Share

Serendipity bagian 3

Siska menatap layar ponselnya. Melihat nomor yang tertera di sana. Dia agak ragu untuk menekan tombol hijau di sana. Hatinya sedikit trauma dengan patah hati yang dia rasakan dahulu. Bagaimana jika meskipun dia sudah menjadi mualaf, kedua orang tua Atha masih menolaknya. Tapi, dia sendiri tidak bisa membohongi hati kecil yang terus menjerit kan rindu untuk mendengar suara lelaki pujaan.

Beberapa kali sang dosen muda mondar-mandir di Koridor yang mulai sepi, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, tidak banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di kampus. Namun sayang acara mondar-mandir nya terhenti ketika dia tidak sengaja menyerempet bahu seseorang.

Siska segera mendongak ke atas, melihat salah satu mahasiswa yang tampak juga menatap ke arahnya. Lelaki itu meminta maaf sebelum beranjak pergi.

Siska kembali menatap ponselnya, kali ini dia duduk di salah satu kursi yang memang tersedia di sepanjang lorong. Mungkin sudah saatnya dia menghubungi sang mantan. Cintanya masih terlalu besar untuk dikubur begitu saja. Siska pun masih yakin bahwa Atha juga memiliki perasaan yang tak kalah besar.

***

Hasan melirik wanita yang baru saja menabraknya dari kejauhan. Dosen baru itu, Siska namanya. Dia yakin sekali tadi di layar ponsel sang dosen tertera sebuah nama yang familiar. Atha Ardiansyah. Bagaimana mungkin tidak familiar. Dokter pembimbing nya yang sekaligus suami dari sahabat baiknya juga memiliki nama tersebut. Apakah ini hanya sebuah kebetulan.

Hasan tidak ambil pusing. Dia segera keluar dari kampus. Jam shift nya akan segera di mulai. Dia tidak ingin membuat sang dokter pembimbing menambahkan nilai negatif akibat keterlambatan.

****

Alya kembali menghentikan motornya di depan supermarket. Menaruh helmetnya di setir lalu memasuki tempat ber-AC tersebut. Ia mengambil keranjang belanja dan mengambil beberapa bahan yang dia cari. Satu bungkus kentang dan beberapa bumbu dapur.

Tangannya kini hendak meraih sebuah kecap di rak tertinggi ketika tangan lain mengambilnya. Alya segera menoleh ke arah pemilik tangan yang dibalut lengan kemeja biru. Seorang lelaki bersurai hitam ikal berdiri di sana. Menyerahkan botol kecap yang masih tersegel rapi.

"Ah..terima kasih." Alya menerima botol kecap tersebut seraya memijit pangkal hidungnya. Berusaha mengurangi pening di kepala.

"Kau baik-baik saja?" Tanya lelaki yang Alya kenal adalah Difan, heh...sepertinya dunia ini memang hanya selebar daun kelor, ya. Mereka bertemu sebanyak tiga kali berturut- turut sejak kemarin. Seperti memang ada ikatan yang membawa keduanya untuk saling bertemu.

Sementara Divan di sisi lain hanya tersenyum kecil. Dunia ini memang penuh dengan kebetulan. Kebetulan sekali dia bisa bertemu Alya di sini kan. Pasti takdir yang mempertemukan keduanya. Divan tidak mungkin kan menunggu di luar kampus dari pagi tadi hingga sore hanya untuk membuntuti Alya. Ini hanyalah sebuah kebetulan bahwa Divan ingin sekali menghabiskan sepanjang harinya di depan kampus. Dan ketika melihat Alya keluar dari gedung besar itu membawa motor, lelaki itu juga tidak sengaja ingin pergi ke arah yang sama. Ya ya semua memang hanya kebetulan semata. Divan yakin itu.

"Iya, saya baik-baik saja." Sekali pun berkata demikian Alya tetap memegangi pangkal hidungnya. Rasanya pusing dan mual menyerang tanpa henti membuatnya nyaris terjatuh jika saja Difan tidak dengan sigap menangkap tubuhnya. Menyangga kedua bahu Alya agar wanita berwajah pucat itu tetap berdiri.

"Kamu panas." Difan berucap dengan suara naik beberapa oktaf ketika tangannya merasakan suhu panas dari balik baju Alya yang membuat beberapa costumer melihat ke arahnya.

Seorang pegawai segera menghampiri dan menawarkan bantuan.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanya pegawai lelaki itu dengan sedikit panik melihat pelanggan wanita berjilbab baby blue telah terkulai lemas.

"Tolong bawakan belanjaan ini." Difan mengangkat tubuh Alya dengan kedua tangannya. Membiarkan botol kecap yang tadi Alya pegang menggelinding dan segera dipungut oleh sang pegawai.

***

Atha menatap bekal yang lagi-lagi Alya siapkan. Seporsi nasi goreng dengan extra bawang goreng. Lagi-lagi lelaki dengan satu tahi lalat di leher dibuat kagum karena Alya mengetahui apa yang dia sukai bahkan tanpa Atha mengatakannya. Dia juga wanita yang perhatian.

Saat Atha tidak sempat sarapan, Alya akan selalu menyiapkan bekal untuknya, meski pun Atha sendiri enggan menyatap hidangan menggungah selera tersebut. Dia dengan senang hati memberikannya kepada KAOS atau karyawan yang berkerja.

Tapi, kali ini Atha membuka bekal tersebut. Menggunakan sendok yang sudah tersedia di dalam kotak untuk mengambil satu suap nasi bercampur bumbu kemudian melahapnya. Hm...tidak buruk. Rasanya pas meski terlalu banyak kecap di sana. Sepertinya Alya sangat menyukai cairan dari fermentasi kedelai tersebut.

Tanpa sadar satu porsi nasi goreng sudah habis dia babat. Sedikit tersenyum ketika merapikan wadah hijau yang sudah kosong. Perhatiannya seketika saat dering ponsel menggema dari balik saku celanannya. Menarik keluar benda elektronik tipis dari sana. Menggeser sebuak icon berbentuk telepon berwarna hijau ke arah kanan. Sebuah suara bernada panik segera menguar dari speaker.

"Mas Atha bagaimana ini? Wanita yang kutemui tempo hari pingsan." Suara Difan yang terdengar kalang kabut memaksa otak jenius lelaki yang baru saja selesai melakukan operasi , untuk bekerja keras mencernanya.

"Hah?" Adalah respon pertama Atha setelah terdiam selama hampir 10 detik.

"Bukan 'hah' mas. Dia pingsan. Badannya panas." Ucap Difan yang bisa Atha tebak sekarang pasti sedang panik. Terbukti dari suaranya yang parau dan bergetar.

"Jangan panik, Fan. Bawa saja ke sini." Jawab Atha seraya melepas kaca matanya. Memijit pangkal hidung yang terasa perih sebelum kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Jam makan siang nya habis. Dia harus mengontrol keadaan beberapa pasien. Dan mengawasi kerja para KAOS.

"Kejauhan mas. Bagaimana jika dia koma?" Mendengar penuturan Difan barusan, Atha hanya terbengong. Bingung ingin tertawa atau bahkan menyumpahi kepanikan dari lelaki lebih muda. Kadang suka asal kalau bicara.

"Tidak mungkin koma, Fan. Mungkin dia demam." Atha berusaha sabar. Mengurut dadanya perlahan untuk menurunkan tensi darahnya yang tiba-tiba naik.

"Woahh..itu ada puskesmas. Ya sudah mas. Assalamualaikum! " Tanpa menunggu Atha menjawab salam, Difan segera mematikan sambungannya.

Atha hanya geleng-geleng kepala. Heran dengan sifat panikan yang Divan miliki. Untung saja dia tidak menjadi dokter bisa dibayangkan bagaimana kepanikan itu bisa membunuh pasien di meja operasi.

Atha menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana seraya berfikir, wanita seperti apa yang Divan suka kali ini sampai membuat pengacara muda itu pontang panting. Padahal biasanya lelaki yang sudah saat nya menikah tersebut bukanlah tipe pria yang serius saat menjalin hubungan.

Tak sampai satu menit benda pipih itu bersarang di saku, si empunya harus kembali mengambilnya tak kala suara kembali keluar dari sana.

Tanpa perlu melihat, Atha segera mengangkat telepon tersebut. Darahnya bisa naik kalau terus-terusan diganggu oleh anak dari runah sakit itu.

"Apalagi?!" Nada gusar sangat kentara di sana. Ingin menyumpah serapahi seseorang di seberang sana, namun kemarahan segera sirna selayaknya api yang padam saat diguyur air kala mendengar suara lembut menyahut.

"Atha."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status