Mas Aldo datang bersama ibu dan Akmal. Bisa ditebak kan bagaimana wajah ibu suri ketika melihat menantunya ini? Sudah terlipat seperti kumpulan lemak diperut.
"Jangan lama-lama do, ibu ngak betah di sini. Jangan lupa kuwitansi pembayarannya disimpan, nanti kamu bisa ajukan klaim asuransi di kantormu kan?"Ya Allah, sudah sejauh itu rupanya menejemen keuangan negaraku ini. Aku, Mbak Yayuk dan Mbak Nur sudah saling pandang menahan senyum."Yaa bu, sebentar Aldo ke kasir dulu."Mas Aldo sudah keluar dari kamar ini."Sakit begini saja minta kamar bagus. Giliran bayar minta dibayarin, katanya usaha sendiri, punya hasil, bayar sakitnya sendiri saja masih minta-minta!"Aku beristigfar dalam hati. Benar-benar mulut si Akmal ini. Harusnya dia pakai rok saja. Mulutnya sudah macam token listrik habis. Bising dan menganggu!"Mal, ini bukan kamar ya, ini ruang sementara di kasih izin klinik dipakai. buat nunggu masmu yang pulang ngak bilang-bilang." Mbak Nur menjelaskan."Ngapain anakku pulang harus bilang? Kamu aneh deh Nur!" Ibu sudah ikut bicara.Merasa ada yang melindungi, Akmal mendekat dan melihat perban di kakiku."Lagian ngapain juga sih mesti ke klinik segala, ini kaki di obatin juga tetap saja burik mbak!""Iya, seperti mulutmu itu, burik!"Aku menatapnya tajam. Dia nampak mencibir dan duduk disamping ibu. "Apa sih kamu sar. Jangan bentak-bentak Akmal! Lagian benar dia bilang, kesini buang uang. Kalau ke bidan desa paling kasih salep lalu pulang. nggak sampai lima puluh ribu""Kalau mas Aldo ngak narik-narik sampai Supnya tumpah, ngak bakal kita ke sini! Lagian keluar uang kalau buat istri itu kewajiban bu!"Ibu melotot melihat jawabanku. Melirik ke arah mbak Yayuk dan Mbak Nur. Mungkin takut setelah ini bakal ada berita heboh di lingkungan kami."Ngasih ibu juga kewajiban mbak! Aku adiknya juga kewajibannya mas Aldo. Belajar agama dulu baru ceramah." Akmal berkata sambil memainkan kukunya. Ya Allah, jika bisa ingin ku potong kuku cantiknya itu."Mulut adikmu sar. Pengen mbak lem pakai alteko deh rasanya!"Mbak Nur berbisik sambil terus meremas jarinya sendiri. "Nanti saja mbak, kita presto sekalian kalau emaknya ngak ada!"Aku ikut berbisik geram. Aku juga heran dengan Akmal, dulu ibu itu ngidam apa waktu hamil. Sampai keluar anak bertulang lunak dan mulutnya tanpa filter begini."Buk, gerah sekali!"Akmal merengek mengipas tangannya ke wajah. Jari kami saja kalah lentik dengan jemari bocah ini"Nanti dulu, tunggu mas Aldo dulu!"Ibu menjawab tanpa beralih dari layar HP. Akmal sudah terlihat menghentak-hentakan kakinya sebal."Mal, di ujung situ ada kantin, kalau mau jajan yuk mbak Yayuk temani""Akmal kan bukan anak TK mbak Yayuk, masak ditemani jajan. Buk, minta uang.""Kamu dari tadi sudah jajan terus mal, nanti lagi jajannya!""Sekarang bu!"Dengan enggan ibu memberikan uang lima puluh ribu pada Akmal.Lah, aku jadi menahan tawa, mereka seperti ibu dan balita di mataku. Ah sudahlah, biarlah mereka berdrama di kamar ini.Aku lihat Akmal sudah keluar dengan senyum manis dibuat. Buka dan tutup pintu saja sudah seperti bidadari lho. Pelan-pelan sekali.Lumayan lama kami menunggu. Mas Aldo datang dan membawa plastik putih di tangan."Mana kuwitansinya do?"Mas Aldo menyerahkan kembaran kertas pada ibu dan berjalan kearahku."Ini obatnya"Aku menerima bungkus obat itu."Ini ngak salah hitung do, Lima ratus ribu?"Ibu melihat kwitansi di tangannya. Bahkan kini mengambil kacamata di dalam tas."Yaa memang segitu bu. Yang mahal tindakan pertama tadi""Owalah do, uang segitu bisa buat masak seminggu lebih. Ini cuma buat bayarin kaki manja istrimu!"Astagfirullah. Ibu mertuaku ini sudah tidak waras atau bagaimana sih?"Lima ratus saja ibu Ida begitu keberatan. Mas Aldo kan punya gaji sendiri. Kenapa pakai uang ibu Ida?"Mbak Nur pura-pura bertanya pada mereka."Itu uang saya mbak, dititipkan keibu!"Mas Aldo yang tidak mau terlihat tidak bertanggung jawab langsung saja menyanggah ucapan mbak Nur."Lha yaa sudah to, wong uang suami sendiri, buat istri sendiri, apa iya harus sehemat itu! Mas Hasan Sana kasih Aku lima juta sebulan!" Mbak Nur berucap lagi sambil senyum melirikku. Aku yang masih berakting menjadi korban hanya bisa menahan senyum."Yaa bukan gitu Nur. Kita ini harus hemat. Aldo cari uang susah payah, masak dihabiskan untuk macam-macam!""Ini berobat bu, bukan buat belanja macam-macam. Seperti borong baju senam misalnya"Aku berucap dengan wajah polos. Ibu yang sejak tadi begitu santai, seperti terbakar sendiri. Dia melihat Mas Aldo yang nampak tak mendengar kalimatku. Atau mendengar tapi tak paham sindiran itu."Sudah ayo pulang!"Ibu mengalihkan pembicaraan. Dia berdiri dan keluar dari kamarku. Perawat datang membawakan kursi roda. Aku memang sulit bergerak dengan perban ini."Jalan ngak bisa Sar? Pakai kursi begini segala" ibu melihat dari pintu.Aku memperhatikan perawat yang nampak heran dengan ucapan ibu. Mas Aldo sudah membantuku duduk di kursi."Sudahlah bu. Jangan bikin ribut. Ayo pulang!"Ibu nampak kesal dengan jawaban anak lelakinya, memilih berlalu pergi dan berjalan keluar. Mbak Yayuk dan mbak Nur masih berjalan di belakangku. Masih berbisik-bisik dan tertawa sendiri. Duh, aku juga mau ikutan berbisik dengan mereka."Tunggu disini. Mas ambil mobil dulu"Aku menganggukkan kepala. Ibu melipat tangan didekatku. Mbak Yayuk dan mbak Nur berjalan mendekat."Sar, kamu ikut mobil Aldo kan?""Iya mbak, sepertinya begitu" Aku melirik ibu yang tidak memberikan penolakan aku ikut dalam mobilnya."Yaa sudah, kami pulang dulu. Nanti sampai rumah kita langsung kerumah kamu yaa. Oh iya, ini tasmu." Mbak Nur memegang pundakku, memberikan tasku yang sejak tadi dia bawa.Aku menganggukkan kepala."Terimakasih yaa mbak""Sama-sama. Bu Ida, kami duluan ya""Iya mbak, terimakasih yaa"Ibuku menjawab bagai wanita sholeha yang berhati peri. Aku hanya tersenyum sendiri melihat wanita pandai berakting ini."Bahagia ya kamu, sudah menghabiskan banyak uangku!""Uang mas Aldo!" Aku mempertegas kalimatku."Aldo itu anakku. Uangnya ya uangku. Dia bisa sukses juga karena aku, ibunya!""Ibu lupa ya, mas Aldo itu suamiku. Wajib hukumnya menafkahi istri!""Halah, apa kamu kurang makan? Jadi gelandangan?""Memangnya nafkah itu cuma diperut? Bapak mas Aldo dulu juga begitukah bu? Uangnya di kasihkan ibunya semua?""Yoo beda. Aku spesial. Makanya semua dikasih keaku. Hah, sudah ngak usah bawa-bawa orang sudah meninggal!"Ibu nampak keceplosan dengan ucapannya sendiri. Memilih berlalu pergi saat mobil mas Aldo sudah datang. Ibu langsung duduk didepan. Mas Aldi membantuku masuk kedalam kursi belakang.Mobil kami melaju meninggalkan Klinik. Mungkin setelah ini aku akan meminta seseorang bantu dirumah dulu. Aku mau istirahat total, merawat kakiku yang Akmal bilang burik.Akmal? "Mas, Akmal mana?"Ciitt..Mobil mendadak berhenti. Hampir saja aku tersungkur. Ibu malah sudah tersungkur kedasbor."Buk, Akmal dimana?"***Pov AkmalDari pada mendengar sindiran tiga serangkai yang memang tak suka denganku itu. Lebih baik memang aku makan sajam semangkok bakso pedas sudah pindah kedalam lambung.Hatiku gembira, kenyang dan berkeringat karena makan pedas. Dan segelas es coklat merubah moodku jadi hip-hip hura begini."Lho, kok sepi!"Aku terkejut melihat kamar mbak Sari sudah kosong. Ini benar kamarnta bukan? Kulihat lagi kedepan. Betul, ini kamar mbak Sari.Duh bagaimana ini. Ibu, Akmal takut. Oh aku tanya perawat saja. Berlari aku keruang perawat."Sus, mau tanya"Perawat yang sedang sibuk melihat layar komputer itu menatapku."Iya, ada yang bisa dibantu?""Mbak Sari itu pindah kemana ya?""Sari siapa?"Lah dia balik nanya. Masak ngak tau pasiennya sendiri."Sari yang kena luka dikaki""Oh? Sudah pulang"Apa? Pulang! Aduh gusti. Ibu bagaimana sih, masak anak sendiri ditinggal diklinik. Mas Aldo juga, apa dia lupa punya adik disini? Bagaimana sih orang-orang itu. Aku disuruh jajan, malah ditinggal. Ini pasti kerjaan mbak Sari dan geng nya ini!Kami memutar mobil kembali ke klinik, padahal perjalanan sudah lumayan jauh. Saat sampai, akmal sudah mondar mandir di depan jalan."Mal! Akmal!"Ibu membuka kaca jendela, anak itu langsung berlari menghampiri mobil kami. Sudah mirip kucing ketemu induknya. Aku tak bisa menahan tawaku."Heh malah tertawa, nggak sopan! Lihat itu adekmu do, sampai takut begitu, Sari malah tertawa" Ibu membelakakkan matanya. Aku hanya menutup mulut sebentar.Akmal masuk, duduk di sebelahku dengan wajah sembab."Ibu jahat sekali, aku takut bu. Ditinggal sendiri di Klinik, mana sudah mulai sepi lagi""Kamu nangis?"Sepontan aku tertawa semakin kencang melihat wajah anak itu bersemu merah. Anak cowok, sudah besar, badanya juga ngak kecil-kecil amat. Ditinggal sebentar saja nangis."Apa kamu mbak, pasti ini ulahmu kan? Minta aku jajan terus kamu tinggal!" Dia berkacak pinggan melihatku. Lah, dia jajan sendiri kok aku yang di salahkan. Salahkan induk semangmu itu. Kenapa meninggalkan titisannya di Klinik!"L
Aku duduk di tepian ranjang. Melihat mbak Yayuk yang menempelkan telingannya di daun pintu."Ngak denger apa-apa Sar" Ucapnya pelan sembari mengerak-gerakkan tangannya. Aku hanya tersenyum."Aku pulang dulu saja ya sar. Besok aku kesini deh. Eh lupa, ini ada kue dan susu UHT, siapa tau kamu lapar malam-malam kan"Aku memganggukkan kepala. Mungkin memang baiknya mbak Yayuk segera pulang. Aku juga ngantuk sekali. "Makasih ya mbak kuenya" Aku letakkan kue itu diatas meja."Sama-sama. Eh, lewat samping bisak kan ya? Ngak enak aku lewat depan rumah""Bisa mbak, ngak dikunci juga gerbangnya. Makasih yaa mbak.""Udah ah, makasih terus. Kamu tapi ngak apa-apa ditinggal sendiri?"Aku menganggukkan kepala lagi."Mbak Yayuk, bisa carikan aku orang buat beres-beres dan masak enggak? Sama urus aku kalau lagi ngak ada mas Aldo?"Mbak Yayuk nampak berfikir sebentar. Rapi sepertinta belum menemukan yang cocok."Nanti deh mbak fikirkan siapa. Siti emang ngak bisa?""Ngak bisa mbak, aku saja masih kur
"Memangnya aku ini pembantu apa, pagi buta suruh ke sini. Ngapain!""Yasudah kalau begitu, ibu ngak usah protes kalau aku panggil orang buat kerja di sini!""Sudah berani menjawab terus ya kalau dibilangin, dasar mantu mandul, mantu durhaka kamu sama mertua!"Ya Allah bu, mengapa sumpah serepah kepadaku, seolah seperti makanan ringan di mulutmu. Apa tak ada kata baik yang bisa terlontar dari mulut ibu mertuaku?Ibu menunjuk-nunjuk aku tepat di depan wajah. Wajahnya merah padam saat menatapku. Siti nampak ketakutan melihat ibu, bagaimana tak takut, dada ibu saja sampai terlihat naik turun karena marahnya sendiri."Murni, kamu pulang saja sana. Nih upahmu kerja. Sudah ngak usah datang lagi!"Ibu menatap Bulek Murni. Melempar uang sepuluh ribu ke arah bulek Murni. Bulek Murni yang sedang membersihkan meja makan terdiam memandang uang yang jatuh ke lantai. Keterlauan ibu ini!"Ibu kenapa minta Bulek Murni pulang. Dia kerja di rumahku, jadi ibu ngak ada hak untuk memintanya pergi!"Jika me
Hari ini bulek Murni datang lebih pagi, aku minta dia memasakkan sarapan kami sekalian dari rumahnya. Sebab bulek meminta datang agak siang setelah selesai membersihkan rumahnya sendiri.Saat Bulek sudah datang, Ibu sudah menunggu di luar pagar untuk menahannya. Sebenarnya, Bulek Murni hanya datang untuk mengantarkan sarapan. Lalu akan pulang dan kembali lagi pukul sepuluh nanti.Aku yang sudah duduk di ruang tamu sejak subuh menyaksikan pemandangan itu. Ibu berkacak pinggang melihat kearah bulik Murni."Masuk bulek!"Aku berteriak dari dalam. Bulek hendak masuk, namun ibu masih berdiri di depan pagar. Tak juga beranjak dari tempatnya."Mbak Sari, nggak boleh masuk bu Ida""Lapor sana, memangnya aku takut apa. Kamu ke sini antar-antar makan. Pasti berharap dibayar kan?" Aku mendengar ucapan ibu dari dalam. Padahal masih setengah tujuh pagi. Tapi suara ibu sudah seperti toa pengumuman.Aku mendengus kesal, aku rasa ibu mertuaku itu butuh liburan jauh. Kalau perlu tak usah kembali. Isi
Kamu benar akan pergi?"Entah sudah keberapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulut mas Aldo. Dan aku masih tetap diam tak merespon."Budek istrimu itu do! Biar saja pergi, nanti ibu carikan istri lagi. Yang lebih pinter, baik, nurut, nggak mandul."Aku memanas mendengar ucapan ibu. Aku bahkan belum melangkahkan kaki dari rumah ini. Dia sudah berbicara tentang mencaru menantu baru."Yaa, carilah bu. Jika ada perempuan sebodoh aku. Bertahan dengan kekuarga tak normal, lima tahun lamanya!""Apa maksud ucapanmu Sari?"Mas Aldo menarik tanganku kasar. Aku menghempaskannya dengan kencang. Perih. Kurasakan kukunya sempat menancap pada kulitku."Yaa memang bengitu kan? Selama ini aku sabar, diam, bahkan menggalah saat ibu dan adik tulang lunakmu itu menghinaku habis. Tapi lama-lama, orang waras juga bisa ikut gila berada disini?""Maksudmu kami semua gila?"Mas Aldo menatapku lebih tajam. Aku juga menamenatapnya kalah tajam."Kalian semua sakit!""Kurang ajar memang mulutmu itu Sari! Suda
Tiba di rumah ibu, Kania adik sepupuku sudah berdiri di pintu. Arya sudah memberi kabar tadi ketika kami masih di jalan. Kania membantuku turun dan masuk ke dalam rumah.Beberapa tetangga mengintip dari halaman mereka, pasti akan jadi bahan gibah yang menyenangkan setelah ini, ditambah bumbu karangan sendiri yang sedap untuk di sebarkan."Kakimu kenapa Sari?"Ibu berjalan mendekat saat melihatku dipapah masuk ke dalam rumah."Sakit bu, kesiram air panas. Tapi sudah mendingan kok bu.""Kok di antar Arya? Mana suamimu?""Budhe duduk dulu. Nanti baru kita bicarakan."Arya mencoba memberikan pengertian pada ibu."Iyo, budhe tak lungguh nang. Cobo Sari, ibu mau dengar kenapa sama kamu?""Sari ngak apa-apa bu, di sana Sari ngak ada yang ngerawat makanya sari pulang. Sari boleh tinggal di sini sementara bu?""Ya boleh, ini kan rumahmu. Tapi Aldo?""Mas Aldo tidak bisa antar, makanya Sari minta tolong Arya"Ibu hanya menganggukkan kepala, lalu melihat ke arah kakiku lagi."Ini ngak apa-apa?"
Berulang kali ibu mertuaku telphone tapi tak aku perdulikan. Biar saja, aku tau dia akan marah karena semua barang daganganku di ambil polisi, anak buah Arya. Membayangkan wajah ibu yang pasti masam seperti limau, lucu sekali. "Kamu ngak makan dulu Ar?"Ibu memanggil Arya saat dia beranjak dari sofa. "Nggak usah bude, Arya mau kembali ke kantor saja, yang penting mbak Sari sudah sampai disini. Nanti kalau libur, Arya kesini dengan Dinda" "Lah iya, ajak Dinda kemari. Mbak lama sekali ngak ketemu istrimu itu. Beberapa bulan cuma video call saja" "Gampang, nanti kalau longgar biar dia kesini sendiri. Kalian kalau sudah ketemu, pasti lupa pagi atau malam!"Aku cekikikan mendengar jawaban Arya " Ya, mau bagaimana Ar, namanya juga perempuan, banyak sabar saja."Aku memang dekat dengan Dinda, istri Arya. Dia baik dan sangat sopan. Siapapun pasti akan menyukainya, dia salah satu yang membantuku membesarkan bisnis onlineku.Dinda sering mempromosikan jualanku pada ibu-ibu Bhayang
Hari ini, secara mengejutkan mbak Yayuk datang bersama mbak Nur dan Siti. Begitu hebohnya mereka saat melihtku, untungnya ibu sudah berangkat rewang sejak pagi tadi.Hajatan tempat bu Ifah memang masih besok, tapi ibu sudah ditunjuk jadi koki utama, jadi harus datang lebih pagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya besok. Ibu memang sudah biasa mengurusi masak untuk hajatan besar. "Kamu tau ngak, aku memvideo full ibumu yang berakting kemarin dan dia berhenti menangis saat semua barang di masukkan ke dalam rumahku. Nih lihat!". Aku memegang ponsel mbak Yayuk. Ibu menangis, meronta dan meraung didalam rumah lalu berhenti saat semua barang itu masuk ke dalam rumah mbak Yayuk. Akmal bahkan lebih sibuk membuat status di banding menenangkan ibunya yang kesurupan. Sungguh, ibu yang berakting, aku yang malu sendiri. "Akmal bikin status lagi nih"Mbak Nur memberikan ponselnya padaku, aku melihat ponsel mbak Nur. Ada kiriman screenshot dari adik iparnya, aku baru ingat, adik ipar mbak