Mata Anaby berkunang-kunang kala meraih kotak kecil berbalut kertas kado biru yang telah disiapkannya jauh-jauh hari.
Namun, ia tetap memaksakan diri sebab hari ini, putra angkatnya yang kini berusia 9 tahun akan menerima penghargaan sebagai juara olimpiade matematika.
Rasa bangga mengalihkan sakit di tubuhnya.
Satu hal di kepala Anaby saat ini: dia harus ke sana.
“Uhuk…” Baru saja Anaby melewati pintu kamar, batuk kembali mengguncang tubuhnya.
Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menusuk paru-parunya di dalam sana.
Napasnya terputus-putus, dan sesuatu yang hangat pun mengalir dari bibirnya.
Tangan wanita itu refleks terangkat, dan saat ia menatap telapaknya— ada darah segar di sana.
"Darah apa itu? Sangat menjijikkan.”
Suara putranya membuat Anaby tersentak. Terlebih ia baru sadar jika Sandra–sahabatnya–justru menarik tangan Leon menjauh.
"Jangan dekat-dekat, Nak. Itu menular. Darah itu pasti dari mulut Ana.”
"Iya, Mama. Aku merasa mau muntah."
Mama? Mengapa Leon memanggil Sandra demikian?
Anaby terhenyak. Pandangannya beralih ke arah Leon yang kini bersembunyi di balik tubuh Sandra.
Belum sempat ia bertanya, Aslan, suaminya melangkah maju dan menatapnya dengan pandangan dingin.
"Benar darah itu dari batukmu?"
"Iya, tapi aku masih bisa pergi,” jawab Anaby mengangguk lemah. “Aku ingin melihat Leon menerima penghargaan. Aku harus—"
"Siapa yang mau mengajak wanita berpenyakit TBC ke acara sepenting itu?" potong Aslan, suaranya sarat dengan cemoohan. “Lebih baik kau tetap di rumah. Jangan menyusahkan kami.”
Deg!
Anaby terpaku. Kata-kata Aslan menikamnya lebih tajam dari belati mana pun.
“Kalau begitu, mana obatku?” Akhirnya, Anaby menanyakan hal lain yang mengusik hatinya.
Sedari seminggu lalu, persediaan obatnya sudah habis. Akan tetapi, Aslan tak juga kunjung memberikannya.
Uangnya? Semua ditahan Aslan sejak pria itu mengambil alih perusahaan keluarganya.
Tak ada tetangga yang memberi pertolongan. Sekadar berkunjung pun mereka takut, karena ada gosip bila Anaby menyebarkan penyakit menular.
"Tidak ada gunanya berobat, Ana," timpal Sandra dengan nada dingin. "Lebih cepat kau mati, akan lebih baik. Kau hanya menjadi penghalang untuk kebahagiaan kami sebagai keluarga lengkap.
Hati Anaby retak seketika. Ini mustahil. Sandra, sahabat yang ia percayai sejak di bangku sekolah, yang selalu ia bantu dalam hal keuangan, tega berkata seperti itu?
"A-apa maksudmu?”
Sandra tersenyum sinis. "Asal kau tahu, Leon adalah putraku."
Anaby membeku. Kepalanya mendadak berdenyut hebat. Ia masih ingat bagaimana dulu Aslan mengatakan bahwa Leon adalah anak yatim piatu yang malang. Aslan memohon agar Anaby mengangkatnya sebagai anak.
Tanpa ragu, Anaby menerima kehadiran Leon, merawatnya seperti anak kandung sendiri. Tapi ternyata, Aslan telah merencanakan semua itu untuk menipunya?
"Bagaimanapun, kau harus berterima kasih padaku, Ana. Setidaknya, wanita mandul sepertimu bisa membesarkan seorang anak," ujar Sandra tanpa rasa bersalah.
Mata Anaby terasa panas, terlebih saat menatap bocah lelaki yang kini memandangnya jijik.
Dalam sekejap, ia tidak hanya kehilangan suami, tetapi juga sahabat dan anak yang ia sayangi.
Apa salahnya?
"Leon, pergilah ke mobil bersama Mama. Ada yang perlu Papa bicarakan dengan wanita ini." Aslan kembali berbicara.
Leon mengangguk patuh. Digandengnya Sandra ke luar rumah bagai sepasang ibu dan anak yang hangat.
Di sisi lain, Anaby masih terduduk di lantai. Setiap batuk yang keluar dari tenggorokannya meninggalkan rasa perih yang membakar, bercampur dengan bau anyir darah.
Namun, Aslan hanya berdiri dengan tatapan dingin.
Lelaki itu merogoh saku jasnya, mengeluarkan masker, seolah takut udara yang dihirupnya tercemar oleh keberadaan Anaby.
"Tandatangani sekarang juga," perintah Aslan, sembari menyodorkan kertas dan pulpen. "Aku tidak mau punya istri yang penyakitan."
Anaby menatap dokumen tersebut dengan mata nanar. Tulisan di atasnya terlihat jelas: Surat Kesepakatan Cerai.
"Berikan obatku dulu. Rasa nyeri ini ... tak tertahankan." Di tengah rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya, wanita itu berusaha untuk bernegosiasi.
"Tidak, Ana,” tolak Aslan, “Tandatangani dulu. Baru kau dapatkan obatmu."
Anaby terdiam. Betapa rendah dirinya di mata Aslan, hingga pria itu sengaja mempermainkan hidupnya.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat pulpen dan menorehkan tanda tangannya di atas kertas.
Setiap goresan tinta, hatinya terasa seperti teriris. Namun, ini bukan lagi soal perasaan—ini tentang bertahan hidup.
Begitu Aslan menarik kembali dokumen itu, seulas senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Pria itu menyimpannya di dalam amplop, lalu berjalan mendekati Anaby.
"Selesai sudah. Selamat tinggal, Ana."
"Obatku, Aslan ….”
Pada saat yang sama, Anaby mengulurkan tangannya, tetapi Aslan justru berjalan menjauh. Tanpa ragu, pria itu mengambil botol obat dari saku jasnya, lalu menjatuhkan seluruh isinya ke tempat sampah.
"Ambil sendiri jika kau butuh!"
Hati Anaby berdenyut nyeri, lebih nyeri daripada penyakit yang harus ia tanggung. Air matanya berderai, membasahi pipinya yang tirus.
"Kenapa ... kau begitu kejam padaku?”
Aslan mengangkat dagunya, matanya bersinar penuh kebencian. "Karena kau hanyalah alat bagiku untuk menguasai harta keluarga Buana. Ini adalah pembalasan yang setimpal, atas penghinaan yang diterima oleh kedua orangtuaku.”
Pria itu lantas menunduk sedikit, membiarkan suara dinginnya bergema di telinga Anaby.
”Sejak awal, aku hanya mencintai Sandra. Bahkan, di malam pernikahan kita, aku lebih memilih bercinta dengannya daripada menyentuhmu."
Brak!
Aslan pun pergi dari sana dengan membanting pintu.
Tak hanya itu, ia juga menguncinya dari luar—meninggalkan Anaby yang tak berdaya.
Dalam kepedihan yang begitu dalam, Anaby merangkak menuju tempat sampah.
Tangannya berusaha mencari obat yang telah dibuang dengan sengaja. Namun, napasnya semakin pendek dan pandangannya semakin kabur.
Ia pun terkapar di lantai marmer yang begitu dingin.
Perlahan, kenangan masa lalu berputar-putar di dalam benaknya.
Anaby teringat betapa Aslan dulu begitu lembut, penuh perhatian, hingga ia menolak perjodohan dengan Michael Rajasa.
Tak peduli jika Aslan dari latar belakang sederhana, bahkan ia hanya putra dari sopir dan pembantu keluarganya. Namun, Anaby memilih untuk kawin lari.
Esok harinya, ia pun menerima kabar bahwa sang ayah terkena serangan jantung.
Terpaksa, Anaby pulang dan di ranjang kematiannya, sang ayah akhirnya memberikan restu.
Namun, apa yang terjadi setelah itu?
Aslan ternyata mengkhianatinya dan menunggu moment ini.
Antara sadar dan tidak sadar, Anaby mendengar suara gaduh.
Pintu didobrak, dan suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya.
Samar-samar, Anaby melihat seorang pria berlutut di sampingnya, memeluk tubuhnya yang dingin dengan panik.
"Ana, sadarlah! Aku di sini untuk menolongmu!"
Suara itu penuh kepanikan, tetapi juga penuh ketulusan.
Michael Rajasa?
Pria yang pernah dijodohkan dengannya?
Anaby ingin membuka mata, tetapi tubuhnya tak merespons.
Satu-satunya yang ia rasakan hanyalah pelukan hangat di tengah kegelapan, sebelum napas terakhirnya melayang ke udara.
"Akhh..."
Hai hai, para readersku tersayang. Berjumpa lagi dengan author Risca di novel baru. Semoga ceritanya bisa bikin kamu senyum, gregetan, baper, atau bahkan pengen teriak, “Aku juga mau dong kembali ke masa lalu, seperti Anaby”. Yuk, bantu author buat terus semangat nulis! Caranya gampang banget: 👉 Kasih komentar (author baca semua) 👉 Berikan Gems (biar author tahu kamu eksis selalu) 👉 Dan jangan lupa kasih rating bintang lima ✨✨✨✨✨ (karena bintang satu cuma cocok buat tokoh jahat 😂) Makasih banyak udah mampir. Selamat menikmati kisahnya, dan hati-hati baper! Love sekebon dari Author.
Dentuman musik orkestra yang merdu memenuhi ruang ballroom. Tepat ketika jarum jam menunjuk pukul tujuh malam, acara perayaan ulang tahun Nyonya Safira resmi dimulai.Seorang pembawa acara melangkah ke panggung dengan percaya diri. Senyum ramah tersungging di bibirnya ketika ia mengucapkan salam hangat, menyambut para kerabat, sahabat, dan tamu kehormatan. “Sebagai pembuka acara malam ini,” suara sang pembawa acara bergema jelas, “kami dengan hormat mempersilakan Tuan Michael Rajasa, CEO Matrix Group sekaligus putra tunggal Nyonya Safira, untuk menyampaikan sambutan.”Semua mata seketika beralih pada Michael. Sebelum beranjak dari kursi, pria itu melirik ke arah Anaby.Senyum tipis terbit di bibir Anaby. Anggukan penuh keyakinan ia berikan kepada Michael, seakan menyalurkan kekuatan lewat tatapan matanya.Michael bangkit. Dengan gerakan tenang, ia merapikan jas putih yang membalut tubuh tegapnya, lalu melangkah menuju panggung.Tepuk tangan membahana, mengiringi setiap langkahnya. Aur
Anaby duduk di kursi lobi salon, jemarinya memainkan pita emas pada kantong kado yang tergeletak di pangkuannya. Sekali-kali ia melirik jam tangan tipis di pergelangan, lalu menarik napas panjang. Beberapa menit yang lalu, ia sudah menghubungi Michael. Sang suami berjanji akan menjemputnya sebentar lagi. Meski begitu, degup jantungnya tetap tak mau tenang.Dentuman dari mesin mobil yang berhenti di depan salon, membuat Anaby menoleh cepat. Dari balik kaca besar, ia melihat sosok yang membuat wajahnya seketika berseri. Michael turun dari mobil dengan setelan jas putih elegan, kontras dengan kulitnya yang cerah dan mata biru yang menyala. Posturnya yang tinggi dan tegap membuat langkahnya memancarkan pesona yang tak terelakkan.Para pegawai salon, bahkan beberapa pengunjung yang sedang duduk menunggu, spontan menghentikan aktivitas mereka. Pandangan mereka terikat pada satu titik, pria yang baru saja masuk. Bisik-bisik kecil terdengar di udara. Sebagian tersenyum, sebagian lain hanya
Mobil yang ditumpangi Anaby melaju menyusuri jalan menuju rumah sakit jiwa. Langit berwarna biru cerah, seolah merestui perjalanan Anaby hari ini.Di dalam kabin, Anaby hanya terdiam sambil menggenggam map kunjungan yang telah disiapkan. Begitu tiba di halaman RSJ, ia turun dengan langkah mantap.Anaby masuk ke lobi dan menghampiri meja resepsionis untuk menyerahkan kartu identitas.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas, dengan sopan.“Saya ingin menjenguk pasien atas nama Sandra. Dia baru saja mengalami keguguran,” jawab Anaby tenang.Petugas itu memeriksa buku catatan dan layar komputer, kemudian meminta Anaby mengisi formulir kunjungan. Setelah prosedur administrasi selesai, seorang perawat menghampiri.“Silakan ikut saya, Nona."Sang perawat memimpin Anaby melewati lorong panjang dengan pintu-pintu besi di sisi kiri dan kanan. Lorong itu sunyi, hanya sesekali terdengar teriakan atau tawa aneh dari balik pintu.“Kami menempatkan Nona Sandra di ruang perawatan khusus,” jelas per
Pagi itu, Anaby berdiri di hadapan Michael, membantu merapikan kerah jas yang jatuh sedikit miring. Jemarinya bergerak telaten, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang mengganggu penampilan suaminya. “Sedikit condong ke kiri… ya, begitu,” pungkas Anaby, penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Anaby mengambil dasi yang tergantung di sandaran kursi. Ia melilitkannya dengan gerakan yang telah dihafalkan di luar kepala.Michael menatap sang istri sambil terkekeh kecil. “Kau selalu tahu cara membuatku terlihat seperti direktur di majalah bisnis,” ujarnya, setengah bercanda, setengah tulus.Anaby mengangkat pandangan, menatap wajah lelaki itu sejenak sebelum mengencangkan simpul dasi. “Bukan terlihat, Michael. Kau memang seorang direktur dari Matrix Group,” sahut Anaby. Ada kebanggaan yang nyata dalam nada bicaranya.Michael menunduk sedikit, menyentuh ujung hidung Anaby dengan jemarinya.“Hari ini, aku ingin kau berada di salon saja. Manjakan dirimu. Lakukan semua perawatan yang membu
Anaby dan Michael masih berbaring di ranjang, tubuh mereka saling melekat tanpa jarak. Kehangatan kulit Michael di pelukannya membuat Anaby merasa aman, seakan dunia luar dengan segala ancamannya tak akan pernah mampu menjangkau mereka.Namun, denting nada dering ponsel tiba-tiba memecah keintiman yang mereka nikmati. Anaby membuka mata dan melihat ponsel Michael bergetar di meja samping ranjang. Perlahan, ia melepaskan pelukan, bangkit, lalu meraih ponsel tersebut. “Sayang, telepon masuk,” tuturnya, lembut.Dengan gerakan hati-hati, Anaby membantu Michael setengah duduk. Ia menyelipkan beberapa bantal di belakang punggung pria itu, memastikan sandarannya nyaman.Michael menatap layar sebentar, bibirnya membentuk garis tipis. “Pengacaraku. Pasti tentang proses pengadilan Aslan, Sandra, dan Laura.”Anaby mengangguk, lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan Michael.“Angkat saja. Aku ingin tahu,” pungkas Anaby, meski hatinya dipenuhi rasa tak menentu.Michael menekan tombol jawab dan men
Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu m