Share

Chapter 4

Author: NamNamjoo
last update Huling Na-update: 2025-08-31 11:54:56

Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah.

Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.

“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.

Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”

Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.

“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”

Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjerit, ada yang menyoraki, ada yang menahan ketakutan.

Praja spontan mengetuk atap mobil. “Berhenti!”

Kendaraan berhenti mendadak, membuat debu mengepul. Pintu depan terbuka, dan langkah sepatu boots militer menggelegar menghampiri kerumunan kecil itu.

“Berhenti! Hentikan sekarang juga!” suara Praja menggelegar.

Anak-anak yang menonton langsung bubar, hanya menyisakan dua bocah yang masih sama-sama terengah, tatapannya penuh amarah.

Praja berdiri di hadapan mereka, tegap, dengan sorot mata yang membuat kedua anak itu mendadak terdiam.

“Apa yang kalian lakukan?!” tegurnya tegas.

Anak yang lebih besar langsung menunduk, masih memegangi pipinya yang memerah. Sementara bocah satunya—yang tadi berkelahi dengan sengit—mendongakkan wajah, menatap Praja dengan mata bulat besar yang penuh keberanian.

Dan saat itulah—waktu seakan berhenti.

Praja terpaku. Bocah itu wajahnya. Ada sesuatu yang begitu familiar. Matanya, bentuk hidungnya, bahkan cara ia berdiri melawan meski tubuhnya kecil. Jantung Praja berdentum keras, tanpa alasan yang bisa ia pahami.

“Apa namamu?” tanya Praja, suaranya lebih lembut dibanding tadi.

Anak itu masih terengah, tapi menjawab tegas, “Arga.”

Nama itu menusuk ke dalam dada Praja, entah kenapa. Ia sempat terdiam, menelan ludah, lalu bertanya lagi. “Kenapa kau berkelahi?”

Arga menggertakkan giginya, menunjuk lawannya dengan telunjuk kecil. “Dia bilang aku anak pungut. Katanya aku nggak punya ayah.”

Seketika, suasana di sekitar seolah membeku. Kata-kata itu menampar telinga Praja. Matanya kembali menatap Arga, lebih lekat dari sebelumnya. Wajah itu ekspresi itu ada sesuatu yang membuat tubuhnya kaku, bahkan napasnya tercekat.

Seno yang sedari tadi mengamati, mendekat. “Komandan, biar anak-anak ini kita panggil gurunya.”

Namun Praja masih berdiri kaku, pandangannya terkunci pada bocah bernama Arga itu. Ada gemuruh aneh di dadanya—perasaan yang tidak ia mengerti, tetapi sangat kuat.

Arga menunduk lagi, tangannya mengepal, matanya berkaca-kaca. “Aku bukan anak pungut aku punya ibu aku." suaranya tercekat, lalu berhenti.

Praja ingin sekali meraih bahu kecil itu, menenangkannya, tapi ia sendiri tak tahu kenapa hatinya terasa seperti ditusuk berkali-kali.

Dan tanpa sadar, satu pertanyaan muncul di kepalanya, pertanyaan yang membuat tubuhnya membeku di tempat:

Kenapa anak ini terasa begitu dekat denganku?

Arga masih menunduk, kedua tangannya mengepal, seolah siap untuk kembali melawan siapa pun yang berani merendahkannya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling dari sosok tinggi tegap di hadapannya.

Praja.

Bocah itu mengangkat kepalanya perlahan, menatap pria berseragam militer dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Di balik sorot mata tegas yang biasanya membuat orang dewasa sekalipun ciut, Arga justru merasakan sesuatu yang berbeda. Ada wibawa, ada perlindungan, ada ketenangan yang seakan memeluknya dalam diam.

“Kau tahu,” suara Praja kembali terdengar, kali ini lebih rendah, “lelaki sejati bukan diukur dari seberapa keras tinjumu, tapi seberapa besar kau mampu melindungi dirimu dan orang yang kau sayangi.”

Kata-kata itu membuat dada kecil Arga bergetar. Tak ada yang pernah bicara begitu padanya. Selama ini, ia hanya tahu bahwa hidupnya keras, dan ia harus berani melawan kalau tidak mau diinjak. Tapi kalimat itu—dari mulut seorang komandan—mengendap begitu dalam.

Anak-anak lain sudah bubar, hanya tersisa mereka bertiga. Seno berdiri di samping, mengamati dengan senyum samar, seolah bisa membaca perasaan yang tengah tumbuh dalam hati bocah itu.

“Komandan.” Arga memanggil dengan suara lirih, nyaris malu-malu. “Apa rasanya jadi tentara?”

Praja tertegun sejenak, lalu menurunkan tubuhnya, berjongkok agar sejajar dengan mata bocah itu. Dari dekat, Arga bisa melihat detail wajahnya—garis tegas rahang, tatapan tajam, dan baret merah di pundaknya yang memantulkan cahaya senja.

“Jadi tentara itu berarti siap berkorban,” jawab Praja pelan. “Kami berdiri di garis depan, supaya kalian—anak-anak sepertimu—bisa hidup tenang. Itu tidak mudah, tapi itu sebuah kehormatan.”

Arga ternganga kecil. Matanya berbinar, bukan lagi karena amarah, melainkan kekaguman yang tulus. Seumur hidupnya, ia tak pernah merasa sebesar ini, seolah hatinya baru saja disulut api yang asing tapi hangat.

“Hebat sekali,” gumamnya, tak sadar bibirnya melengkung tipis. “Aku juga mau jadi kuat seperti Komandan.”

Praja tak menjawab, hanya menepuk pelan bahu kecil itu. Sentuhan itu membuat Arga merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah rasa aman yang selama ini ia cari, tapi tak pernah benar-benar ia temukan.

Entah mengapa, dalam hati bocah itu, sosok berseragam militer ini seperti cahaya. Sesuatu yang ingin ia dekati, sesuatu yang ia kagumi.

Sementara itu, Praja masih menatap Arga dalam diam. Ada perasaan ganjil yang tak bisa ia ungkapkan. Kekaguman bocah itu seolah menyentuh sisi terdalam dirinya. Dan tanpa sadar, di balik wibawanya sebagai komandan, dadanya terasa hangat—seolah bagian kosong yang selama ini ada perlahan terisi.

“Sudah, ayo naik.” Suara berat Praja memecah keheningan. Tangannya membuka pintu belakang mobil patroli.

Arga terpaku, matanya membesar. “Aku boleh ikut naik, Komandan?” tanyanya ragu.

Praja mengangguk singkat. “Aku tidak suka melihat anak kecil jalan kaki jauh sore-sore begini. Apalagi habis berkelahi. Naik.”

Arga langsung masuk dengan kikuk, duduk di kursi belakang. Bau khas seragam dan kabin mobil militer terasa asing baginya, tapi entah kenapa membuatnya nyaman. Dari kaca samping, ia bisa melihat tubuh tegap Praja saat naik ke kursi depan.

Seno yang duduk di samping sopir melirik lewat spion tengah, tersenyum kecil. “Hebat sekali kau, Dek. Baru kali ini aku lihat ada bocah yang berani menatap Komandan lama-lama.”

Arga tersipu, tapi kemudian memberanikan diri bertanya. “Komandan bolehkah saya tahu, rasanya bawa senjata itu seperti apa?”

Praja menoleh sekilas, kemudian menatap lurus ke jalan. “Rasanya berat. Bukan karena bobotnya, tapi karena tanggung jawabnya. Senjata itu bukan mainan. Itu alat untuk melindungi, bukan untuk gagah-gagahan.”

Arga mengangguk pelan, menyimpan setiap kata ke dalam hatinya. Ia memeluk tas lusuhnya lebih erat, tatapannya tak bisa lepas dari punggung Komandan di kursi depan.

Perjalanan singkat itu terasa begitu panjang bagi Arga. Ada getaran aneh yang berulang kali membuatnya ingin bertanya lebih banyak. Rasanya seperti menemukan sosok ayah yang selama ini hanya bisa ia bayangkan—tegas, kuat, tapi juga hangat.

Praja sendiri masih terdiam, sesekali menatap bayangan bocah itu lewat kaca spion. Ada sesuatu yang mengusik nuraninya. Bocah ini kenapa rasanya begitu dekat?

Mobil pun terus melaju, membawa mereka menuju arah rumah yang Arga sebutkan dengan suara malu-malu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 6

    Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 5

    Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 4

    Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 3

    Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 2

    Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 1

    Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status