“Sabi, entah kamu terlalu baik, atau terlalu polos. Kok bisa kamu tidak pernah curiga sama suamimu yang jarang ada di rumah?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya membuat Sabrina Mecca, atau yang kerap disapa Sabi itu tersentak. Tapi, wanita itu berusaha menghiraukannya, dia tak ingin mencurigai suaminya sendiri.“Suamiku kan Brimob, gak heran kalau dia jarang pulang karena selalu dinas ke luar kota. Mungkin memang dia sedang sibuk,” ucap Sabrina setengah menghibur dirinya sendiri."Iya sih. Tapi, aku sarankan jangan terlalu nyaman dengan buaian lelaki. Apalagi pernikahan kalian sudah menginjak tahun ke sepuluh, dan belum juga dikaruniani momongan. Percaya memang boleh, tapi gak ada salahnya untuk berjaga-jaga, Sabi."Berkat percakapan dengan sahabatnya tadi siang, wanita berusia 30 tahun itu gelisah hingga tak bisa memejamkan kedua bola matanya untuk malam ini. Pasalnya, lagi-lagi, suaminya tak pulang setelah satu bulan bertugas di luar kota.Bukannya tertidur, Sabrina justru semakin resah. Padahal, wanita itu harus bagun pagi-pagi di esok hari karena jadwalnya mengajar di SDN Cisarua kembali dimulai. Berusaha menghilangkan kegelisahannya, Sabrina pun mencoba memainkan ponselnya untuk sekadar menghilangkan penat.Tak tahu harus berbuat apa, Sabrina akhirnya membuka aplikasi w******p dan menekan nama suaminya. Wanita itu terkejut kala melihat tulisan online di profil sang suami. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, dan biasanya sang suami sudah terlelap di jam yang sama.Tak berpikir panjang, Sabi berinisiatif meneleponnya. Beberapa kali panggilan memang hanya berdering, tanpa jawaban. Namun, wanita itu tak menyerah, sehingga akhirnya panggilannya terjawab di percobaan keempat."Iya, Sabi. Ada apa?" Dengan suara lelah, Hasbi menjawab di seberang sana.Yang membuatnya bingung, adalah mengapa napas sang suami terdengar sedang berderu, seolah suaminya sedang lari maraton? Padahal ini sudah larut malam, jelas tak mungkin jika suaminya berlari. Terlebih, pria itu paling anti dengan olahraga."Mas, kamu belum tidur?" Sabrina bertanya sekedar basa-basi. Pasalnya, sudah satu bulan lamanya wanita itu tidak bertemu dengan sang suami, sehingga dirinya sudah sangat merindukan suaminya."Saya sedang tugas, Sabi. Ngapain sih, gangguin aja! Jika menelepon hanya untuk bicara sesuatu yang tak penting, matikan saja!" Suara Hasbi masih terdengar berat. Bahkan, kali ini bukan seperti habis berlari, tapi lebih terdengar seperti tengah olahraga angkat besi. Ngos-ngosan diiringi dengan suara lenguhan."Tunggu, Mas. Jangan dimatikan. Aku cuma ingin tahu kapan Mas akan pulang?" Sabrina segera menahan niat Hasbi yang akan mengakhiri sambungan teleponnya."Besok lusa! Sudah, saya mau kerja lagi!" jawab Hasbi singkat hingga terdengar suara sambungan telepon terputus.Sabrina menurunkan benda pipih itu dari telinganya. 'Sabi, janganlah berpikir yang aneh-aneh. Suami kamu sedang bertugas. Sampai pukul satu dini hari begini dia masih dengan tugasnya dan berjibaku dengan rasa lelahnya.' Sabrina bergumam dalam hatinya. Ia seperti tengah menyadarkan dirinya sendiri agar tak mencurigai suaminya.***Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, sehingga Sabrina memasang senyum terbaiknya untuk menyambut siswa-siswi yang baru mendaftar di Sekolah Dasar Negeri tempat Sabrina mengajar.Satu persatu siswa baru di kelas 1 SDN Cisarua mulai diajak Sabrina memperkenalkan diri. Mulai dari nama yang berawal dari huruf A."Aksa Adhitama." Sabrina memanggil anak laki-laki yang duduk paling depan.Dengan malu-malu, anak laki-laki itu pun maju ke depan kelas, memandang seluruh teman di kelasnya dengan gugup.Melihat itu, Sabrina pun bergegas untuk menemani muridnya. Dalam hati, pikiran Sabrina teralihkan dengan nama akhir dari anak laki-laki. Adhitama, nama itu adalah nama yang sama dengan nama akhir dari suaminya, Hasbi Adhitama. Namun, wanita itu berusaha menghiraukannya, karena jelas, bisa jadi memang kesamaan tersebut hanyalah kebetulan. Bahkan, banyak sekali yang memiliki nama Sabrina di tempatnya sekolah dulu."Aksa, perkenalkan diri kamu ke semua teman-temanmu, ya. Tak usah malu-malu, karena ada Bu guru di sini." Dengan nada ramah dan juga senyuman, Sabrina mempersilahkan anak laki-laki di sampingnya memperkenalkan diri. Tangannya sesekali menepuk-nepuk pundak muridnya itu untuk menenangkannya."Hai teman-teman," Anak laki-laki itu melambaikan tangan, "Perkenalkan, nama saya Aksa Adhitama. Usia saya 7 tahun." Aksa melebarkan senyuman. Rasa gugupnya hilang dengan keramahan Sabrina yang membawa suasana jadi riang."Wah namanya bagus sekali, ya? Yuk, teman-teman, sapa Aksa bersama," Sabrina mengayunkan tangannya, mengajak semua murid di kelasnya untuk menyapa bocah kecil di sampingnya.“Salam kenal, Aksa Adhitama.” ucap semua murid di dalam kelas dengan serentak.Sebelum mempersilakan anak laki-laki itu untuk kembali duduk, Sabrina berjongkok, menyesuaikan matanya dengan manik bocah itu, “Aksa, kalau ibu boleh tahu, siapa nama ibu dan ayah kamu, Nak?”Dengan spontan, anak laki-laki di hadapannya tersenyum, “Ibu saya namanya Miranda Lestari, Bu. Kalau Ayah, Hasbi Adhitama.”Mendengar itu, seketika Sabrina mematung dalam keterkejutan, darahnya seolah berhenti mengalir. Mengapa namanya bisa sama persis seperti nama suaminya?Berusaha menghilangkan pikiran buruknya, Sabrina menggelengkan kepala dengan cepat. Nama suaminya memang bagus, dan bisa jadi karena pasaran, sehingga wajar menurutnya jika ada pria yang memiliki nama yang sama dengan suaminya.Tak ingin suudzon, Sabrina pun melanjutkan perkenalan seluruh murid di kelasnya.Acara belajar sebagai perkenalan siswa baru telah selesai, semua anak-anak berhamburan keluar kelas, menghampiri orang tuanya masing-masing yang menunggu di area tunggu di halaman sekolah.Tepat saat itu, Aksa berlari menuju seorang wanita yang telah menunggunya. Sabrina pun menyipitkan matanya, mencoba menelaah anak laki-laki itu. Selain nama ayahnya sama seperti nama suaminya, wajah Aksa juga mirip sekali dengan paras suaminya. Bahkan, warna manik berwarna cokelat milik sang suami juga dimiliki oleh sang anak.“Tak mungkin jika semua ini hanya kebetulan …” batin SabrinaSeketika, entah mengapa dada Sabrina terasa menggebu-gebu dan penasaran. Wanita berlesung pipit itu nampak terburu-buru menuju ruangan guru. Rasa penasaran di dalam dadanya tak bisa lagi dibendung. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan anak laki-laki bernama Aksa tadi. Padahal, ia telah berkali-kali mencoba menepis pikiran buruknya.Sesampainya di ruang guru, Sabrina langsung membuka lemari di dekat meja kerjanya, berusaha mencari berkas dari nama anak laki-laki yang bernama Aksa Adhitama. Wanita itu mencari akte kelahiran, dan juga kartu keluarga yang memiliki identitas orang tua dari bocah kecil itu."Bu Sabi sedang apa?" Salah satu guru kelas tiga yang baru tiba di kantor bertanya saat melihat Sabrina memilah lembaran kertas di atas meja dengan tergesa-gesa."Saya mencari identitas murid baru, Bu," jawab Sabrina tanpa mengalihkan perhatiannya.Setelah akhirnya menemukan berkas dengan nama yang dia cari, Sabrina bingung karena hanya menemukan selembar Kartu Keluarga yang hanya terdiri dari dua nama, Aksa Adhitama, dan Miranda Lestari sebagai kepala keluarga. Lalu, kemana ayah Aksa yang bernama Hasbi Adhitama?Sabrina mengusap keningnya. Ia pulang dengan rasa penasaran yang masih menggebu di dalam dada. Di tengah keresahannya karena sang suaminya juga tak kunjung pulang, Sabrina mengingatkan dirinya sendiri untuk memanggil ibu dari Aksa untuk meminta kelengkapan data. Dia masih merasakan sesuatu yang janggal."Mohon maaf, Bu. Saya dan ayahnya Aksa menikah siri, jadi Aksa belum memiliki akte. Saya juga sebagai kepala keluarga dalam kartu keluarga." Jelas Miranda yang kini duduk di depan Sabrina di kantor ruangan guru.Sabrina manggut-manggut paham. "Tapi, apakah Ibu bisa memberikan identitas ayah Aksa? Seperti KTP, atau mungkin paspor. Saya butuh untuk melengkapi data siswa baru, Bu." ucap Sabrina meyakinkan wanita di hadapannya."Bisa, Bu. Besok saya bawa, ya. Kebetulan hari ini ayah Aksa pulang, jadi saya bisa minta KTP beliau," jawab Miranda. Wanita cantik yang usianya jauh lebih muda dari Sabrina itu tampak ramah."Baik, Bu. Besok saya tunggu ya. Saya catat dulu saja nama ayahnya." Sabrina mengambil buku besar yang tebal dan siap untuk mencatat."Nama ayah Aksa, Hasbi Aditama," ucap Miranda dengan lantang. Nama itu lagi-lagi membuat jantung Sabrina terasa berdegup kencang saat mendengarnya."Pekerjaannya, Bu?" tanya Sabrina lagi walau gugup, ia tetap berusaha tenang."Seorang Brimob.""Kenapa, Bu? Apa ada yang salah?" Miranda –Ibu Aksa bertanya tatkala melihat Sabrina nampak tercengang.Sabrina mengusap wajahnya kasar setelah sadar dari lamunan singkat yang mengejutkan jantungnya."Tidak apa-apa, Bu. Nama Aksa dan ayahnya sangat bagus." Sabrina mengelak. Dia hanya berharap semoga saja nama itu hanyalah kebetulan semata.Malam itu, karena terus memikirkan kejanggalan terkait muridnya, matanya tak mampu terpejam. Sabrina pun membuka lemari suaminya, sekadar untuk menghilangkan rasa rindu yang kian menggebu.Namun, pandangan Sabrina tiba-tiba terarah ke laci lemari yang terkunci. Penasaran, wanita itu pun mencari kunci laci tersebut hingga akhirnya dia menemukannya di sela-sela pakaian.Cklek!Suara laci yang berhasil dibuka memecah keheningan. Ketika Sabrina melihat isi dari laci tersebut, dia tak merasa tak ada yang aneh. Namun, dahi Sabrina tiba-tiba mengkerut saat ia melihat amplop besar berwarna putih yang tak memiliki keterangan apa-apa. Manik Sabrina membulat
“Saya akan bantu kamu mencari kebenaran tentang surat itu, Sabi." ucap seorang pria sembari menepuk-nepuk pundak Sabrina, menatap wanita itu dengan manik cokelatnya.Pria itu adalahJaka Dirgantara, sahabat Sabrina yang selalu ada untuk Sabrina di kala dia benar-benar membutuhkan. Sabrina tak tahu pada siapa harus mengadukan masalahnya, hingga memilih bertemu Jaka di cafe biasa."Apa tidak mengganggu aktivitas kamu?" Sabrina memastikan. Ia duduk tepat di kursi yang berseberangan dengan Jaka.Jaka menggelengkan kepala, “Tidak akan, Sabi. Kamu tidak perlu khawatir soal itu.”Raut wajah pria yang berprofesi sebagai CEO salah satu perusahaan di bidang otomotif itu nampak serius dengan ucapannya. Andai mampu, mungkin sudah Jaka hapus air mata Sabi, agar wanita di hadapannya itu tenang dan tak mengeluarkan air mata.Meskipun sebenarnya Jaka tahu, kalimat yang diucapkannya barusan adalah sebuah dusta, tapi dia tak peduli. Pria itu jelas tak akan bisa membiarkan wanita yang sempat ia cintai se
Sabrina melemah. Wanita itu merasa tak bisa bernapas seolah tak ada oksigen yang bisa dihirupnya. Bulir bening yang sedari tadi ia tahan seketika luruh di pipi. Tak bisa dipercaya, suami yang selama ini dianggap setia nyatanya berdusta."Loh, Mba Sabrina. Kenapa menangis?" RT Yahya tercengang melihat tamunya tiba-tiba menangis.Jaka menoleh ke arah Sabrina. Ia tak bisa menjelaskan."Maaf, Pak. Saya kelilipan," jawab Sabrina dengan suara lirih. Ia segera menghapus air mata yang tak bisa diajak kompromi."Oh iya, Pak. Kalau boleh tahu, dimana ya rumah Bu Miranda dan Pak Hasbi? Kami belum sempat memberikan kado pernikahan untuk mereka," tanya Jaka dengan alasannya lagi."Kado pernikahan? Memang kalian siapanya?" RT Yahya menatap kedua tamunya nanar."Kami sahabatnya, sekedar ingih mampir dan mengucapkan selamat saja." Wajah Jaka sungguh meyakinkan."Bu Miranda dan Pak Hasbi sudah lama menikah. Sudah 7 tahun lebih, masa baru memberikan kado selamat hari ini," pria yang memiliki jabatan RT
"Apa yang akan kamu lakukan, Sabi?" Jaka memperbaiki posisi duduknya lebih memiring menghadap Sabrina."Saya akan buat dia kelimpungan," jawab Sabrina. Ia segera menekan kontak bernama 'suamiku' pada layar ponselnya. Berdering dan tak lama langsung dijawab."Halo, Sabi. Ada apa?" Suara Hasbi terdengar ketus begitu benda pipih itu Sabrina tempelkan pada telinganya."Halo, Mas. Kamu dimana?" Sabrina berbalik tanya sekedar basa-basi. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dikatakan suaminya."Bukankah sudah aku katakan kalau aku sedang bertugas." Jawabannya jelas sekali bohong."Bisakah kamu pulang, Mas? Ini kan hari minggu," sindir Sabrina. Ia sesekali melirik ke arah Jaka yang tengah mendengarkan percakapannya."Hari minggu pun aku tetap bertugas, Sabi. Aku tak bisa pulang, memangnya ada apa?" Suara tegas Hasbi kembali beralasan. Lagi-lagi pria itu berbohong."Mas, perutku sakit sekali terasa ditusuk-tusuk. Aku tak dapat bangun dari tempat tidur, aku mohon pulanglah. Bawa aku ke rum
Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga."Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!" Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan."Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu."Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesa
"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja."Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi."Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab."Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan."Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina."Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi."Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala."Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham."Surat rumah t
"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."Bola mata Miranda membulat sempurna seakan hendak loncat dari sarangnya. Sama halnya dengan Hasbi."Apa-apaan ini, Bu Sabi? Saya tidak suka dengan lelucon macam ini." Miranda menggelengkan kepala.Sementara Hasbi menundukan kepala. Ada emosi yang tengah ditahannya."Loh, ini bukan lelucon kok. Saya memang istri sah Mas Hasbi. Kami sudah sepuluh tahun menikah. Namun sepertinya Mas Hasbi tak terlalu kuat dengan ujian yang menerpa pernikahan kami," tekan Sabrina mengulum senyum miring. Ia terlihat kuat, tapi sebenarnya tidak."Mas Hasbi, apa benar?" Miranda menatap nanar suaminya."Mungkin suami anda malu mengakuinya, Miranda. Ops, sory. Maksud saya suami saya, karena anda hanya istri simpanan yang tak dianggap," cibir Sabrina."Cukup, Sabi! Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah merencanakan semuanya? Kamu menjebakku! Kamu berani melawanku?!" sergah Hasbi seraya menghentakan kepalan tangannya di atas meja.Sabrina menggeleng
Nampaknya Hasbi tak akan terima kalau sampai Miranda pergi dari kehidupannya. Dia segera meraih tangan sang istri muda, saat wanita itu hendak pergi."Jangan, Mira. Aku mohon. Kita kembali ke tempat duduk. Kita harus bicara," bujuknya dengan sungguh-sungguh.Miranda yang tengah dibakar api kecewa, nyatanya tetap menuruti perintah Hasbi. Dia mengangguk memberi kesempatan pada sang suami untuk bicara. Akhirnya mereka berdua kembali duduk di tempat semula."Jelaskan sekarang, Mas. Mengapa kamu tega membohongiku," tekan Miranda. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sementara wajahnya begitu nanar kepada sang suami."Oke, aku akan bicara jujur dan kamu harus percaya sebab aku melakukan ini hanya demi, Aksa," jawab Hasbi."Apa hubungannya dengan anak kita?" Miranda mengernyitkan dahi."Mira, aku sudah lama ingin meninggalkan Sabrina. Wanita itu tidak mampu memberikan aku keturunan. Sebagai laki-laki, aku pun ingin memiliki anak dari darah dagingku. Tapi Sabrina tidak bisa. Aku sudah t