Share

Serendipity bagian 2

Matahari mulai tenggelam di balik horizon. Menyisakan sebaris cahaya jingga yang membias di antara awan-awan tebal. Mendung sudah berkurang tapi, tidak benar-benar pergi. Mungkin sewaktu-waktu bisa turun hujan.

Atha menatap pemandangan indah tersebut dari balik kaca jendela di ruangannya. Dia melepas lelah sehabis melakukan operasi mengangkatan tumor seorang lelaki setengah baya. Menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang dia putar 180 derakat. Membuatnya bisa melihat pemandangan indah kota Surabaya.

Lampu-lampu jalan sudah mulai menyala. Menjadi sumber penerangan jalan yang ramai oleh kendaraan. Mungkin milik mereka yang hendak pulang ke rumah. Enaknya jika punya jam kerja tetap. Beda sekali dengan dirinya yang sekarang harus jaga malam bersama beberapa KAOS. Tapi, entah mengapa dia merasa bersyukur akan hal itu. Setidaknya dia memiliki alasan untuk tidak bertemu sang istri. Mungkin terdengar kejam tapi, demikianlah yang dia rasakan. Kau tidak bisa memaksakan sebuah cinta tumbuh dari pernikahan yang baru dia jalani. Atas dasar perjodohan pula. Rasanya mustahil sekali jika dia bisa mencintai istrinya sekarang.

"Masih di rumah sakit, mas?"

Atha memutar bola matanya mendengar suara barithon yang sudah dia hafal betul siapa pemiliknya. Tanpa menoleh dia segera menjawab.

"Aku bukan kamu, Fan. Yang bebas keluyuran." Nada sakartis menyelip di antara kata-katanya.

"Bebas, ya?" Gumam Difan kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan lelaki yang sudah seperti kakak kandungannya tersebut.

Menaruh kotak makan yang sudah bersih ke atas meja.

"Aku boleh menginap di rumahmu malam ini, mas?" Tanya Difan dengan wajah memelas. Menjatuhkan wajahnya di atas meja kayu. Menarik helaan nafas berat dari lawan bicaranya.

"Pulang sana. Kalau kamu terus menghindari Pak Angga, nanti malah terjadi kesalahpahaman." Kali ini Atha memutar kursinya menghadap yang lebih muda. Menepuk bahu lelaki yang kuliah di jurusan HI itu pelan. Menyalurkan energinya, secara kiasan agar Difan sedikit bersemangat.

"Beliau selalu mendesak ku untuk melanjutkan kuliah ke kedokteran,Huh.." Difan menghela nafas kasar mengingat bagaimana sang ayah mempermasalahkan profesinya saat ini yang menjadi pengacara. Menentang keputusannya dengan mengatakan bahwa menjadi dokter bisa menyelamatkan nyawa orang lain dan bisa meneruskan rumah sakit megah yang beliau miliki ini. Menjadi anak tunggal memang benar-benar memusingkan. Bahkan setelah Divan berhasil menjadi pengacara kondang dengan gaji jutaan dalam sekali kasus, sang ayah masih saja menyuruhnya menjadi dokter.

"Sudahlah, Fan. Papamu pasti ingin yang terbaik buatmu." Atha tersenyum kaku.

Keheningan melanda kemudian. Dua-duanya asyik berselam dalam lamunan masing-masing. Menentang permintaan orang tua itu mustahil. Meskipun Difan berhasil melakukannya, tetap saja sang ayah terus mempermasalahkan hal tersebut. Padahal dia sudah lulus kuliah.

"Mas Atha cinta tidak dengan istrimu mas?" Celetuk Difan tiba-tiba membuat Atha terdiam. Atha bisa saja menjawab 'Ya aku mencintainya.' Tapi, sisi lain dirinya tidak ingin berbohong.

Jadi yang dokter muda itu lakukan hanya bergumam tidak jelas. Difan hanya memutar mata. Dia tahu Atha terpaksa menikah. Sama seperti dirinya yang dipaksa untuk menjadi dokter. Hanya saja Difan adalah jenis lelaki yang memutuskan pilihannya sendiri yang membuatnya mampu bertahan di fakultas pilihannya. Dia tahu sang ayah pasti kecewa. Karena itu, Difan bertekad untuk menjadi sukses agar sang ayah bangga.

"Aku mau beli makanan. Mas Atha ada titip?" Tawar Difan seraya berdiri dari kursi.

"Mie isntan rasa kare satu yang sudah di masak sampai matang. Tambah telur dan ekstrak bawang goreng. Jangan lupa minumnya es teh manis." Ucap Atha di akhiri senyuman jahil yang membuat Difan menatapnya dengan pandangan memang-aku-pembantumu?.

Atha hanya melempar senyum tanpa dosa yang justru membuatnya semakin berdosa.

"Dasar."

****

Percayakah kau pada yang namanya takdir. Atau itu hanya sebuah kebetulan? Difan rasa keduanya. Saat ini dia berada di supermarket. Memberi beberapa makanan ringan dan tentu saja mie instan cup pesanan mas Atha ketika dilihatnya wanita yang tadi pagi dia temui di kampus tengah berdiri di depan pintu sambil menatap langit.

"Permisi." Wanita setinggi dagunya itu segera menyingkir dari jalan ketika Difan berada di belakang tubuhnya.

Dia berjalan melalui pintu dan mendapati rintik hujan cukup deras menyambut di tepan pintu. Membuatnya melakukam hal sama seperti yang wanita tadi lakukan. Berdiam di depan pintu sambil menatap langit.

"Yah.. hujan." Gumam keduannya berbarengan. Kemudian saling tatap dan tertawa kecil.

"Anda yang tadi pagi kan?" Tanya si wanita ramah. Senyumnya membuat kedua mata nyaris tenggelam tak terlihat. Kemudian wanita itu memiringkan kepalanya saat yang diajak bicara hanya diam seribu bahasa. Apakah dia salah orang, kalau memang demikian bisa malu rasanya.

"ehem! " Alya berdehem sedikit keras agar sang lawan bicara kembali dari keterdiaman nya.

"Iya, namaku Difan. Tidak perlu terlalu formal. "Difan berusaha menyembunyikan rasa gugubnya dengan berdehem pelan di akhir kalimatnya. Matanya berusaha teralih dengan pemandangan yang lain, menatap langit mendung misalnya, tidak berani menatap wanita cantik di samping nya.

"Nama saya Alya." Alya kembali tersenyum. Suatu kebiasaan yang tidak bisa hilang untuk tersenyum dan menyapa setiap orang yang dia kenal.

Difan bersorak senang dalam hati. Alya. Nama itu telah terukir di hatinya. Terdengar lebay tapi, mau bagaimana lagi. Senyuman dan keramahan Alya benar-benar memikat.

Keduanya terdiam. Difan tampak risau di sisi lain. Dia lupa tidak bawa payung atau jas hujan. Dan memang tidak ada prediksi di benaknya bahwa hujan akan turun malam ini.

"Saya bawa payung. Kamu bisa memakainya." Alya menyerahkam payung transparan kepada Difan. Mengetahui gelagat gelisah lelaki 182 cm itu yang tampaknya resah akan rintik hujan yang mulai membasahi bumi.

"Kau pakai apa?" Tanya Difan dengan wajah khawatir, dia tentu tidak ingin wanita pujaan hati pulang dalam keadaan basah kuyup.

"Saya bawa mantel di motor." Alya berjalan ke arah motornya. Mengambil mantel berwarna biru langit kemudian tersenyum.

"Kemana aku bisa mengembalikannya?" Tanya Difan sekalian modus. Mungkin alamat rumah atau nomor telepon bisa dia dapatkan. Yang sayangnya semua itu hanya ada di benaknya kala Alya tersenyum entah untuk kesekian kalinya sambil berucap.

"Kamu tidak perlu mengembalikannya." Ucap Alya dengan senyum yang tak terlalu terlihat oleh rintik hujan yang mulai deras.

"Terima kasih kalau begitu."

"Saya pergi dulu. Assalamualaikum. "Pamit Alya setelah memakai mantelnya kemudian mengendarai motor hitam antik yang telah basah kehujanan.

"Waallaikum salam." balas Difan dengan wajah melongon. Hatinya berdegup dengan kencang. Sebuah perasaan asing yang familiar. Membuat pinggangnya seolah digelitik oleh ribuan kupu-kupu terbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status