hubungan. Kita nggak perlu berhubungan lagi ke depannya."Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, Rena langsung memutus sambungan telepon.Tanpa peduli Jeremy yang masih terus memanggil namanya di seberang sana. Di telinganya hanya tersisa suara tut ... tut ....Jeremy terdiam lama.Lalu tiba-tiba, dia memegangi dadanya dan akhirnya mengeluarkan jeritan pilu yang penuh derita. Rasa sakit it

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 13

    Meski perjalanan belajar ke luar negeri itu diprakarsai oleh sang guru, Claude sama sekali tidak menetapkan jadwal maupun rute tertentu. Ketika Claude menerima telepon darurat dari dalam negeri dan harus segera pulang, Rena masih ingin melanjutkan perjalanannya.Claude tidak menahannya, bahkan mendukung sepenuhnya.Sejak dulu, dia memang percaya bahwa seorang dokter harus banyak menemui pasien agar kemampuan medisnya semakin matang.Akhirnya, Rena pun tetap tinggal di luar negeri bersama dua rekan dokter lainnya yang juga memiliki bakat luar biasa. Mereka terus bepergian, mengobati lebih banyak pasien, sambil menikmati keindahan dunia yang luas dan beragam.Setelah menyaksikan luas dan agungnya alam semesta, serta betapa kecil dan berharganya kehidupan manusia, hati mereka perlahan menjadi semakin damai.Saat baru pergi ke luar negeri, meski sesekali memaksakan diri untuk tersenyum, ekspresi Rena tetap terlihat seperti sedang menangis. Sebagian besar waktu, dia hanya diam membisu.Namu

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 12

    Jeremy bekerja tanpa henti sepanjang hari, tidak makan ataupun tidur untuk menyelesaikan semua urusan pekerjaannya lalu segera menaiki pesawat.Namun setelah melewati berbagai rintangan dan akhirnya tiba di rumah sakit tempat Rena berada, dia malah tidak menemukan Rena.Bagai disambar petir, Jeremy menggeleng dengan kuat. "Nggak mungkin .... Rena nggak mungkin sudah meninggal! Nggak mungkin!" Dia mencengkeram orang di hadapannya dengan kekuatan yang luar biasa. "Ke mana dia?!"Orang itu menjelaskan, "Dokter Rena memang sedari awal hanya datang untuk membantu. Dia bukan bagian dari organisasi Dokter Lintas Batas. Dia pergi bersama gurunya, Pak Claude. Mereka bilang ingin lanjut ke tempat lain untuk mengobati pasien."Mendengar hal itu, Jeremy sempat menghela napas lega, tapi justru merasa semakin tegang. "Kamu tahu ke mana mereka pergi?"Orang itu menggeleng. Tidak tahu. Namun yang penting, Rena tidak mengalami kecelakaan. Dia masih hidup.Selama dia masih hidup, Jeremy tidak takut apa

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 11

    Setelah menghabiskan banyak uang dan melewati berbagai rintangan, akhirnya Jeremy berhasil mendapatkan kembali foto Rena.Dalam foto itu, Rena berada di sebuah rumah sakit dengan fasilitas seadanya. Dia mengenakan jas dokter berwarna putih, rambut panjangnya sudah dipotong menjadi sebahu. Penampilannya tampak bersih dan rapi, dengan sorot mata yang jernih dan tenang.Jeremy menatap wajah yang selalu dia rindukan itu dengan penuh kerinduan.Sejak kepergian Rena, hampir setiap malam dia bermimpi tentang wanita itu.Namun, mimpi itu selalu berulang pada hari di tempat pemakaman. Abu jenazah nenek Rena dihempaskan ke tanah oleh Nadia, dan dia malah memilih untuk berpihak pada Nadia.Tatapan mata Rena saat itu ....Tatapan itu terus menghantui Jeremy, membuatnya terbangun dari mimpi dengan jantung berdegup kencang. Karena dalam tatapan mata Rena saat itu, begitu jelas tergambar bahwa Rena sudah sepenuhnya kehilangan harapan terhadap dirinya.Setiap kali dia terbangun dari mimpi buruk itu, h

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 10

    Jeremy tahu, jika saat ini dia bisa segera memperbaiki semua kesalahannya, menggunakan ketulusan hati untuk menebus luka yang dia berikan pada Rena, membuat gadis itu melihat kesungguhan dan niat baiknya, maka masih ada kemungkinan Rena akan kembali padanya.Namun, jika anak yang dikandung Nadia sampai lahir ... kesempatannya akan hilang selamanya.Jeremy pun menyatakan sikapnya pada kedua orang tuanya, "Aku nggak menginginkan anak dari Nadia. Aku masih muda. Kalau ingin punya anak, kapan saja bisa."Namun, orang tuanya tidak semudah itu diyakinkan. "Kamu ingin Rena kembali, 'kan? Kamu hanya mau anak yang lahir dari dia. Tapi, gimana kalau hubungan kalian sudah nggak mungkin diperbaiki? Kalau dia nggak pernah kembali padamu, lalu bagaimana? Keluarga Hardez akan kehilangan penerus?"Ucapan "Rena tidak akan pernah kembali" itu seperti menghantam dada Jeremy dengan keras. Wajahnya langsung menunjukkan rasa sakit yang mendalam.Dia terdiam cukup lama. Lantaran tidak ingin lagi menutupi apa

  • Melepas Cintaku Demi Cintamu   Bab 9

    Di sisi lain, Rena bergabung dengan organisasi Dokter Lintas Batas bersama dosennya dan langsung menuju negara yang sedang dilanda perang. Di sana, peperangan terjadi di mana-mana dan korban luka berserakan di setiap sudut.Rumah sakit setempat sangat sederhana. Kekurangan tenaga medis dan obat-obatan sudah menjadi hal yang biasa.Ketika mereka tiba di rumah sakit, kebetulan baru saja terjadi kecelakaan beruntun akibat serangan bom. Ambulans terus berdatangan, membawa para korban yang harus segera diselamatkan. Karena jumlah ambulans tidak mencukupi, warga setempat bahkan menggotong korban di atas tandu seadanya menuju rumah sakit.Rena tidak sempat berpikir panjang. Dia langsung ikut bergabung dalam tim medis untuk menangani para pasien.Satu per satu nyawa mereka selamatkan. Ketika Rena akhirnya keluar dari ruang operasi dalam kondisi nyaris ambruk, sudah lebih dari sepuluh jam berlalu sejak kedatangannya.Kakinya terasa lemas dan nyaris gemetar. Lengannya begitu pegal hingga seperti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status