Setelah mendengar pernyataan mas Yuda. Aku merasa segan didekatnya. Bahkan sepanjanh perjalanan pulang. Hingga mengantarkan mbak Yayuk kerumahnya, aku lebih banyak diam.Sesekali bersuara saat Aisyah memanggilku dan bertanya sesuatu yang dilihatnya dijalan. Tapi kini, gadis kecil iti tidur di kursi belakang. Aku jadi salah tingkah karena suasana yang hening."Ac nya kurang dingin?" Mas Yuda mengecek suhu AC di depanku."Oh, sudah mas. Sudah dingin. Kenapa?" Tanyaku menatapny."Lho kok tanya balik? Kamu itu yang kenapa, kalau AC menyala, kok keringatmu banyak?"Ah, dia tak tau apa aku sedang gugup."Gak papa mas. Sudah menyetir saja. Jangan membuatku malu"Mas Yuda justru tertawa mendengar kalimatku. "Yaa, aku akan berpura-pura tak tau kamu gugup."Lah, dia menggoda!Aku hanya tersenyum, ingin rasanya mengecil dan sembunyi di balik lubang AC yang dingin.Kami menuju kerumahku. Sampai di rumah, mas Yuda membukakan pintu. Aku melihat mobil yang kukenal di jalan masuk rumah. Itu seperti m
Setelah kedatangan mas Aldo kerumah hari itu. Dia tak pernah lagi menemuiku. Hari-hariku berjalan begitu baik. Ada ibu, Aisyah, mas Yuda, mbak Yayuk dan mbak Nur juga Kania. Kehamilan ini tak terasa sulit untuk aku lalui.Aku tak pernah kerumah lamaku dan mas Aldo. Ibu secara tegas melarangku kesana. Ibu diam-diam mendengar pembicaraan kami saat itu. Dan dengan tanpa kompromi lagi, ibu tak ingin mrlihat wajah mas Aldo ada dalam kehidupan kami.Aku tau rasanya, hatikupun sakit saat bayiku dihina. Seperti itulah hati ibuku saat itu. Kecewa, marah dan sangat terluka. Mendengar sendiri bagaimana aku dihina mantan suamiku.Rumah lamaku dan mas Aldo sudah menjadi taman bermain. Beberapa kali ibu mas Aldo sempat mempersulit proses renovasi. Tapi Arya membantuku menyelesaikan segalanya." bagaimana dengan stroller ini?" Mas Yuda meminta pendapatku."Bagus, lucu juga." Ucapku mengomentari.Aku sedang berbelanja perlengkapan bayi saat ini. Kami sudah membeli hampir semua keperluannya. Hanya tin
Pagi ini aku mengantar sendiri Aisyah kesekolah. Kania libur satu minggu, karena kelas di pakai ujian kakak tingkatnya. Jadilah dia ikut aku ke toko. Aisyah akan pulang di antar bus sekolah setiap siang.Jalanan sedikit macet pagi ini. Aku bahkan tak bisa berjalan cepat di jalur ini. Ada kemacetan panjang hingga ke lampu merah depan."Tumben macet sekali?" Kania bicara sendiri Dia sibuk melihat kedepan, sampai mendongakkan kepalanya. Tetap saja tak ada yang terlihat."Ada kecelakaan ya mbak?" Dia bertanya padaku."Entah. Mbak kan duduk sebelahmu, menyetir lagi. Kok malah kamu tanya?"Dia tersenyum malu. " yaa maaf, siapa tau kan?"Aku menggelengkan kepala heran. Anak ini pintar, juara kelas, bakan sering ikut olimpiade berbagai pelajaran. Tapi kadang-kadang ya, pertanyaanya bikin darah tinggi.Hampir setengah jam lebih kami terjebak. Aku sampai mual dan pusing karena bau mesin. "Hueek...hueekk...,""Kenapa mbak? Duh mual ya?" Kania panik memijat tengkukku dan mengoleskan minyak di ke
Kami pulang kerumah malam. Ibu sejak tadi menelphone ingin kami segera pulang. Tapi tak mau bicara apa yang sebenarnya ibu khawatirkan.Sampai dirumah, ibu bahkan sudah menunggu di teras rumah. "Ada apa bu?" Aku turun lebih dulu. Kania memasukkam mobil ke dalam garasi."Ada tamu." Suara Ibu setengah berbisik."Siapa? Ibu kok khawatir begitu" Aku merasa heran dengan sikap ibu."Bapaknya Aisyah katanya." Ibu menatapku cemas.Dari mana Bapak Aisyah tau rumah ini? "Ibu takut Sari, dari tadi Aisyah dikamar ketakutan. Bapaknya maksa mau ajak Aisyah. Dia bawa teman, wajahnya seram.""Aisyah sudah ketemu?""Tadi dia sama ibu didepan. Dia lihat orangnya datang. Langsung tarik Aisyah. Dia takut, lari kekamar."Aku berjalan kedalam. Ibu membantuku menaiki tangga teras. Hatiku berdebar, bahkan takut. Jika benar Aisyah di ajak pergi, bagaimana aku bisa menahan rindu bila jauh dengannya.Saat aku masuk, seorang pria dengan rambut di ikat kebelakang memandangku dengan sedikit senyuman. Di samping
Kami memutari kota lebih dari dua jam. Hingga hari mulai gelap. Kami mampir kesebuah masjid untuk sholat magrib. Air mataku tumpah tak tertahan. Aku tak akan sanggup jauh dari Aisyah.Jaga anakku ya Allah. Jaga dan lindungi anakku!Kami kembali memutari kota. Ibu sudah menangis sejak tadi. Kepalaku juga semakin berat dan sakit. Lelah memang kurasakan. Namun membayangkan dimana anak itu akan tidur, membuat amarahku memuncak. Tak terima dengan perlakuan mereka pada anakku.Jika sampai sehelai saja rambut anakku terlepas. Akan aku pastikan mereka membayarnya!Mas Yuda menelphoneku saat di jalan. "Assalamualaikum mas"'Waalaikumsalam. Dimana?' Suaranya diseberang jalan nampak juga tegang. 'Aku sudah baca pesanmu. Semuanya baik?'"Aiysah dibawa orang mas!" Akhirnya aku menangis kencang. Rasanya dadaku sesak karena menahan gejolak sejak tadi. 'Dibawa yang katanya Bapaknya?'"Iya. Aku sekarang di depan mall Harmoni mas. Kami sudah memutari seluruh kota. Bagaimana mas, bagaimana kalau Aisyah
Berjuang antara hidup dan mati. Allah buktikan aku mampu melaluinya. Setelah menunggu pembukaan sempurna hingga lewat tengah malam, Bayi mungil ini kini kudekap. Sakit yang kurasakan hilang sudah tak berbekas. Ia sibuk menyusu sekarang, meski belum benar tapi kulihat lelaki kecil ini tak menyerah mencari Asinya.Rambutnya hitam nan tebal, bibirnya merah dengan alis yang nyaris bertaut. Pipinya menyembul seperti mochi yang siap digigit. Mengemaskan.Ibu tak berhenti memelukku, menciumku bahkan mengusap-usap rambut cucu lelakinya ini. Mas Yuda masih setia menemani. Bahkan hari ini, dengan paksaan dia mendesak cuti. Sejak semalam, dia yang paling heboh mengendong saat sikecil menangis. Mungkin karena pernah memiliki bayi, dia pandai sekali membantuku merawat bayiku.Mas Yuda yang meng Azani saat lahir dini hari tadi. Di sudah berperan menjadi Bapak yang luar biasa sebelum waktunya. Sejak bangun, Aisyah selalu mendekati tempat tidur bayi. Dia tak berhenti mengelus-elus pipi adiknya. Gadi
Hari demi hari kami lalui dengan tenang. Beberapa kali mas Aldo menghubungi, beberapa kali juga dia mencoba datang. Namun sudah aku minta pada satpam depan, untuk tak membiarkan dia masuk.Hari ini polisi memanggilku sebagai saksi, kasus Bapak Aisyah dan temanya itu masih terus berlanjut. Aku melaporkannya dengan pasal berlapis. Sudah aku bilang, akan membuat mereka membayar bila sedikit saja Aisyah terluka.Mas Yuda menjemputku lebih pagi. Karena mungkin akan memakan banyak waktu hari ini. Aku bahkan sudah memeras ASI kedalam beberapa kantung. Persiapan minum fatih hari ini.Aisyah dan Fatih tinggal dirumah bersama ibu, Kania dan dua ARTku. Mas Yuda bahkan mempekerjakan Satpam didepan rumahku. Karena aku tak memiliki pos untuk berjaga, dua satpam itu menunggu di gazebo depan. Kami tak mau kecolongan lagi. Baik Aisyah ataupun Fatih."Kami berangkat dulu bu" Aku pamit pada ibu. Mencium Aisyah dan Fatih juga.Mas Yuda membukakan pintu mobil untukku. Kami melaju menuju kantor polisi. Sam
Aku tak pernah menyangka, menemukan pengganti hatiku yang patah dengan cepatnya. Aku juga tak pernah menduga, bahwa kosong yang kurasa tak akan lama.Cincin ini tersemat, bukan hanya sebagai pengikat, namun juga jadi jawaban, bahwa Allah tak pernah membiarkanku sendiri terlalu lama. Bahwa aku juga masih memiliki waktu untuk bahagia."Mas, mas Yuda serius mau menikahiku?" Kalimat itu yang kutanyakan saat dia melamarku. Hanya senyuman yang kudapat. Namun dia buktikan keseriusannya, dia buktikan bahwa dia layak diterima. Mas Yuda, laki yang selalu membuatku tersipu malu. Persiapan pernikahan Kami sudah hampir rampung. Hanya tinggal beberapa yang belum di siapkan. Hari ini, mas Yuda mengajakku mencoba kebaya."Cantik, dan cocok" Ucapnya menatapkuAku tersenyum, menatap pantulan diri dikaca Kebaya abu bernuansa manik dan permata. "Yasudah, ini saja." Ucapku mementukan pilihan.Ha