Satu minggu telah berlalu. Lili telah selesai melaksanakan ujiannya dengan baik. Rumah makan Mei juga beroperasi dengan lancar tanpa hambatan berarti. Sesuai dengan rencana, mereka akan terbang ke Singapura besok.
“Kau sudah mengepak kopermu?” tanya Mei. Dia baru saja selesai menata kopernya dan kini hendak ke dapur untuk mengambil air dingin.
Lili sendiri tengah menonton televisi yang menampilkan pria-pria berkulit putih yang tampan dari negara Korea Selatan yang sedang beryanyi dan berjoget. “Sudah, Kak. Aku sudah sangat siap berangkat,” jawab Lili penuh semangat.
Matanya bersinar cerah. Sepertinya dia benar-benar ingin liburan. Ya, mereka memang sudah cukup lama tidak berlibur semenjak ayah mereka meninggal.
Mei menggeleng. Entah bagaimana bisa Lili menyukai dan tergila-gila dengan boyband itu. Memang kulit mereka begitu bersih dan mulus. Hanya saja, Mei benar-benar tidak bisa membedakan nama mereka. Berkali-kali Lili bercerita, Mei tetap kesulitan membedakan V, Tae Hyung, Jungkook, atau siapa pun itu. Bagi Mei, wajah mereka semua sama.
Mei tertawa ringan. “Sebaiknya sekarang kau tidur. Kita berangkat pagi.”
“Oke, Kak!”
Setelah mengambil satu botol air di lemari es, Mei mendekati adiknya. Sepertinya ini adalah saat yang tepat bagi Mei untuk bericara serius dengan Lili tentang kecelakaannya.
“Lili.”
Lili menoleh. “Iya, Kak?”
Meiberjalan mendekat dan duduk di dekat Lili. Dia merasa ini adalah saat yang tepat baginya untuk menceritakan apa yang terjadi sebenarnya saat kecelakaannya dua tahun lalu. Mei ingin Lili mengetahuinya saat mereka belum berangkat ke Singapura.
Melihat raut Mei yang serius, Lili segera mengambil remote televisi dan mengecilkan volumenya. Setelah itu, dia memutar tubuhnya dan memberikan perhatian penuh pada kakaknya.
“Ada apa, Kak? Apa ada yang serius?”
“Sebenarnya beberapa hari yang lalu, Dimas berkata kalau kecelakaan yang menimpaku dan Albert adalah rekayasa,” ucap Mei setelah mengambil nafas dalam-dalam.
“HAH?? APA??” Lili sungguh terkejut hingga matanya membulat sempurna.
Mei mengangguk. “Dengan kata lain, ada yang sengaja ingin membuat aku dan Albert celaka.”
“Tapi kenapa??” Suara Lili bergetar saat menanyakannya. Mata juga memerah. Dia teringat bagaimana keadaan kakaknya setelah kematian Albert. Semua kesakitan kakaknya membuat keluarga mereka yang dulu bahagia langsung terguncang hebat. Dan itu semua karena ada orang yang tidak bertanggung jawab?? Ya Tuhan!!
Mei menggeleng. “Kakak juga tidak tahu.”
Dia menundukkan kepalanya. Lili melihat tangan kakanya terkepal dengan sangat erat. Nafas Mei memburu. “Au akan mencari tahu pelakunya, Lili. Aku harus menemukannya! Dia telah membuat hidupku hancur. Dia membunuh Albert. Dan secara tidak langsung, tindakannya juga membunuh ayah. Aku tidak akan melepasnya begitu saja!”
“Aku akan membantumu, Kak,” ucap Lili penuh tekad.
“Jangan, Lili! Ini akan sangat berbahaya.” Mei menggenggam tangan Lili erat. Dia menggeleng dengan cepat.
“Tidak, Kak!! Aku harus membantumu. Dua kepala lebih baik dari satu, bukan?”
Melihat mata Lili yang penuh tekad, membuat hati Mei menghangat. Senyumnya perlahan terbit. “Terima kasih, Lili.”
“Kita akan saling menjaga, Kak.”
Mei mengangguk. Dia cukup bahagia. Tuhan trnyata masih berbaik hati padanya dengan mengirim dua orang yang bersedia membantunya.
Mei pun berdiri. “Baiklah, sebaiknya sekarang kamu tidur, Lili! Aku tidak ingin besok kesusahan membangunkanmu.”
“Sebentar lagi, Kak!” seru Lili. Matanya kembali fokus menatap layar televisi.
Esoknya, ternyata Lili bangun lebih pagi dari kakaknya. Lili sudah cantik dengan rok plisket selutut berwarna kuning cerah dan kaos polo baby blue. Dia ampak cantik dengan rambutnya yang juga dikuncir di bagian atas. Mei baru bangun saat Lili sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua di saat dirinya sendiri belum mandi. Ibu satu anak itu bahkan belum menyisir rambutnya.
“Kau sudah bangun?” tanya Mei keheranan.
“Sudah dong, Kak,” jawabnya sumringah.
“Hebat kamu! Padahal rencananya aku mau bangunin kamu. Ya sudah kalau begitu aku mandi dulu terus kita sarapan bareng. Masih ada dua jam setengah sebelum boarding.”
Mei segera membalikkan badan menuju kamar. Dua puluh menit kemudian, dia sudah siap dengan celana jeans panjang, kaos polos, dan jaket. Tidak lupa sneaker untuk melindungi kakinya.
“Tampilanmu seperti mahasiswa semester akhir, Kak. Kau terlihat cantik,” puji Lili.
“Kau juga sangat cantik, Lili. Lihatlah wajahmu yang imut itu!”
“Ah, Kakak. Ini karena aku meniru gaya berias Lisa,” jawab Lili malu-malu.
“Lisa siapa? Kau punya teman bernama Lisa?” tanya Mei dengan kening berkerut.
“Ck! Lisa Blackpink, Kakak.” Lili mengerucutkan bibirnya. Kakaknya ini kenapa sangat tidak update artis Korea?
“Ya ampun! Korea lagi?” Mei menepuk jidatnya. “Jangan cemberut begitu. Ayo sarapan!”
Mei dan Lili pun mulai menyantap sarapan yang sudah dipanaskan Lili tadi. Selesai sarapan, mereka bekerja sama membersihkan meja dan piring kotor, memeriksa colokan listrik, dan memastikan semua jendela dan pintu tertutup. Setelah yakin semua aman, mereka berdua berangkat.
Suasana bandara Changi terlihat padat dan sibuk. Seorang balita tampan dengan matanya yang besar dan jernih tampak tertawa kegirangan saat grandpa-nya menggoda.
“Cucu siapa yang tampan dan lucu ini?” Dominic tersenyum lebar sambil mengusap-usap pipi gembul Alan. Bayi tampan itu tertawa keras sambil mengangkat tangannya berusaha meraih kumis grandpa-nya.
“Dad! Jauhkan tanganmu dari pipi cucuku! Awas saja kalau sampai pipinya memerah karena ulahmu!” Retno berusaha menepis tangan suaminya yang masih mengusap dan mencubit pipi Alan.
Dominic berdecak. Dia mencium gemas pipi Alan sebelum berdiri, menjauhkan wajahnya dari stroller Alan. “Kira-kira Mei sampai jam berapa, Sayang?”
“Sebentar lagi, Sayang,.” Retno sibuk memindai papan pengumuman tidak jauh dari tempatnya duduk.
“Itu dia! Sebentar lagi pesawatnya mendarat.” Retno antusias menunjuk papan pengumuman itu.
Dominic refleks melihat ke arah yang ditunjuk sang istri. Senyumnya seketika terbit. Pria tua itu juga tidak sabar menyambut kedatangan menantunya, wanita Indonesia yang menjadi pilihan putra semata wayangnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah sang menantu, menyeret sebuah koper berukuran sedang, berjalan dengan sang adik.
“Mei!!!” Suara Retno menggelegar nyaring membuat semua mata di sekitarnya langsung menoleh.
Merasa dipanggil, Mei pun menoleh. Netranya menangkap sepasang pria dan wanita paruh baya yang sangat dia sayangi berdiri tidak jauh darinya. Seorang bayi di atas stroller juga di sana dengan seorang wanita yang da yakini adalah baby sitter sang putra.
“Mommy! Daddy!” Mei berjalan cepat ke arah Retno dan Dominic.
Retno langsung memeluk Mei begitu posisi mereka dekat. “Mommy sangat merindukanmu, Sayang.”
“Aku juga rindu padamu, Mom.” Mereka pun berpelukan erat. Saat Mei melepas pelukannya Retno justru menghujaninya dengan ciuman di kedua pipinya. Mata Mei berkaca-kaca. Dia tidak menyangka kedua mertuanya masih menyayanginya setelah semua yang terjadi.
“Sayang, kau membuat wajah menantu kita penuh dengan air liurmu,” ucap Dominic kesal. pasalnya, dia sudah menunggu untuk bisa memeluk menantunya juga.
Mei terekeh. Retno pun mengalah. Dia membiarkan suami dan menantunya berpelukan. Dia memilih menyalami Lili lalu menggendong Alan agar bisa memeluk mamanya juga.
“Kau tampak luar biasa, Mei,” Dominic mengusap kepala Mei saat mereka telah melepas pelukan.
“Terima kasih, Dad. Kau juga tampak tampan seperti biasa,” ucap Mei sambil menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Kau tidak ingin memeluk putramu?” Suara Retno membuat Mei menoleh.
Di depan matanya, seorang bayi dengan mata abu-abu –seperti papanya- tersenyum lebar padanya. Air mata yang sedari tadi ditahannya, kini tumpah membasahi pipinya. Mei sesenggukan mendekati Alan. Tangannya terulur, meraih sang bocah dan memeluknya, membenamkan wajahnya di bahu sang putra. Bahunya naik turun. Isakannya terdengar lirih.
Teringat di pikirannya bagaimana dia bisa begitu bodoh membungkam wajah Alan dengan bantal. Tentu saja hal itu membuat bayi yang masih berumur beberapa hari itu kesulitan bernafas.
“Ya Tuhan! Terima kasih Engkau masih memberiku waktu untuk bisa menghabiskan waktu dengan putraku. Seandainya waktu itu Lili dan ayah tidak memergokiku, putraku pasti sudah di surga sekarang,” ucap Mei dalam hati.
Tangan Alan meraih rambut Mei dan mengusapnya. Pemandangan ini sungguh menguras emosi. Dominic, Retno, Lili, bahkan sang baby sitter tampak ikut menitikkan air mata.
Jangan lupa add FB Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk info cerita lebih lanjut. Terima kasih..
Dua setengah tahun yang lalu.. Mei dan Albert tidak bisa menyembunyikan percikan di hati mereka. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama, Albert pun memantapkan hatinya. Dengan penuh keyakinan, Albert akhirnya meminta Mei untuk menjadi istrinya. Tentu saja Mei menerima pria bule itu dengan penuh suka cita. Lima minggu setelah pelayaran itu, sebuah resepsi mewah diadakan di sebuah hotel di Surabaya. Mei tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dari bahan heavy silk yang jatuh tepat di kaki Mei. Dengan model one shoulder dan pita di bahunya juga menyempit di pinggang dan lebar di bawah membuat Mei terlihat seperti putri, sangat cantik. Albert tidak kalah memukau dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi pita yang membuatnya tampak seperti James Bond di dunia nyata. Otot-otot kerasnya terbungkus indah. Tidak membuatnya seperti raksasa, tapi terlihat liat dan fit. Mei berkali-kali melirik kapten tampan yang kini telah resmi menjadi suaminya di atas pelaminan.
Suara nyanyian burung membangunkan Mei. Wanita dua puluh lima tahun itu perlahan mengerjapkan matanya. Saat dia hendak berguling ke samping, tubuhnya mengenai sesuatu. Refleks, dia membuka matanya lebar-lebar. Siapa yang tidur di kasurnya? Tidak pernah ada orang lain di kasurnya –selain Albert tentu saja. Saat matanya terbuka lebar, dia mendapati sesosok mungil tertidur lelap di sampingnya. Senyum Mei langsung terbit. Alan! Bayi mungilnya tidur di sampingnya dengan begitu tenang. Ini adalah pertama kalinya mereka tidur bersama. Matanya terkunci pada wajah imut di sisinya. Kulit halus, hidung mancung, tangan dan kaki yang kecil dan menggemaskan. Rasa-rasanya Mei ingin waktu berhenti agar dia bisa menikmati pemandangan indah ini lebih lama. Namun sayangnya, Mei tiba-tiba merasa kantung kemihnya penuh. Mau tidak mau, dia harus bangkit dan pergi ke kamar mandi. Selesai buang air kecil, menyikat gigi, dan membasuh wajahnya, Mei keluar. Matanya berbinar saat melihat putranya sudah bangun
“Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya. Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas. Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk. “Udah, Kak?” tanya Lili. Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.” “Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada. “Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili. Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili. Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup. Baru saja keluar dar
Flashback satu setengah tahun yang lalu.. Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau. “Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert. Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya. “Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei. “Yakin cuma itu?” “Memangnya apa lagi?” Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman. “Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istr
Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin
Hari ini Mei akan mulai penyelidikannya. Dia sudah siap dengan celana panjang, kaos, dan jaket. Lili masih libur kuliah, jadi dia akan menemani kakaknya. Dia juga sudah siap. Dia bahkan sudah membuat roti lapis untuk sarapan bersama Mei.“Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, Kak!”Mei mengangguk. Kakinya melangkah menuju meja makan dan duduk dengan tenang. Mei harus menjaga emosinya tetap tenang agar bisa memecahkan kasus ini dengan cepat. “Kau yakin akan menemani kakak, Lili?”“Tentu saja, Kak. Aku juga sangat penasaran siapa orang yang tega menyakiti hatimu seperti ini.” Lili tampak mengetatkan rahangnya.“Terima kasih,” sahut Mei tulus.Lili tersenyum manis dan menatap kakaknya. “Kita bersaudara, Kak. Jika aku dala masalah, aku yakin Kakak juga akan menolongku.”“Tentu saja!” sahut Mei.Setelah sarapan, Mei dan Lili langsung menuju bengkel Dimas. Lili tidak lupa membawa laptop kesayangannya. Dia adalah seorang hacker. Dia yakin dia bisa membantu kakaknya dengan keahliannya itu.Tig
Di layar laptop Lili kini terpampang foto seorang pria muda dengan rambut panjang yang dikuncir. Sebuah tato tengkorak terbakar terlihat jelas di tangan kirinya."Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?" tanya Dimas.Lili berdecak. "Jangan meremehkan aku!"Jari Lili langsung bergerak lincah di atas keyboard, mengetik sesuatu yang Mei dan Dimas tidak mengerti.Mata Dimas melirik gadis muda yang duduk di sebelahnya. Dalam hati, dia kagum dengan kehebatan yang dimilikinya. Tidak dia sangka gadis mungil ini memiliki kemampuan yang tidak biasa."Ini!" seru Lili.Dalam beberapa detik, mereka sudah mengetahui nama preman itu."Alif Satria, biasa dipanggil Bolet. Mantan napi narkoba yang bebas dua tahun lalu. Semenjak keluar dari penjara, dia menjadi kuli di Pelabuhan Perak. Tidak menikah dan tidak punya anak. Tinggal di kos sekitar Dupak," terang Lili."Bagaimana bisa seorang preman menargetkan kamu, Kak?" tanya Lili pada Mei.Mei menatap Lili. "Aku tidak mengenalnya. Dan aku sangat yakin Albert
Erik meluncur menuju pelabuhan, tempat Bolet bekerja. Dia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pos satpam. Erik ingin menyusuri area pelabuhan dari depan. Dia tidak ingin melewatkan satu tempat pun untuk mencari Bolet. Turun dari mobil, Mei dan Erik langsung mencari sosok preman itu. Dengan berbekal foto dan nama, mereka menyisir pelabuhan.Luasnya area pelabuhan membuat Mei dan Erik kesulitan mencari sosok Bolet. Keringat sudah membanjiri tubuh keduanya. Erik sudah bertanya pada beberapa kuli panggul yang ditemuinya, tapi tidak ada satu pun yang mengenal bolet.Mei mulai merasa kakinya kaku dan wajahnya penuh dengan keringat. Mereka berdua sudah berputar-putar hingga kembali lagi di area prkir. Dia mengajak Erik duduk di bangku area parkir.“Apa mungkin informasinya salah?” keluh Mei. Tangannya mengelap keringat yang membanjiri keningnya.“Entah.” Erik membuka botol air dan langsung meminumnya. Setelahnya, dia memberikan satu lagi botol yang masih utuh pada Mei.Mei pun langs