"Kenapa, Bu? Apa ada yang salah?" Miranda –Ibu Aksa bertanya tatkala melihat Sabrina nampak tercengang.
Sabrina mengusap wajahnya kasar setelah sadar dari lamunan singkat yang mengejutkan jantungnya."Tidak apa-apa, Bu. Nama Aksa dan ayahnya sangat bagus." Sabrina mengelak. Dia hanya berharap semoga saja nama itu hanyalah kebetulan semata.Malam itu, karena terus memikirkan kejanggalan terkait muridnya, matanya tak mampu terpejam. Sabrina pun membuka lemari suaminya, sekadar untuk menghilangkan rasa rindu yang kian menggebu.Namun, pandangan Sabrina tiba-tiba terarah ke laci lemari yang terkunci. Penasaran, wanita itu pun mencari kunci laci tersebut hingga akhirnya dia menemukannya di sela-sela pakaian.Cklek!Suara laci yang berhasil dibuka memecah keheningan. Ketika Sabrina melihat isi dari laci tersebut, dia tak merasa tak ada yang aneh. Namun, dahi Sabrina tiba-tiba mengkerut saat ia melihat amplop besar berwarna putih yang tak memiliki keterangan apa-apa.Manik Sabrina membulat sempurna ketika wanita itu membuka isi amplop putih tadi, dan menemukan sebuah surat pernikahan siri. Namun, sebelum Sabrina membacanya lebih jauh, dirinya dikejutkan dengan suara bel rumahnya yang berbunyi.“Siapa yang bertamu malam-malam?” batin Sabrina, tiba-tiba merasa panik, ditambah dengan dering ponselnya yang datang bersamaan.Mengetahui panggilan itu datang dari suaminya, tanpa banyak pikir, Sabrina langsung menggeser tombol berwarna hijau pada layar ponselnya."Halo, Mas Hasbi," sapa Sabrina, mencoba menghilangkan panik dari suaranya."Aku pulang, Sabi. Buka pintu karena aku sudah ada di depan rumah," terang suami Sabrina tergesa-gesa. Entah mengapa, kali itu, nada suara sang suami terdengar perhatian."Kamu serius, Mas?" Sabrina merasa tak yakin. Debaran di dalam dadanya bahkan terasa lebih kencang dari sebelumnya. Ia takut kalau sampai suaminya mengetahui apa yang baru saja Sabrina lakukan dengan laci lemarinya, maka bisa-bisa Hasbi mengamuk padanya.Belum sempat Sabrina menanyakan suaminya lebih lanjut, pria itu sudah mengakhiri sambungan teleponnya. Justru suara bel yang terus terdengar di telinganya.Ting tong! ting tong!Sabrina akhirnya bergegas merapikan laci yang dibongkarnya, ia mengembalikan kunci laci pada tempatnya semula. Satu benda yang tak ia kembalikan, yaitu amplop putih beserta isinya. Wanita itu masih ingin mengetahui lebih banyak terkait surat pernikahan siri itu.Setelah itu, Sabrina berjalan dengan langkah cepat. Wajahnya benar-benar gugup dan tegang. Keterangan surat pernikahan siri tadi telah memporak porandakan perasaan Sabrina, membuat dadanya sesak. Dia mencoba mengatur napasnya dengan baik, berusaha menampilkan wajah tenang di depan sang suami.Pintu dibukanya dengan lebar. Wanita berlesung pipit itu langsung mengukir senyuman paling manis untuk menyambut kedatangan suaminya."Mas Hasbi!"Dipeluknya pria dengan tubuh gempal itu dengan erat. Dalam hati, Sabrina merasa senang, akhirnya bisa kembali bertemu dengan suaminya setelah lebih dari sebulan tak bersua. Lebih dari itu, Hasbi bahkan membalas pelukannya."Mas, kok tidak bilang kalau mau pulang sih," rengek Sabrina dengan manjanya."Sengaja, biar jadi kejutan untuk kamu." Usai mengecup kening Sabrina, Hasbi langsung berlalu masuk. Dia membuka jaketnya lalu meluruhkan tubuhnya di atas ranjang."Kamu gak perlu beresin, Sabi. Ini sudah malam, kita istirahat saja ya. Aku kangen sekali sama kamu," celetuk Hasbi merayu Sabrina yang sedang membereskan barangnya. Hasbi melingkarkan kedua tangan di perut Sabrina, menatapnya penuh harap, membuat Sabrina hanya bisa tersenyum.Bagaimana Sabrina tidak merasa senang, suaminya mengajaknya masuk kamar dan melepas rindu di atas ranjang kamar setelah satu bulan lebih tidak bertemu. Meskipun sudah berumah tangga selama sepuluh tahun, tak membuat sepasang suami istri itu menghilangkan keromantisannya."Karena besok hari Sabtu, kamu gak usah masuk sekolah ya," pinta Hasbi setelah selesai bercinta.Sabrina yang menaruh kepalanya di dada Hasbi, merasa aneh mendengarnya. "Kenapa, Mas?" tanyanya heran. Padahal Sabrina sudah tak sabar ingin melihat kartu identitas Aksa yang nama ayahnya persis dengan nama suaminya."Aku ingin berduaan seharian dengan kamu, Sabi. Karena lusa, aku akan kembali bertugas. Kamu bisa mengerti kan?" tekan Hasbi yang tak ingin mendengar penolakan.Akhirnya Sabrina mengangguk terpaksa. Suaminya memang benar, mereka jarang sekali ada waktu berdua. Satu hari saja izin tidak masuk sekolah, terlebih di hari Sabtu, mungkin tidak terlalu buruk demi permintaan sang suami.**Hari itu, Hasbi telah kembali berangkat dengan dalih tugas kembali ke luar kota. Sabrina hanya bisa ikhlas. Namun, satu hal yang dia merasa janggal, yaitu Hasbi membawa koper yang jauh lebih besar dari biasanya. Apakah kali ini, dia akan dinas lebih lama?Mencoba menghilangkan kegundahannya, Sabrina berangkat ke sekolah. Karena di hari Sabtu kemarin wanita itu izin, kali ini Sabrina tak sabar untuk mengetahui kebenaran terkait identitas ayah kandung dari pria kecil bernama Aksa Adhitama di kelasnya.Dengan tergesa-gesa, Sabrina langsung ke ruang kelas, mencoba menemui Miranda yang biasanya sudah duduk di kursi tunggu wali murid. Akan tetapi, hari ini dia tak melihat Aksa mau pun Miranda di area sekolah."Apa Aksa tak masuk sekolah?" desisnya bertanya-tanya sendirian yang kini berada di dalam kantor ruangan guru."Bu Sabi, kemarin ada wali murid dari kelas Ibu yang meminta identitasnya kembali. Katanya tidak jadi masuk sekolah di sini, beliau akan ke luar kota dan menyekolahkan anaknya di sana," lapor salah satu guru yang kebetulan masuk secara bersamaan."Siapa, Bu?" tanya Sabi penasaran."Siswa atas nama Aksa Adhitama," jawab guru di sebelah Sabrina. Seketika Sabrina terkejut.Sabrina menggelengkan kepala. Tak menyangka bahwa usahanya untuk mencari tahu terkait kesamaan nama suami dan anak kecil yang mirip dengannya berakhir sia-sia seperti itu.Rasa penasaran Sabrina akhirnya harus pupus. Dia terduduk lesu ketika sudah kembali ke rumahnya yang kembali terasa hampa tanpa kehadiran suaminya.Tiba-tiba, Sabrina mengingat sesuatu yang dilewatkannya. Amplop putih yang dia temukan di laci lemari sang suami. Wanita itu pun bergegas, mengambil dokumen tersebut yang sudah dirinya simpan di bawah lemari miliknya.Seketika tubuh wanita cantik berkulit putih itu lemas dan terduduk di atas ranjang. Tangannya gemetar saat membaca isi surat itu. Bulir bening bahkan berhasil menerobos keluar dan luruh membasahi pipinya.“Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Hasbi Adhitama, menyatakan bahwa Miranda Lestari, adalah istri saya yang sudah saya nikahi secara sah menurut hukum agama islam pada tanggal 05-01-2016 dalam keadaan sadar dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun.”“Saya akan bantu kamu mencari kebenaran tentang surat itu, Sabi." ucap seorang pria sembari menepuk-nepuk pundak Sabrina, menatap wanita itu dengan manik cokelatnya.Pria itu adalahJaka Dirgantara, sahabat Sabrina yang selalu ada untuk Sabrina di kala dia benar-benar membutuhkan. Sabrina tak tahu pada siapa harus mengadukan masalahnya, hingga memilih bertemu Jaka di cafe biasa."Apa tidak mengganggu aktivitas kamu?" Sabrina memastikan. Ia duduk tepat di kursi yang berseberangan dengan Jaka.Jaka menggelengkan kepala, “Tidak akan, Sabi. Kamu tidak perlu khawatir soal itu.”Raut wajah pria yang berprofesi sebagai CEO salah satu perusahaan di bidang otomotif itu nampak serius dengan ucapannya. Andai mampu, mungkin sudah Jaka hapus air mata Sabi, agar wanita di hadapannya itu tenang dan tak mengeluarkan air mata.Meskipun sebenarnya Jaka tahu, kalimat yang diucapkannya barusan adalah sebuah dusta, tapi dia tak peduli. Pria itu jelas tak akan bisa membiarkan wanita yang sempat ia cintai se
Sabrina melemah. Wanita itu merasa tak bisa bernapas seolah tak ada oksigen yang bisa dihirupnya. Bulir bening yang sedari tadi ia tahan seketika luruh di pipi. Tak bisa dipercaya, suami yang selama ini dianggap setia nyatanya berdusta."Loh, Mba Sabrina. Kenapa menangis?" RT Yahya tercengang melihat tamunya tiba-tiba menangis.Jaka menoleh ke arah Sabrina. Ia tak bisa menjelaskan."Maaf, Pak. Saya kelilipan," jawab Sabrina dengan suara lirih. Ia segera menghapus air mata yang tak bisa diajak kompromi."Oh iya, Pak. Kalau boleh tahu, dimana ya rumah Bu Miranda dan Pak Hasbi? Kami belum sempat memberikan kado pernikahan untuk mereka," tanya Jaka dengan alasannya lagi."Kado pernikahan? Memang kalian siapanya?" RT Yahya menatap kedua tamunya nanar."Kami sahabatnya, sekedar ingih mampir dan mengucapkan selamat saja." Wajah Jaka sungguh meyakinkan."Bu Miranda dan Pak Hasbi sudah lama menikah. Sudah 7 tahun lebih, masa baru memberikan kado selamat hari ini," pria yang memiliki jabatan RT
"Apa yang akan kamu lakukan, Sabi?" Jaka memperbaiki posisi duduknya lebih memiring menghadap Sabrina."Saya akan buat dia kelimpungan," jawab Sabrina. Ia segera menekan kontak bernama 'suamiku' pada layar ponselnya. Berdering dan tak lama langsung dijawab."Halo, Sabi. Ada apa?" Suara Hasbi terdengar ketus begitu benda pipih itu Sabrina tempelkan pada telinganya."Halo, Mas. Kamu dimana?" Sabrina berbalik tanya sekedar basa-basi. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dikatakan suaminya."Bukankah sudah aku katakan kalau aku sedang bertugas." Jawabannya jelas sekali bohong."Bisakah kamu pulang, Mas? Ini kan hari minggu," sindir Sabrina. Ia sesekali melirik ke arah Jaka yang tengah mendengarkan percakapannya."Hari minggu pun aku tetap bertugas, Sabi. Aku tak bisa pulang, memangnya ada apa?" Suara tegas Hasbi kembali beralasan. Lagi-lagi pria itu berbohong."Mas, perutku sakit sekali terasa ditusuk-tusuk. Aku tak dapat bangun dari tempat tidur, aku mohon pulanglah. Bawa aku ke rum
Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga."Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!" Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan."Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu."Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesa
"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja."Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi."Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab."Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan."Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina."Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi."Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala."Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham."Surat rumah t
"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."Bola mata Miranda membulat sempurna seakan hendak loncat dari sarangnya. Sama halnya dengan Hasbi."Apa-apaan ini, Bu Sabi? Saya tidak suka dengan lelucon macam ini." Miranda menggelengkan kepala.Sementara Hasbi menundukan kepala. Ada emosi yang tengah ditahannya."Loh, ini bukan lelucon kok. Saya memang istri sah Mas Hasbi. Kami sudah sepuluh tahun menikah. Namun sepertinya Mas Hasbi tak terlalu kuat dengan ujian yang menerpa pernikahan kami," tekan Sabrina mengulum senyum miring. Ia terlihat kuat, tapi sebenarnya tidak."Mas Hasbi, apa benar?" Miranda menatap nanar suaminya."Mungkin suami anda malu mengakuinya, Miranda. Ops, sory. Maksud saya suami saya, karena anda hanya istri simpanan yang tak dianggap," cibir Sabrina."Cukup, Sabi! Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah merencanakan semuanya? Kamu menjebakku! Kamu berani melawanku?!" sergah Hasbi seraya menghentakan kepalan tangannya di atas meja.Sabrina menggeleng
Nampaknya Hasbi tak akan terima kalau sampai Miranda pergi dari kehidupannya. Dia segera meraih tangan sang istri muda, saat wanita itu hendak pergi."Jangan, Mira. Aku mohon. Kita kembali ke tempat duduk. Kita harus bicara," bujuknya dengan sungguh-sungguh.Miranda yang tengah dibakar api kecewa, nyatanya tetap menuruti perintah Hasbi. Dia mengangguk memberi kesempatan pada sang suami untuk bicara. Akhirnya mereka berdua kembali duduk di tempat semula."Jelaskan sekarang, Mas. Mengapa kamu tega membohongiku," tekan Miranda. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sementara wajahnya begitu nanar kepada sang suami."Oke, aku akan bicara jujur dan kamu harus percaya sebab aku melakukan ini hanya demi, Aksa," jawab Hasbi."Apa hubungannya dengan anak kita?" Miranda mengernyitkan dahi."Mira, aku sudah lama ingin meninggalkan Sabrina. Wanita itu tidak mampu memberikan aku keturunan. Sebagai laki-laki, aku pun ingin memiliki anak dari darah dagingku. Tapi Sabrina tidak bisa. Aku sudah t
"Tega sekali Mama bicara seperti itu," lirih Sabrina. Bulir bening tak bisa lagi dibendung sampai akhirnya harus menetes di pipi mulus Sabrina. Bibirnya bergetar, menahan rasa sakit di dalam dadanya.Sementara Hasbi, dia tampak membatu saat mamanya menghina Sabrina."Mama bicara apa adanya, Sabi. Wajar kan kalau Hasbi ingin memiliki anak di saat kamu tak mampu memberikannya. Jangan egois, Sabi." Wanita paruh baya itu seperti tak memikirkan perasaan Sabrina. Air mata yang tumpah di pipi cantiknya, tak membuat Hasbi membuka mulut untuk sekedar membela sang istri."Miranda bahkan rela menjual perhiasannya demi membantu Mama, lalu bagaimana dengan kamu, Sabi? Kamu terlihat tak sudi direpotkan."Bak petir menyambar tubuh, ucapan mertua Sabrina terasa meremukan tubuh Sabrina sampai ke tulang-tulang."Cukup, Ma! Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan wanita yang baru saja Mama kenal!" tukas Sabrina. Dihapusnya air mata yang seharusnya tak boleh keluar."Kalau Mama lebih menerima pelako