Hari-hari berjalan lambat bagi Alea, tapi ia sudah terbiasa dengan ritmenya. Pagi bekerja, sore membantu di rumah, malam meringkuk di kasur tipis dengan pikiran-pikiran yang tak pernah benar-benar pergi. Namun, sejak beberapa hari terakhir, perasaan tak nyaman mulai menghantuinya. Seolah ada yang mengintai... tapi selalu menghilang saat ia menoleh.
Zio pun tak banyak bicara akhir-akhir ini. Wajahnya pucat, dan beberapa kali Alea melihatnya muntah diam-diam di kamar mandi. Saat ditanya, kakaknya hanya menjawab pendek, “Masuk angin biasa.” Tapi Alea tahu itu bukan hal biasa. Sore itu, saat kafe sedikit lengang, Reihan kembali datang. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan tinggi berambut panjang, tampak seperti dosen atau kakak tingkat. Mereka terlihat akrab, namun pandangan Reihan tetap sempat terlempar ke arah Alea yang tengah menuang kopi ke gelas pelanggan. Setelah perempuan itu pergi, Reihan menghampiri meja bar. “Alea,” panggilnya pelan. Alea menoleh, sedikit heran. “Iya, Kak?” “Aku cuma mau bilang... aku ada kenalan, lembaga pendidikan non-formal. Mereka bantu anak-anak putus sekolah. Kalau kamu mau, aku bisa bantu daftarin…” Alea terdiam. Hatinya menegang. Tawaran itu terlalu baik, terlalu mengejutkan—tapi juga membuatnya takut. “Aku pikir-pikir dulu ya, Kak. Terima kasih sudah perhatian.” Reihan mengangguk mengerti, walau jelas dari matanya ia ingin bicara lebih banyak. Tapi Alea keburu mundur, kembali ke dapur dengan pikiran yang bercampur aduk. Alea memang orang yang cuek. Ia hanya ramah karena pekerjaannya. Dari pertama kali pertemuan dengan Alea, Reihan tak hanya melihatnya cuek namun dia berbeda dari yang lain. “Dia bukan orang Asia sepertinya... atau mungkin ada gen keluarganya yang dari luar Asia?” gumam Reihan dalam hati. --- “Apa kau sudah menemukan gadis itu dan kakak laki-lakinya?” “Saya hanya menemukan gadis itu, tapi tidak dengan kakak laki-lakinya.” Seorang wanita bergaun merah menatap nanar ke arah langit, seperti mengisyaratkan sesuatu. “Nyonya, saya tahu keberadaan gadis itu, dan saya bersedia mengantar Anda,” tawar pria itu. “Aku tidak bisa ikut denganmu... bahkan aku tidak bisa keluar dari tempat ini,” ucapnya sambil melamun. “Apa yang harus aku lakukan, Nyonya?” “Tetap awasi dia dan cari tahu di mana kakak laki-lakinya, serta dia tinggal bersama siapa.” Pria itu langsung patuh dan segera pergi. Selthara, seorang wanita bergaun merah dari masa lalu, dikurung oleh suaminya dan menunggu anaknya bereinkarnasi. Anak dan suaminya gugur dalam perang, namun karena kekuatan magis, ia berhasil dilindungi di sebuah gubuk kuno di tengah hutan. Ia berhasil membuat anaknya bereinkarnasi, tapi gagal membangkitkan suaminya. Ryan, seorang pemburu, secara tak sengaja menemukan gubuk tua itu dan bertemu dengan Selthara. Awalnya, ia mengira Selthara adalah hantu gentayangan karena mengenakan gaun merah dan bernyanyi dalam bahasa asing. Selthara yang yakin Ryan adalah pemuda baik akhirnya menugaskannya untuk mencari kedua anaknya yang telah bereinkarnasi, dengan imbalan emas kuno yang bisa dijual miliaran di zaman sekarang. Ryan pun setuju. Namun, jika ia ingkar janji, kematian tragis menantinya. Ryan menatap layar ponsel tua berbingkai perak yang diberi Selthara. Benda aneh itu tak pernah kehabisan daya dan hanya bisa menghubungi satu nomor milik wanita bergaun merah dari masa lalu itu. Ia berdiri di dekat halte sepi, lampu jalan berkedip pelan di atasnya. Suara kendaraan terdengar sayup-sayup, tapi pikirannya penuh pada gadis yang baru saja dilihatnya di kafe: Alea. Dengan ragu, ia menekan satu tombol. Tiga dering. Lalu terdengar suara lembut namun dingin dari ujung sana. “Kau menemukannya?” Ryan menelan ludah. “Ya, Nyonya Selthara. Namanya Alea. Dia bekerja di sebuah kafe, tinggal dengan kakak laki-lakinya… Tapi ada yang aneh.” “Aneh?” “Gadis itu... sering tampak waspada, gelisah. Seolah ia bisa merasakan sesuatu yang tidak terlihat.” Hening beberapa saat. “Itu karena kekuatan masa lalunya mulai bangkit. Reinkarnasi tidak menghapus semuanya, hanya mengubur,” ujar Selthara. Suaranya terdengar seperti gema dari dalam gua jauh, namun menekan dada. “Kau harus lebih dekat dengan mereka. Jangan terlalu menakutkan, tapi cukup untuk dipercaya. Aku akan beri petunjuk berikutnya setelah kau tahu di mana mereka tinggal.” Ryan menggenggam ponsel itu erat, lalu mematikannya. --- Alea masuk ke rumah dengan perasaan gelisah. Ia merasa seperti sedang diawasi. Sesampainya di ruang tamu, ia melihat Zio tampak bahagia. “Kakak? Kamu kenapa?” “Kakak keterima jadi sales mobil, Lea!” “Sales mobil? Memangnya Kakak bisa nawarin mobil sampai pembelinya langsung beli?” tanya Alea polos. “Tenang saja, Kakak pasti bisa. Gajinya lumayan, karena Kakak jadi sales di mobil mewah,” ucap Zio gembira. Alea melotot kaget. “Wah, kalau Ayah tahu pasti dia senang, Kak.” “Pastinya. Kita bisa mulai menata masa depan, dan kamu bisa sekolah non-formal.” Alea teringat ucapan Reihan di kafe tadi tentang tawaran sekolah non-formal. Tak lama, ayah mereka pulang membawa sekantong penuh makanan. “Kalian pasti lapar. Ayah baru saja diberi makanan oleh bos Ayah.” Mereka berdua sumringah memang sedang lapar. Mereka makan bersama seperti biasa. “Ayah, aku diterima kerja sebagai sales mobil mewah. Tidak jauh dari sini.” “Benarkah? Tapi itu akan membuatmu lelah. Kalau mobil nggak terjual, bagaimana?” “Tenang saja, aku pasti bisa jual mobil dan menawarkannya.” Ayahnya hanya mengangguk sambil tersenyum, meski dalam hatinya khawatir kalau Zio kelelahan dan berujung sakit. --- Esok paginya, Zio bersiap untuk interview menjadi sales. Wangi parfum menyeruak dan pomade membuat rambutnya tertata. Mereka memang keluarga kurang mampu, tapi ayahnya tak membiarkan anak-anaknya terlihat tak rapi. Parfum dan pomade itu membantu Zio tampil percaya diri. Zio berdiri di depan cermin usang yang tergantung di dinding kamar, menatap bayangannya dengan senyum tipis. Kemeja pinjaman dari tetangga sudah disetrika rapi, celana hitam yang agak kependekan disiasati dengan sepatu pantofel murah agar tampak lebih profesional. Pomade membentuk rambutnya menjadi belahan samping yang rapi, sementara parfum murah menyebarkan aroma menyengat khas pasar malam. Alea mengintip dari pintu kamar, menyandarkan tubuh di kusen dengan tangan menyilang. “Kak, kamu keren juga kalau rapi gini,” godanya setengah kagum. Zio menoleh, tersenyum percaya diri. “Tentu dong. Harus kelihatan meyakinkan biar mereka percaya aku bisa jual mobil, kan?” Alea hanya tertawa kecil. Tapi dalam hatinya, ada rasa bangga dan kekhawatiran yang masih membayangi. “Aku doain sukses ya, Kak,” ucap Alea, mendekat lalu merapikan kerah kemeja Zio. “Terima kasih, sayang,” jawab Zio, mencubit pelan pipi adiknya sebelum melangkah pergi. --- Sementara itu, di kafe tempat Alea bekerja, Reihan duduk di pojok ruangan dengan laptop terbuka. Namun, pandangannya lebih sering teralihkan ke arah Alea yang sedang melayani pelanggan. Ia menyadari ada perubahan kecil pada gadis itu gerak tubuhnya lebih cepat, matanya lebih tajam, seolah selalu waspada. Dan ia bukan satu-satunya yang memperhatikan Alea hari itu. Di sudut luar jendela, seorang pria ber-hoodie hitam berdiri sambil berpura-pura memainkan ponsel. Tapi pandangannya tak pernah lepas dari dalam kafe. Napasnya teratur, tubuhnya nyaris tak bergerak seperti bayangan hidup. Reihan sempat menangkap sosok itu lewat pantulan kaca jendela dan langsung curiga. Tapi ia menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Setelah beberapa saat, pria itu pergi, menghilang di antara kerumunan jalanan. Reihan mulai memotret Alea. Entah mengapa, dirinya mulai menyukai gadis itu. Dan dia jugalah yang diam-diam mengatur agar Zio diterima interview dan pastinya akan diterima bekerja. Reihan sudah mengatur semuanya untuk Zio. Ia juga mulai mencari tahu tentang Alea dan keluarganya. Satu per satu, kebenaran mulai terbuka. Beberapa hari berlalu. Zio resmi bekerja di showroom mobil mewah sebagai sales junior. Meski belum banyak mengerti dunia otomotif, antusiasmenya yang tinggi dan wajah yang mudah disukai membuatnya cepat diterima rekan-rekannya. Ia pulang lebih malam dari biasanya, membawa cerita-cerita kecil tentang mobil yang belum pernah ia lihat sebelumnya, atau pelanggan kaya yang datang dengan setelan mahal dan sikap angkuh. Namun, di balik ceritanya yang tampak bersemangat, Alea mulai menyadari satu hal: Zio semakin sering batuk darah. Ia menemukannya pagi itu, saat tengah membersihkan tempat sampah kamar mandi. Serbet kecil berwarna merah gelap. Zio menyangkalnya, seperti biasa. Tapi kini, tatapannya tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit. “Aku cuma kecapekan,” katanya. “Besok pasti baikan.” Alea tak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu kembali menyibukkan diri di dapur dengan pikiran yang semakin kacau. Ayah mereka mulai khawatir akan kondisi Zio. Ia ingin menyuruh Zio untuk beristirahat di rumah, tapi juga tak tega karena Zio terlihat begitu bahagia dengan pekerjaannya. --- Sementara itu, Ryan makin dalam menyusup ke kehidupan Alea. Ia mulai sering muncul di sekitar kafe, berpura-pura menjadi pelanggan baru. Beberapa kali ia datang hanya untuk memesan teh hangat, lalu duduk berlama-lama membaca buku tua yang entah mengapa selalu ia bawa. Hari itu, saat Alea mengantarkan pesanannya, Ryan memulai percakapan. “Kamu suka kerja di sini?” Alea mengangkat bahu. “Lumayan. Daripada nganggur.” Ryan tersenyum, lalu membuka buku lusuhnya dan menunjukkan gambar aneh—lukisan tua seorang wanita bergaun merah berdiri di depan gubuk. Di latar belakang, dua anak berdiri berjauhan. Seorang laki-laki dan perempuan. “Aku baru nemu ini di pasar loak. Mirip kamu, kan?” Alea mengernyit. Matanya menatap gambar itu lebih lama dari seharusnya. Perutnya tiba-tiba terasa mual, dan jantungnya berdetak lebih cepat. “Lucu aja. Aku suka koleksi aneh-aneh,” lanjut Ryan santai. “Kayaknya aku pernah lihat gambar ini...” gumam Alea pelan, tapi ia tak tahu dari mana ingatannya berasal. Ryan semakin tertarik memancing Alea dengan menunjukkan gambar-gambar kuno dari bukunya. “Bagaimana? Bagus-bagus, kan?” “Iya, bagus. Apa...” Sebelum Alea melanjutkan ucapannya, rekan kerjanya langsung memanggil. “Shit, padahal waktu yang tepat,” gumam Ryan kesal. Reihan mengamati pria itu dari kejauhan, kesal karena pria asing itu terlalu akrab mengajak bicara Alea.Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong.“Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar.Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar.“Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.”Zio mengernyit. “Mengingat apa?”“Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.”Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja.“Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa langsung pros
Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark
___Sementara di sisi lain Reihan mencari sosok yang ia cari untuk mengisi hari-harinya.“Alea tumben gak kelihatan” batin Reihan .Reihan langsung memesan Americano Coffe sambil mencari sosok yang ia cari.“Maaf kak, hari ini Alea libur?“ Tanya Reihan hati-hati.“Alea hari ini izin karena demam, dan lagian Alea baru ini izin sakit” jawab rekan kerja Alea.Reihan mengangguk mengerti, seharusnya kemarin dia ke kafe agar melihat kondisi Alea sebelum demam.Reihan duduk di pojok kafe yang biasa ditempati Alea saat istirahat. Kursi itu kosong, tapi seolah masih menyimpan kehadiran gadis itu, senyum tipisnya, suara tawanya yang jarang tapi menenangkan, dan tatapan matanya yang kadang melamun, kadang menusuk.Ia menyeruput Americano-nya pelan, tapi pahit kopi tak bisa menyaingi kegelisahan di dadanya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyusuri jalanan, berharap Alea muncul tiba-tiba sambil tertawa dan berkata bahwa dia hanya bercanda.Tapi tidak. Tidak hari ini.Dan entah kenapa, hatin
Nyanyian dengan bahasa asing yang tidak di mengerti Alea seolah mengingatkan sesuatu tapi Alea belum bisa mengingat.Perempuan bergaun merah itu mengayunkan ayunan saat Alea sedikit lagi mendekat ke arahnya.“Lucanir, Lunathys di mana kalian?“Ucap pelan perempuan itu.Alea tercengang mendegar nama Lucanir dan Lunathys.Perasaan campur aduk anatara terkejut dan seperti tak asing baginya.Alea melanjutkan langkah nya yang terhenti agar mengetahui siapa wanita itu.Langkah demi langkah Alea paksakan karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.Ketika beberapa langkah lagi, kabut tebal langsung menyerbu perempuan itu dan akhirnya menghilang. Hanya ayunan kayu tua yang tertinggal.“Apa benar dia hantu? Kenapa tiba-tiba menghilang” gumam Alea panik.“Ayah, tolong Lea”“Lea gak tau ini dimana”“Kak Zio, tolong aku” Alea mulai menangis dan memanggil orang-orang yang ada di benaknya.Alea perlahan melangkah perlahan mencoba menenangkan diri. Kabut tebal yang semakin lama menipis m
Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan. Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok. Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati. Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea. Ia membuka folder khusus ya
Reihan duduk lebih lama dari biasanya di kafe itu, pandangannya tertancap ke arah Ryan yang tadi berbincang santai dengan Alea. Ia tidak menyukai cara pria itu berbicara terlalu akrab, terlalu nyaman, seolah mereka sudah saling kenal lama. Terlebih, Reihan bisa membaca bahasa tubuh Alea. Meski gadis itu tampak tenang, ada kegelisahan samar di matanya reaksi instingtif terhadap sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Dan Reihan mempercayai insting Alea, bahkan lebih dari dirinya sendiri.Setelah Ryan pergi, Reihan mendekat ke meja bar.“Alea, tadi cowok itu siapa?” tanyanya pelan, tapi tatapannya tajam.Alea sedikit terkejut. “Gak tahu juga. Kayaknya pelanggan baru. Tapi dia bawa buku-buku aneh, gambar-gambar zaman dulu gitu…”Reihan menyipitkan mata. “Dia pernah datang ke sini sebelumnya?”Alea menggeleng. “Baru belakangan ini sering nongkrong. Tapi gak ganggu kok, paling cuma ngobrol bentar.”Reihan mengangguk perlahan, tapi pikirannya berputar cepat. Ia bukan hanya sekadar peduli kar
Hari-hari berjalan lambat bagi Alea, tapi ia sudah terbiasa dengan ritmenya. Pagi bekerja, sore membantu di rumah, malam meringkuk di kasur tipis dengan pikiran-pikiran yang tak pernah benar-benar pergi. Namun, sejak beberapa hari terakhir, perasaan tak nyaman mulai menghantuinya. Seolah ada yang mengintai... tapi selalu menghilang saat ia menoleh.Zio pun tak banyak bicara akhir-akhir ini. Wajahnya pucat, dan beberapa kali Alea melihatnya muntah diam-diam di kamar mandi. Saat ditanya, kakaknya hanya menjawab pendek, “Masuk angin biasa.”Tapi Alea tahu itu bukan hal biasa.Sore itu, saat kafe sedikit lengang, Reihan kembali datang. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan tinggi berambut panjang, tampak seperti dosen atau kakak tingkat. Mereka terlihat akrab, namun pandangan Reihan tetap sempat terlempar ke arah Alea yang tengah menuang kopi ke gelas pelanggan.Setelah perempuan itu pergi, Reihan menghampiri meja bar.“Alea,” panggilnya pelan.Alea menoleh, sedi
Matahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap. Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya.Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya.Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya.Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya.Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain.Ia menunduk sam