Share

Bab 3 Mencari Alamat

“Saya akan bantu kamu mencari kebenaran tentang surat itu, Sabi." ucap seorang pria sembari menepuk-nepuk pundak Sabrina, menatap wanita itu dengan manik cokelatnya.

Pria itu adalahJaka Dirgantara, sahabat Sabrina yang selalu ada untuk Sabrina di kala dia benar-benar membutuhkan. Sabrina tak tahu pada siapa harus mengadukan masalahnya, hingga memilih bertemu Jaka di cafe biasa.

"Apa tidak mengganggu aktivitas kamu?" Sabrina memastikan. Ia duduk tepat di kursi yang berseberangan dengan Jaka.

Jaka menggelengkan kepala, “Tidak akan, Sabi. Kamu tidak perlu khawatir soal itu.”

Raut wajah pria yang berprofesi sebagai CEO salah satu perusahaan di bidang otomotif itu nampak serius dengan ucapannya. Andai mampu, mungkin sudah Jaka hapus air mata Sabi, agar wanita di hadapannya itu tenang dan tak mengeluarkan air mata.

Meskipun sebenarnya Jaka tahu, kalimat yang diucapkannya barusan adalah sebuah dusta, tapi dia tak peduli. Pria itu jelas tak akan bisa membiarkan wanita yang sempat ia cintai semasa SMA, disakiti suaminya.

"Terima kasih." Akhirnya Sabrina menghapus air matanya sendiri. Dimasukannya kembali selembar surat yang sempat ia remas ke dalam tas selempangnya.

"Saya akan membuat perhitungan jika pernikahan siri itu benar-benar nyata," sambung Sabi. Dikepalkan kedua tangannya di atas meja. Aliran darahnya seketika terasa panas.

"Tenang, Sabi. Jangan berburuk sangka dahulu. Cari fakta dan bukti dengan lengkap. Jangan gegabah mengambil kesimpulan. Apalagi, suami kamu seorang Brimob. Dia bisa dipecat dari jabatannya bila terbukti berkhianat," tutur Jaka yang berusaha menenangkan sahabatnya. Bagaimana ia tak turut bersedih, Sabi adalah sahabatnya dari dulu. Mereka sudah biasa saling berbagi tentang masalah hidup yang dialami.

"Ya, saya paham."

Setelah pertemuan dengan Jaka di cafe, mereka memutuskan akan melacak alamat yang tertera pada selembar surat pernikahan siri.

Seperti ada harapan, Sabrina menelan rasa sakitnya. Hari minggu nanti, mereka berencana akan membuktikan semua kebenaran tentang surat yang telah menghacurkan perasaan Sabrina.

" Saya akan antar kamu ke sana. Semoga saja apa yang tertera dalam surat itu, tidak benar adanya. Saya berharap tak ada hal yang membuat perasaanmu sedih, Sabi." tutur Jaka, berusaha menetralkan perasaan sahabatnya.

Namun apa daya, hati Sabrina yang rapuh seperti tak bisa diperbaiki lagi saat mulai terasa retak, tak peduli betapa pria di hadapannya itu sangat khawatir kepadanya.

Dua hari menunggu datangnya hari minggu, terasa satu bulan. Ia sempat mendatangi kantor kepala tempat suaminya bertugas. Sekedar ingin menanyakan kebenaran tugas yang tengah dijalani suaminya. Memang benar adanya, Hasbi tengah melaksanakan tugas pengamanan, akan tetapi bukan di luar kota. Sabrina mengernyitkan dahi saat tahu ternyata akhir-akhir ini Hasbi hanya mendapat tugas pengamanan di dalam kota saja.

'Lalu, kemana selama ini Mas Hasbi pulang saat malam tiba?' batin Sabrina kian bergejolak.

Dengan langkah kaki yang terasa berat ia kembali ke rumah. Sabrina semakin yakin harus menyelidiki suaminya. Ini adalah kali pertama dia curiga karena selama ini tak pernah terbesit di benaknya tentang kebohongan Hasbi.

**

Hari minggu itu, Hasbi tetap tak pulang, meskipun Sabrina tahu bahwa suaminya itu libur bertugas. Wanita itu dikejutkan dengan suara sebuah pajero milik Jaka yang telah terparkir di depan rumah Sabrina. Sekejap, entah mengapa, Sabrina merasa sahabatnya itu terlihat lebih tampan dari biasanya. Tapi, wanita itu menghiraukannya. Dia bergegas pergi demi mengetahui kelakuan suaminya.

Tak butuh waktu lama, keduanya telah sampai di lokasi. Mobil milik Jaka telah sampai di depan sebuah rumah yang tertera pada alamat di dalam surat pernikahan siri.

Jantung Sabrina terasa berdegup kencang. Ia mencoba mengusap dada, mengatur napas guna memperbaiki perasaan.

"Sudah siap turun?" Jaka bertanya terlebih dahulu.

Sabrina mengangguk walau ragu. Dia ragu karena belum tentu siap dengan kemungkinan terburuk.

Jaka dan Sabrina keluar dari mobil. Mereka sudah berdiri di depan rumah bergaya minimalis, namun gerbangnya tertutup rapat. Terlihat tombol bell menempel di dinding dekat gerbang. Jaka menekan tombol itu atas perintah Sabrina.

Tak lama, seorang wanita berperawakan pendek berisi keluar dari rumah dan menghampiri mereka di depan gerbang.

"Cari siapa ya?" Nada suara wanita itu masih sopan saat bertanya pada Sabrina dan Jaka.

Wanita di hadapan Sabrina bukanlah Miranda yang pernah dia lihat sebelumnya. Wajahnya juga tak terlalu cantik. Apalagi dari perawakannya, kalah cantik dibanding Sabrina.

"Maaf, Bu. Apa benar di sini rumah atas nama RT Yahya?" Jaka segera bertanya di saat Sabrina hanya mematung memperhatikan wanita di depannya. RT Yahya merupakan saksi pernikahan dan alamat yang tertera pada surat itu.

"Oh iya benar. Ada keperluan apa?" Wanita itu bertanya kembali dengan ramah namun belum juga membukakan pintu gerbang rumahnya.

Jaka dan Sabrina menghela napas lega secara seiringan. Seperti tak sia-sia mencari alamat yang ternyata bukan alamat palsu.

"Kami ada keperluan penting dengan Pak RT Yahya. Bolehkah kami bertemu?" Jaka kembali meminta izin dengan sopan.

"Tentu. Silakan masuk, Pak, Bu." Wanita yang sepertinya memang istri RT Yahya akhirnya membuka pintu gerbang dan mempersilahkan Sabrina serta Jaka masuk ke dalam rumahnya.

Pria bernama Yahya menyapa Sabrina dan Jaka dengan ramah. Dia duduk di sofa yang berseberangan dengan Jaka.

"Maaf, ini dengan siapa dan ada apa ya?" Pria yang menjabat sebagai RT bertanya dengan wajah penasaran karena sama sekali tak mengenal tamunya pagi ini.

"Perkenalkan, Pak. Saya Jaka, dan ini sahabat saya, Sabrina. Kedatangan kami ke sini sekedar ingin mempertanyakan kejelasan mengenai surat ini." Tanpa basa-basi, Jaka menyodorkan selembar kertas yang menjadi petunjuk kedatangannya hari ini.

Diambilnya surat itu. RT Yahya segera membacanya dengan seksama. Wajahnya tak setegang tadi. Rupanya dia sudah bisa menerka isi suratnya.

"Dalam tanda tangan saksi, tertuang nama Pak Yahya di situ. Bisakah menjelaskannya pada kami berdua?" Jaka kembali dengan pertanyaan seriusnya tanpa basa-basi.

Wajah Sabrina yang duduk di sofa yang sama, terlihat tegang. Ia merasa degup jantungnya memompa cukup kencang. Ia juga sampai lupa harus mengedipkan kelopak matanya, sudah tidak sabar ingin mendengarkan penjelasan dari RT yang telah menjadi saksi dalam surat pernikahan siri antara suaminya dengan wanita bernama, Miranda.

"Oh iya, kebetulan saat itu saya yang menjadi saksi pernikahan antara Pak Hasbi Adhitama dan Ibu Miranda Lestari." RT Yahya dengan santainya menjelaskan.

Sabrina terkesiap. Napasnya terasa sesak. Ia mengusap dada yang isinya terasa sakit seperti telah terluka tapi tak berdarah.

"Sabi, apa kamu memiliki poto, Hasbi?" Jaka menoleh pada Sabrina. Harus ia pastikan bahwa nama Hasbi Adhitama adalah orang yang sama dengan yang mereka maksud.

Sabrina mengangguk. Ia segera merogoh tas selempang guna mengambil ponsel, lalu mencari poto suaminya pada galeri ponsel.

"Ini, Jak." Sabrina menyodorkan benda pipih itu pada Jaka. Di layarnya sudah terlihat poto Hasbi yang tengah sendiri.

"Apakah Hasbi yang Pak RT maksud yang ini?" Jaka segera memperlihatkan gambar suami Sabrina pada Yahya.

Pria itu mengangguk yakin. "Betul, Pak. Itu adalah Pak Hasbi suaminya, Bu Miranda."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status