Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah keluarga Widiani. Udara dingin terasa terasa menusuk tulang, seperti beban yang selama ini ditahan oleh Widiani. Perlahan, beban itu mulai memadat di dada.
Widiani sudah bersiap dengan blus biru laut dan celana kain hitam, rambut dikuncir dan riasan tipis seperti biasa. Dihadapannya, sudah tersedia satu cangkir teh hangat dan satu tangkup roti bakar untuk mengganjal perut.
Setelah selesai menghabiskan sarapan, Widiani berjalan menuju kamar. Tampak Rendy masih di tempat tidur, berbaring sambil memainkan ponselnya.
"Mas," panggil Widiani, "kita ke ruko hari ini, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!"
Rendy melirik sekilas, lalu berdecak malas. "Ck! Aku mau di rumah aja."
"Tapi itu tanggung jawab kamu, Mas!" ujar Widiani kesal.
"Kamu kenapa cerewet banget, sih? Kamu aja sana yang urus!" hardik Rendy pada sang istri.
Widiani mengangguk pelan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut di ujung lidahnya. Widiani tak ingin memaksa, ia sudah tahu bagaimana jawaban Rendy bila ia meneruskan kalimat selanjutnya. Harapannya pada sang suami telah pupus, terkikis oleh penghianatan dan perselingkuhan yang dilakukan oleh Rendy.
Saat ia hendak keluar kamar, terdengar suara pintu dibanting keras dari ruang tengah. Widiani menoleh ke aras asal suara, dan terlihat Hera sedang memberengut di sana.
“Bu, itu kenapa pintu dibanting?” tanya Widiani pada Hera yang masih mengenakan daster batik yang sama sejak kemarin.
“Karena Ibu kesal, Widi! Kamu itu ke mana aja, kerja seharian, rumah jadi kayak kapal pecah! Ibu capek loh harus beberes sendiri!" gerutu Hera. "Kau juga perhitungan banget. Bikin sarapan cuma buat kamu sendiri. Suami sama Ibu mertua gak dibikinin!"
"Loh, ada Ibu di rumah ini. Kenapa bukan Ibu aja yang bersihkan? Kalau Ibu nggak sanggup, silahkan pakai jasa ART, tapi bayar sendiri."
Hera mendengus. “Oh, jadi kamu sudah mulai tega sama Ibu? Ibu ini sudah tua, Widi. Tenaga juga sudah berkurang. Kamu pasti masih punya uang simpanan, 'kan? Pakai uangmu saja buat bayar pembantu."
Widiani tersenyum hambar. “Ibu masih kuat belanja ke mall, ikut arisan sampai malam, jalan sama teman-teman Ibu, tapi malah bilang nggak kuat bersih-bersih rumah? Kalau pun aku punya simpanan, aku sudah nggak sudi mengeluarkan sepersen pun buat kebutuhan di rumah ini!"
“Widiani! Kamu kok jadi kayak gini sih? Kurang ajar banget kamu sekarang!” Hera menunjuk wajah menantunya dengan bibir bergetar menahan kesal. “Jangan mentang-mentang kamu dari keluarga kaya, terus bisa seenaknya!”
“Kebodohan yang pernah aku lakukan seumur hidup, yaitu rela menentang Ayahku demi kalian yang tak tahu diri! Jujur, aku menyesal, Bu. Tapi, ya, sudahlah. Dan satu lagi, kalau Ibu masih semena-mena sama aku, silahkan Ibu pindah ke rumah anak perempuan kesayangan Ibu itu. Toh, rumah Indri sudah Ibu renovasi pakai uang hasil menggadaikan sertifikat rumahku pada rentenir," ujar Widiani panjang lebar.
"Kamu itu ...," Hera sudah tidak bisa melanjutkan ucapannya saat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh sang menantu.
Rendy yang mendengar perdebatan antara Widiani dan Hera dari dalam kamar, keluar dengan wajah kusut. “Ada apa, sih? Masih pagi sudah pada ribut?”
“Liat istri kamu, Rendy! Kurang ajar banget omongannya sama Ibu!” Hera langsung mendekat ke anaknya, rsut wajah Hera seperti anak kecil yang baru saja dirampas mainannya.
“Widi, bisa nggak sih jaga mulut kamu? Tolong hormati Ibuku.” Rendy menatap istrinya dengan kesal.
Widiani menatap tajam ke arah Rendy dan Hera, tak menggubris ucapan sang suami. Widiani mengambil tas di atas meja, kemudian meninggalkan kedua orang itu tanpa berpamitan. Widiani menutup pintu seperti yang Hera lakukan tadi, itu berhasil membuat Hera dan Rendy sport jantung.
***
Ruko CV. Lintang Advertising
Sesampainya di ruko, Widiani melihat sekeliling ruangan yang sudah tampak bersih dan rapi dibandingkan hari kemarin. Tampak juga 2 orang karyawan yang masih bertahan berdiri menyambut kedatangannya.
"Selamat pagi, Bu Widi," ujar Pak Yanto dan Pak Burhan bersamaan.
“Pagi juga, Pak Burhan dan Pak Yanto," balas Widiani. "Hari ini kita mulai menghitung keperluan bahan dan lainnya untuk orderan dari CV. Ganesha dulu, ya, Pak Burhan. Karena besok, saya akan berkunjung ke sana untuk meminta tenggat waktu. Semoga saja mereka bersedia. Setelah itu, tolong dihitung juga untuk orderan yang tertunda. Biar saya tahu berapa perkiraan dana yang harus disiapkan."
Pak Burhan mengangguk. “Baik, Bu. Akan saya kerjakan secepatnya."
Widiani mengalihkan perhatiannya pada Pak Yanto. "Dan untuk Pak Yanto, tolong dicek proses pengerjaan yang harus kita oper pada orang selain mesin cutting laser."
"Hanya mesin itu saja, Bu Widi. Alat-alat lainnya masih ada. Kalau untuk proses perakitan, saya dan Pak Burhan yang akan mengerjakan," jawab Pak Yanto.
Setelah memberi arahan pada kedua karyawan tersebut, Widiani mulai berjibaku di belakang meja kerja. Tangan bergerak, tapi pikiran sedang bekerja keras untuk mencari modal, agar pesanan bisa segera diselesaikan.
Tak lama, seorang perempuan yang mengenakan blouse putih dan rok span hitam pendek masuk ke dalam ruko. Sepasang high heels berdetak saat ia melangkah mendekati Widiani yang tiba-tiba menghentikan kegiatannya.
“Mas Rendy ada?” tanya perempuan itu.
Sedangkan Pak Burhan dan Pak Yanto saling melirik canggung. Mereka tahu siapa perempuan yang sedang berdiri di depan meja Widiani. Shakila, perempuan yang merupakan selingkuhan Rendy. Tampak sekali perbedaan di antara Widiani dan Shakila di mata mereka. Jelas, Widiani lebih dari segalanya dibandingkan Shakila.
Widiani berdiri, memindai Shakila dari atas sampai bawah. “Mas Rendy tidak ada di sini. Maaf, dengan siapa saya berbicara?"
"Saya Shakila," Shakila mengulurkan tangan. "Pacar Mas Rendy."
"Jadi, ini yang namanya Shakila-Shakila itu?" batin Widiani.
"Kamu karyawan baru, ya, di sini?" lanjut Shakila. Ia menarik tangannya kembali karena tidak mendapat sambutan dari Widiani.
"Saya istrinya Mas Rendy," ucap Widiani tenang. Namun, ada gemuruh yang tak terbaca di dalam hati.
Shakila memiringkan kepala. “Oh, kamu istrinya”
“Ya, saya masih menjadi istri sahnya saat ini," timpal Widiani. "Apa Anda tidak malu menjadi pelakor? Padahal Anda itu cantik, loh."
“Jaga ucapan kamu! Jangan panggil saya pelakor karena Mas Rendy yang mengemis cinta pada saya terlebih dahulu," ucp Shakila tak terima.
“Oh, ya? Berarti kalian berdua sama-sama mengemis. Tas dan perhiasan yang Anda pakai saat ini juga hasil mengemis dari suami saya!" sindir Widiani tajam.
Shakila mengepalkan tangan. “Diam kamu istri tak berguna! Lebih baik kamu ngaca, deh. Biar kamu tau kenapa Mas Rendy berpaling dari kamu."
"Harusnya Anda yang berkaca karena tidak bisa mendapatkan pria single," ledek Widiani pedas.
Wajah Shakila seketika memerah saat mendengar ucapan Widiani, ia seperti tak sanggup menahan malu. Shakila memilih berbalik dan pergi dari sana, membanting pintu kaca dengan keras.
Sedangkan Pak Burhan dan Pak Yanto, mereka menatap Widiani penuh kagum dan simpati. Mereka salut dengan cara Widiani menghadapi perempuan seperti Shakila.
***
Saat malam menjelang dan pekerjaan hari itu selesai, Widiani pulang dengan wajah lelah. Namun, begitu ia baru menjejakkan kaki di ruang tamu, Rendy langsung berdiri dengan wajah merah padam.
“Kenapa kamu menghina Shakila?!" hardik Rendy.
"Oh, selingkuhan kamu ngadu, Mas?" cibir Widiani. "Lagian, aku nggak menghina dia, kok. Apa yang aku ucapkan itu adalah fakta! Dan kamu, Mas. Bisa-bisanya selingkuh dari aku. Apa kurangku selama ini?"
“Kamu perempuan nggak becus! Nggak ngerti agama, nggak ngerti cara jadi istri yang benar!” Rendy menunjuk wajah Widiani dengan mata berapi-api.
Widiani tak menggubris ucapan Rendy, ia segera memasuki kamar. Kemudian mengambil koper yang ada di samping lemari. Tanpa pikir panjang ia memasukkan pakaian Rendy ke dalam koper tersebut. Setelah selesai, Widiani membawa koper itu keluar dan kembali ke hadapan Rendy.
"Lebih baik kamu pergi dari rumah perempuan yang tidak becus ini, Mas Rendy!"
"Tolong!" jerit Widiani, suaranya tercekat.Di luar kamar, Ana yang baru saja meletakkan panci sayur di meja makan, mendengar samar-samar suara teriakan. Ia mengernyitkan dahi."Pak Rendy?" panggil Ana pelan, tapi tidak ada jawaban. Suara teriakan Widiani kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Ana merasakan firasat yang tidak enak. Ana ragu sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk mendekati kamar Widiani.Tok... tok... tok...Ana mengetuk pintu kamar dengan pelan. "Pak Rendy? Bu Widi? Makan malam sudah siap."Tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara samar-samar seperti desahan tertahan dan gesekan kain. Ana mengetuk lagi, sedikit lebih keras.Tok... Tok... Tok..."Pak Rendy, Bu Widi! Maaf mengganggu, makanan sudah saya siapkan," ujar Ana lagi.Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar. Rendy berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam, rambutnya makin berantakan dan kaos oblongnya semakin kusut. Kilatan amarah terpancar jelas di mata Rendy."Apa?!" bentak Rendy, nadanya sangat
Jam menunjukkan pukul enam sore ketika Widiani sampai di rumah, pelipisnya masih terasa tegang setelah seharian bergelut dengan pekerjaan. Widiani rasa, kepalanya akan makin bertambah pusing bila Hera mengajaknya untuk berdebat lagi. Widiani memutuskan masuk ke dalam lewat pintu samping yang terhubung ke dapur agar tidak berpapasan dengan Hera atau pun Rendy. Begitu Widiani membuka pintu samping, indra penciumannya langsung disambut oleh aroma berbagai jenis masakan. Alis Widiani mengernyit, suara mendesis dari wajan yang sedang digunakan menandakan ada seseorang yang sedang memasak. "Tumben," batin Widiani karena ia mengira Hera yang sedang memasak. Widiani berjalan pelan ke area dapur dan langsung mendapati seorang perempuan berdiri membelakanginya, bukan Hera seperti yang ada dipikiran tadi. Perempuan itu mengenakan blouse bermotif bunga pudar dan rok batik panjang, rambutnya dikuncir rapi. Tangannya cekatan mengaduk tumisan di wajan besar. “Apa itu Indri?” tanya Widiani di
"Rendy, bangun!" teriak Hera pada Rendy yang masih tertidur pulas di atas sofa ruang tamu. "Ini sudah siang, Ren. Cepetan susul istri kamu ke ruko."Hera melihat Rendy tidak bergeming, sang putra masih saja berkelana di alam mimpi. Hera mendekat dan tanpa ragu menepuk punggung Rendy beberapa kali dengan cukup keras."Rendy! Bangun! Ini udah hampir jam sebelas!" ujar Hera dengan nada semakin tinggi. Rendy menggeliat, lalu mengerang pelan sambil memijat pelipis. “Aduh, Bu ... Rendy masih ngantuk.”“Ngantuk terus, kalau kayak gini terus gimana kamu bisa sukses, Ren?!” sentak Hera. “Cepat duduk. Ibu mau minta uang."Rendy duduk perlahan, wajahnya kusut dan mata masih setengah terpejam. “Lah, uang yang Rendy kasih kemarin habis, Bu?"Hera melotot. “Kemarin? Kamu kasih uang sama ibu itu udah mau 2 minggu lebih, Rendy! Cepetan, ibu mau arisan nanti sore."“Bu, Rendy udah gak pegang uang sama sekali. Harusnya Ibu minta sama Widiani sebelum dia berangkat,” jawab Rendy sambil berdiri malas.“
“Ma-maksudnya apa, ya?” tanya Widiani gugup, ia refleks menjauh sedikit dari Fabian. Melihat respon Widiani, Fabian cepat-cepat melambaikan tangan di depan dada dan tersenyum. “Eh ... maksudnya, aku mau ajak kamu makan malam. Maaf, sudah membuat kamu salah paham."Widiani langsung menunduk dengan wajah memerah, sudah 2 kali ia berpikiran buruk tentang Fabian malam ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran Widiani. Kenapa Fabian terlihat begitu perhatian? Apa Fabian seperti itu juga pada kliennya yang lain? Akhir-akhir ini, Widiani memang begitu sensitif dengan perlakuan orang-orang di sekitar, terlebih pada makhluk berjenis kelamin pria. Luka batin akibat pengkhianatan Rendy membuat Widiani lebih mudah curiga dan berprasangka buruk. Widiani takut terjebak lagi dalam situasi yang salah, di mana ia dikhianati padahal sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya."Terima kasih, Mas Fabian. Tapi aku sedang tidak lapar saat ini," ujar Widiani. "Oke," balas Fabian singkat, lalu meng
Widiani segera pergi setelah puas melihat Rendy merintih kesakitan. Itu belum seberapa, Widiani berjanji akan membalas Rendy lebih dari yang pria 27 tahun itu lakukan padanya. Baru beberapa langkah, Widiani mendengar suara pintu kamar Hera terbuka dengan keras. Brak! Hera keluar dengan wajah merah padam dan napas memburu. Mata tuanya menatap tajam ke arah Widiani, seperti buaya yang ingin menerkam mangsanya. "Kamu apakan Rendy!?" tanya Hera histeris. Widiani berdiri tegak, tak gentar sedikit pun meski Hera sudah mendekat sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. "Tanya sendiri sama anak Ibu." Hera melihat Rendy yang sedang duduk sambil memegang bagian tengah tubuhnya. "Kamu diapain sama istrimu, Ren?" "Titiw Rendy ditendang Widi, Bu. Sakit banget," ucap Rendy sambil menahan ngilu. Entah masih bisa berfungsi atau tidak benda pusakanya setelah ini? Pikir Rendy. "Astaga! Kamu benar-benar keterlaluan, Widi. Bisa-bisanya kamu berbuat kasar sama suami sendiri!" maki Hera. "Dia yang ta
Widiani telah melakukan dua kesalahan yang sangat fatal dalam hidup, mencintai pria yang salah dan mati-matian memperjuangkan pria itu meski sang ayah tidak setuju. Mungkin karena itulah Widiani mendapatkan teguran dari Sang Pemberi Kehidupan, menunjukkan siapa Rendy yang sebenarnya.“Rendy itu pria yang tak bisa diandalkan!” bentak Arman keras pada malam Widiani meminta persetujuan untuk menikah dengan Rendy.“Ayah belum kenal sama Rendy. Ayah belum tahu dia yang sebenarnya,” ujar Widiani, berusaha menahan getar suara, walau matanya sudah memerah.“Justru karena ayah tahu seperti apa pria itu, Ayah menolak! Kamu pikir ayah diam saja selama ini? Ayah tahu dia punya hutang di mana-mana. Ayah tahu dia manipulatif dan cuma pandai bicara! Dia cuma memanfaatkanmu, Widi! Tapi kamu malah tutup telinga dan butakan hati!” Arman menunjuk wajah anak perempuannya dengan jari gemetar karena emosi. “Apa yang sudah terjadi sampai kamu keras kepala seperti ini? Apa kamu sudah di—?”“Aku nggak mungki