Share

Percikan

Difan menyuruh sopirnya untuk memutar setir mobil ke arah sebuah puskesmas. Segera setelah mobil bmw nya berhenti, Difan membawa tubuh yang terkulai lemas ke dalam bangunan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rumah sakit ayahnya.

Kehadiran lelaki itu membuat beberapa perawat memberikan pelayanan dengan sedikit tergopoh-gopoh. Pasalnya Difan terus mengatakan hal-hal yang menakutkan semacam.

"Tolong, dok. Dia sudah kritis." Dan." Apa kita harus mengoperasinya?"

Seorang dokter yang mendengarnya hanya menyipitkan mata, gusar. Sepertinya lelaki muda itu terlalu banyak dicekoki film-film lebay yang mengisahkan matinya seseorang setelah terserempet motor atau hanya karena jatuh menghantam meja.

"Mas, anda harus tenang." Sang dokter menahan tubuh Difan yang tidak bisa tenang.

"Teman Anda hanya demam." Tambahnya lagi dengan urat kesabaran yang nyaris putus.

"Hehe...maaf dok. Saya panik." Difan tersenyum bodoh.

Dokter tadi segera memeriksa keadaan Alya. Memastikan temperatur tubuh wanita manis tersebut.

"Dia demam. Dan kurang tidur." Ucap sang dokter setelah selesai memeriksa keadaan Alya.

Difan bernafas lega lalu tersenyum. "Kupikir dia kenapa-napa." Gumamnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pertanda bahwa dia malu atas kepanikannya tadi. Sang sopir saja sampai menjaga jarak beberapa meter darinya. Pura-pura tidak kenal.

***

Setelah menunggu selama hampir lima menit, akhirnya Alya kembali menatap dunia. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah khawatir Difan. Entah kenapa Alya merasa tidak asing dengan wajah lelaki itu. Ternyata Divan di sana.

"Alya, apa yang kamu rasakan?" Tanya Difan setelah kedua mata Alya terbuka sempurna. Tangannya segera memeriksa suhu badan Alya melalui kening. Merasakan suhu yang cukup panas.

"Tidak ada. Cuma sedikit pusing." Ucap Alya saatt pening di kepalanya kembali menyerang.

"Di mana rumahmu. Biar kuantar." Alya tertawa kecil melihat sikap berlebihan lelaki tampan berpakaian rapi itu. Sepertinya dia tipe orang yang mudah panik.

"Saya bisa pulang sendiri. Anda tidak perlu khawatir." Alya tersenyum ramah. Menuruni ranjang rumah sakit dengan sedikit terhuyun dan Difab dengan sigap menangkapnya. Alya dengan halus mendorong kedua tangan Difan menjauh dari bahunya. Tidak ada lelaki yang boleh menyentuhnya selain mas Atha.

"Maaf." Ucap Difan menyadari kesalahannya. Dia berdiri tegak kali ini. Melempar senyum ramah yang terlihat semakin menawan saja.

"Tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengantar saya kemari." Alya mulai melangkahkan kaki keluar ruangan dengan bau khas obat-obatan yang menyengat indra penciuman.

"Tidak masalah." Balas Divan sambil tersenyum ramah. Dia segera mengantar Alya keluar dari puskesmas yang agak sepi itu.

***

Atha terdiam untuk beberapa saat. Memastikan bahwa suara dari benda hitam yang dia genggam memang suara yang selama ini dia rindukan.

"Si-siska?" Suara lelaki itu terbata memastikan. Dia memegang pakaian depannya. Meremasnya sedikit. Perasaannya campur aduk. Antara senang, sedih dan gundah.

"Atha, bagaimana kabar kamu?" suara Siska juga bergetar akibat gugup.

"Baik, bagaimana kabarmu, Siska?" Atha tanpa sadar menahan nafasnya dalam dalam. Perasaan aneh timbul di dadanya yang membuat sesak. Seolah dia tengah berbuat salah sekarang.

"Aku baik, Atha. " Siska terdengar terkekeh kecil mendapati watak kaku yang jarang sekali Atha tunjukkan. " Aku ada di depan rumah sakit tempat kamu kerja." Pernyataan Siska barusan membuat Atha langsung keluar dari ruangannya. Menerobos lorong yang ramai oleh keluar pasien untuk sampai di pintu depan yang entah kenapa terasa amat jauh.

Sesampainya dia di luar gedung bercat putih, Atha disambut oleh seseorang perempuan yang amat dia rindukan membuat lelaki tinggi itu termangu. Dirinya tidak berani untuk Mengutarakan keinginannya memeluk sang pujaan. Tentu saja karena meskipun perasaan nya sekarang sangat bergejolak, logika sang dokter berkata bahwa dia sudah beristri. Dan bukan sesuatu yang etis jika dirinya memeluk sang mantan yang tersenyum di sana.

Lain Atha lain juga Siska. Wanita berbaju kemeja putih, dibalut rok span sebetis berwarna Hitam segera menghambur pada lelaki berjas putih. Memeluk dengan erat, meleburkan perasaan rindu yang dia tahan beberapa bulan terakhir.

Tanpa keduanya ketahui, sepasang mata coklat menatap dari kejauhan , mimik curiga tampak jelas di air mukanya. Pemuda dengan pakaian khas perawat itu hanya berdiri di balik pintu yang tertutup. Mengintip di balik kaca bulat yang menjadi bagian dari daun pintu. Melihat sosok pria yang sudah menjadi pembimbing beberapa bulan ini tengah berbincang dengan Teleponya.

Awalnya pemuda bernama Hasan itu hendak menyerah laporan hari ini , namun niatnya segera berubah saat di dengannya nama dosen baru disebut oleh sang dokter. Pemuda 22 tahun itu terus saja menguping membicarakan Atha sampai percakapan itu terputus oleh salam yang Atha ucapkan.

***

Hasan berjalan menjauhi ruangan Atha. Tangannya yang menggengam berkas laporan mengepal erat-erat. Logikanya berusaha berprasangka baik kepada suami dari sahabatnya tapi, dilihat dari manapun, bisa dipastikan bahwa yang menelepon Atha yang tak lain adalah Dosen bahasa Inggris di kampus, adalah mantan sang dokter. Lantas apa alasan bagi seorang yang pernah begitu berharga untuk kembali menghubungi apabila tidak ada percikan asmara yang hendak terjalin di sana.

Hasan menghela nafas berat. Dia tidak bisa menyimpulkan begitu saja karena dugaan nya tidak memiliki bukti yang cukup untuk menjadi sebuah kenyataan. Dan yang terpenting, apakah dia harus memberitahukan kepada Alya atau tidak.

#Brak#

Hasan terhenti kala dirinya tanpa sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah. Lelaki berjas hitam jatuh terduduk di hadapannya.

"Maafkan saya," ucap Hasan seraya membantu lelaki yang sudah sering dia lihat berseliweran di rumah sakit. Divan namanya, anak dari pemilik rumah sakit dan seorang Direktur di kampusnya. Lelaki yang juga merupakan sahabat dokter Atha.

"Kalau jalan lihat-lihat, Dong!" gerutu lelaki keturunan ningrat tersebut. Hasan hanya mengangguk pelan , membiarkan sang pengacara berlalu sebelum dirinya sendiri melanjutkan perjalanan.

***

Divan memasuki sebuah ruangan yang dia hafal betul desain dan isinya. Mandapati lelaki yang hanya 2 tahun lebih tua tengah duduk di kursi dengan kepala di atas meja. Beralaskan kedua lengan yang masih terbalut jas putih. Divan menaikan salah satu alis. Ada apa gerangan, pertanyaan itu otomati menyeru di dalam kepalanya. Lelaki berjas hitam mendekati lelaki yang tampak seperti orang anemia, letih, lesu dan lunglai.

"Mas Atha gagal operasi?" Entah mengapa dugaan itu terasa paling relevan dengan kondisi Atha bagi sang pengacara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status