Compartir

Chapter 5

Autor: NamNamjoo
last update Última actualización: 2025-08-31 11:55:25

Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.

“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.

Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”

Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.

“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”

Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.

Sekar.

Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.

Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya tercekat. Sungguh ia tidak menduga sosok itu.

Namun sebelum tatapan itu semakin dalam, Sekar buru-buru menunduk dan menggenggam erat tangan Arga.

“Masuk, Arga. Sekarang juga.”

“Tapi Bu, ini Komandan yang nolong aku—”

“Masuk!” suaranya terdengar tegas, bahkan sedikit gemetar. Arga terdiam, lalu menurut dan berlari ke dalam rumah.

Kini hanya Sekar dan Praja yang masih berdiri di depan teras. Hening menjerat mereka.

Praja akhirnya berkata, suaranya datar namun ragu, “Saya hanya mengantar anak itu pulang. Tadi dia terlibat perkelahian kecil di jalan.”

Sekar mengangguk singkat, mencoba menyembunyikan wajahnya dari sorotan lampu mobil. “Terima kasih, Komandan. Saya sangat berhutang budi. Sekarang kalau tidak keberatan, sebaiknya Komandan kembali.”

Ada getar dalam nada suaranya, seolah berusaha menahan sesuatu.

Praja menatapnya sekali lagi. Perasaan aneh menggelitik benaknya. Perempuan itu tampak begitu akrab namun ia tidak bisa menempatkannya di mana.

Dengan langkah mantap, ia memilih kembali ke mobil. “Baik. Selamat malam.”

Sekar menunduk dalam, menahan napas sampai suara mobil patroli menjauh. Tangannya bergetar ketika ia menutup pintu rumah.

Di balik pintu kayu itu, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Ya Tuhan kenapa harus dia?” bisiknya lirih.

Sekar menutup pintu dengan cepat, punggungnya bersandar pada kayu tua itu. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar seperti baru saja lolos dari sesuatu yang menakutkan. Ia berusaha menenangkan diri, tapi bayangan seragam hijau itu masih jelas di pelupuk matanya.

“Tidak mungkin kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Arga yang masih belum mengerti kegelisahan ibunya, menatap polos.

“Bu, Komandan itu baik banget. Dia gagah, ya? Aku mau jadi tentara kayak dia!”

Sekar memejamkan mata, menahan rasa sakit yang menusuk dadanya. Kata-kata Arga bagai pisau yang diputar di luka lama. Ia berjongkok, meraih bahu anaknya dengan kedua tangan.

“Arga, dengar Ibu. Jangan terlalu dekat dengan tentara itu. Kalau dia lewat, cukup sapa sopan, lalu kembali pulang. Jangan pernah ikut-ikut, paham?”

Anak itu mengerutkan kening, sedikit kecewa.

“Tapi Bu, dia baik. Dia nolong aku. Kenapa harus jauhin dia?”

Sekar menggigit bibir, tidak sanggup menjawab dengan jujur. Ada kebenaran pahit yang belum bisa ia buka pada anak sekecil itu. Akhirnya ia hanya menarik Arga ke dalam pelukan.

“Pokoknya menurut kata Ibu, ya. Semua ini untuk kebaikanmu.”

Arga mengangguk dengan enggan. Ia lalu berjalan masuk ke kamarnya, masih menoleh sesekali ke arah jendela, seakan berharap bisa melihat lagi sosok gagah yang barusan mengantarnya pulang.

Saat langkah kecil itu hilang di balik pintu kamar, Sekar baru membiarkan air matanya jatuh. Tubuhnya terasa lemas, ia terduduk di kursi ruang tamu, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Bayangan masa lalu menyesak. Malam itu—malam kelam lima tahun lalu—muncul kembali dengan jelas. Praja mungkin tidak sadar, tapi Sekar mengingat segalanya. Wajah itu, suara itu, dan luka yang ia bawa hingga kini.

Sekar menggeleng keras, mencoba menolak kenyataan. “Aku sudah melupakan itu semua aku sudah menguburnya.”

Tapi kenyataan di depan mata justru membuat pertahanannya runtuh. Orang yang ia coba hindari seumur hidup, kini berdiri lagi di hadapannya. Bahkan tanpa ia duga, anaknya sendiri justru mengaguminya.

Sekar berdiri pelan, berjalan menuju kamar Arga. Pintu itu ia buka perlahan, dan matanya langsung tertumbuk pada tubuh kecil anaknya yang sudah terlelap, memeluk bantal dengan senyum samar di wajah.

Senyum polos itu membuat hati Sekar semakin remuk. Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, mengusap lembut rambut anaknya.

“Arga kalau kau tahu siapa ayahmu, apakah kau masih akan tersenyum seperti ini?” bisiknya lirih, suaranya nyaris patah.

Air matanya jatuh satu-satu, membasahi bantal kecil itu.

Sekar menatap lama wajah anaknya, mencoba menguatkan hati. “Tidak boleh ada yang tahu, Nak. Termasuk dia. Ibu yang akan melindungimu, meskipun harus hancur berkali-kali.”

Praja masih berdiri di depan rumah sederhana itu. Tangannya yang tadi memegang gagang pintu mobil kini mengepal di sisi tubuhnya. Ada sesuatu yang aneh barusan—senyum perempuan itu, tatapannya yang gugup, lalu cara ia buru-buru menyembunyikan anak kecil itu ke dalam rumah.

Dahi Praja berkerut. “Seperti pernah kulihat.”

Praja mencoba mengingat. Kilasan samar muncul di kepalanya. Wajah seorang gadis, suara lirih memanggil namanya dalam kegelapan malam bertahun lalu. Tapi memori itu seperti kabur, seolah terbungkus kabut tebal. Ia menggeleng keras, menepis bayangan itu.

“Tidak mungkin. Itu hanya perasaan.” gumamnya.

Salah seorang prajurit yang duduk di kursi depan mobil menoleh.

“Komandan, kita lanjut patroli?”

Praja menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobil. “Lanjut. Jangan berhenti terlalu lama.”

Mobil kembali melaju di jalan tanah desa, meninggalkan rumah itu. Tapi pikiran Praja masih tertahan di sana. Anak kecil tadi… matanya tajam, penuh keberanian meski masih belia. Saat ia menatap bocah itu, ada sesuatu yang menohok hatinya, entah apa.

“Anak itu seperti punya aura berbeda.”

Namun lagi-lagi ia menepisnya. Sebagai komandan, ia tidak boleh larut dalam hal pribadi. Tugas tetaplah tugas. Ia di sini untuk mengamankan wilayah, bukan mengorek masa lalu.

Tapi jauh di lubuk hati, kegelisahan kecil mulai tumbuh.

Sementara itu, di balik jendela, Sekar berdiri kaku, mengintip mobil patroli yang perlahan menghilang di tikungan. Jantungnya masih berdebar kencang. Ia menutup tirai dengan cepat, lalu meraih dada sendiri, mencoba menenangkan napas.

“Dia tidak mengenaliku, syukurlah. Semoga tetap begitu.”

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 6

    Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 5

    Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 4

    Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 3

    Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 2

    Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 1

    Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status