Katakan bu besan, apa begitu caramu memperlakukan menantu?"Ibu mas Aldo terdiam. Antara terkejut dan binggung. Ibuku termasuk perempuan manut. Tidak pernah sekalipun ibu bicara lantang. Tapi ini?"Perlakuan apa bu, yang ada anakmu yang merampas rumah Aldo. Aku kesini untuk memberi tahukan kelakuanya, tapi mengapa justru dibela ibunya sendiri!" Ibu mertuaku mencibir tak suka."Sejak kapan rumah itu milik Aldo? Sejak kapan rumah bersama itu jadi milik Aldo?""Ya sejak di bangun. Saya keluar uang juga untuk rumah itu." Ibu mertua kekeh membenarkan pendapatnya."Dikira kami tidak keluar uang. Tanahnya saja ibu besan minta dibayar juga. Lupa?" Ibu kembali berkata dengan ketus.Tentu kami tak akan lupa, Ibu mas Aldo meminta kami membayar juga tanah yang sekarang dibanguni rumah itu. "Kita bertemu di pengadilan saja bu, jika ibu merasa rumah itu milik ibu sendiri, silahkan ibu berjuang di pengadilan!" Akhirnya aku bicara. Panas rasanya kuping ini mendengar ucapan ibu mas Aldo."Sombongmu S
Oh, aku baru ingat. Mbak Yayuk punya adik lelaki yang tugas di jawa barat. Dia juga seorang tentara seperti suami mbak Yayuk."Yuda, adiknya mbak Yayuk" Dia mengulurkan tangan ramah."Sari" Aku menjabat tangannya."Pulang kerumah dulu ya sar. Antar yuda dulu""Iya mbak, tapi kalau mbak Yayuk repot, Sari bisa pergi sendiri mbak"" Dirumah mbak Yayuk dulu saja Sar, Mereka bilang pagi ini ada banyak sidang. Jadi selesai siang" Mbak Nur tiba-tiba memberi kabar.Karena sudah terlanjur disini, aku putuskan menunggu saja mereka dirumah mbak Yayuk. Sekalian melihat Siti. Selama ini dia kerja dari rumah mbak Yayuk. Karena aku belum bisa membawa dagangan pulang. Mungkin nanti aku akan beritau Siti, aku tak bisa mempekerjakannya lagi."Sar, kok melamun" mbak Nur membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum kikuk. "Oh gak mbak, lupa ini ada sayuran dari kebun ibu sendiri" Kuberikan seplastik besar sayuran pada mbak Yayuk dan Mbak Nur lalu memilih masuk kedalam mobil. Sebentar kemudian, mbak Nur duduk di
anusia hanya dapat berencana, selebihnya Allah lah pemilik Hak atas hidup kita. Bu Muslimah, setelah melalui malam panjang dengan perjuangan, akhirnya menghembuskan nafas subuh tadi. Aku masih menenangkan Siti. Gadis itu menangis tak juga berhenti. Aku tau rasanya kehilangan orang tua. Saat Bapak pergi, aku juga patah hati. Aisyah selalu didekapan kakaknya, dia tak mau ditinggal kemanapun. Terkadang gadis kecil itu masih mencari Uminya. Berat pasti. Kehilangan sosok wanita, satu-satunya yang mereka miliki. Abbi Siti pergi entah kemana, sejak Aisyah berusia dua tahun. Sejak itu, bu Muslimah berjuanh sendiri untuk membesarkan anak-anak mereka.Sejak kemarin aku tak pulang. Tak tega meninggalkan Siti sendirian. Aku sudab menghubungi ibu. Ibu mengizinkan aku disini lebih lama. Siti masih menangis. Bahkan saat jenazah sudah dikebumikan.Para tetangga mulai pulang. Rumah ini terasa semakin kosong. Hanya beberapa yang masih disini. Merapikan rumah dan menyiapkan untuk kirim do'a nanti mala
Aku mulai mencari keseluruh rumah. Namun tak kutemukan apapun selain uang dalam mesin cuci itu. Akhirnya kuputuskan berhenti. Lelah mencari sendiri dirumah yang lumayan luas untukku.Kurebahkan tubuh di lantai ruang tengah. Angin semilir memasuki pintu samping dan dinginnya lantai membuatku merasa sedikit ngantuk. Saat mata terpejam sebentar, aku teringat titipan mbak Yayuk dan mbak Nur."Astagfirullah!" Aku berdiri dan merapikan kembali bajuku.Bug.., bug...Aku terdiam. Kenapa lantai pijakanku bergoyang. Kucoba injak lagi.Bung.., bung...Ada rongga dibawah lantai ini. Kucoba angkat dengan tangan. Tak bisa, aku butuh sesuatu yang lebih kecil dan kuat. Aku berfikir sejenak. Aku teringat sesuatu. Aku ambil penggaris di tempat kerja mas Aldo. Penggaris besi tipis aku ambil.Kucoba mencungkilnya dengan alat tulis itu dan ubin itu terangkat. Ada tempat kecil dibawahnya dengan kendi tanah juga. Kubuka bungkus itu, mataku kembali membulat sempurnah. Uang dengan bungkus plastik didalam ke
Kuputuskan menemani Siti satu malam lagi. Meninggalkan mereka sendiri dirumahnya, sungguh aku tak tega. Setelah ini, mereka pasti kesepian. Aisyah bahkan tak berhenti memelukku semalaman. Dia masih mengigau memanggil Uminya.Saat kami bangun, aku memasakkan makanan untuk mereka. Nasi goreng dengam telur dadar. Aisyah memakan dengan lahapnya."Makasih mbak Sari, Siti gak tau bagaimana membalas mbak Sari.""Belajar yang rajin. Sayang sama adekmu. Itu sudah cukup membuat mbak bahagia." Ucapku mengusap kepalanya. Siti tersenyum menatapku."Hari ini mbak harus pulang Sit. Kamu jaga adekmu baik-baik. Mbak akan sering kesini juga ya."Dia menganggukan kepalanya. "Mbak, apa hari ini Siti boleh kerja?"Aku mengerutkan alis. "Kerja? Kamu sudah mau kerja?""Siti takut sendiri dirumah mbak. Jika boleh Siti mau kerja lagi. Banyak paket yang harusnya dikirim kemarin tapi ditunda""Kamu yakin?"Dia mengangguk lagi. "Iya mbak. Siti harus kerja juga untuk Aisyah. Uang peninggalan ibu dan pemberian war
"Terimakasih mas Yuda, sudah membantu Aisyah" Ucapku saat dia duduk di teras. Menemani Aisyah bermain."Aku yang lalai mbak, maaf. Mbak Yayuk memintaku menjaga Aisyah, tapi aku tertidur di sofa setelah minum obat flu." Dia terlihat tak berhenti menatap wajah Aisyah. "Jika saja anakku masih, mungkin usianya seperti Aisyah.""Anak mas?""Iya, Saya sudah menikah mbak. Tapi kami berpisah tiga tahun lalu. Istri saya tak terima, saat anak sakit, saya tak bisa dihubungi hingga beberapa hari. Bahkan saat anak saya meninggal saya masih tidak bisa pulang.""Tapi saya perajurit, saya harus tetap siap kemanapun dan kapanpun ditugaskan. Saya sudah bersumpah saat dilantik."Aku hanya terdiam. Sekarang aku tau, mengapa mas Yuda begitu marah melihat Aisyah disakiti."Saya ikut berduka mas, saya yakin, anak mas bangga dengan Bapaknya. Dia sedang berjuang untuk negara""Sayangnya mantan istri saya tidak berfikir demikian. Kehilangan Azka, membuat dia memilih meninggalkan saya" Terdengar helaan nafas be
Pagi ini aku bersama Kania mengantarkan sayuran dan jajanan kue kepasar. Sejak Bapak meninggal, ibu membuat kue setiap pagi. Di titipkan kepasar dan sorenya diambil lagi bila masih ada sisa. Karena ada hasil kebun juga, kami sekalian menjualnya dipasar. Biasanya Kania yang melakukan tugas ini. Tapi karena aku dirumah, aku membantunya mengantar kue.Hari masih sedikit gelap saar kami sampai. Aku parkir mobil di depan pasar. Kania mengantarkan kue ibu dan aku menawarkan sayur pada beberapa pedagang.Tak sulit menawarkan sayuran. Banyak pedagang yang mau menerimanya disini. Aku kembali ke parkiran tapi Kania belum datang. Aku duduk di atas motor.Mobil putih terparkir tepat di sampingku. Seorang wanita dengan daster panjang keluar. Dia tersenyum padaku dan berjalan masuk kedalam pasar.Ramah sekali ibu itu."Lho mbak. Kok disini?" Seorang lelaki menyapaku. Aku mengingat siapa lelaki ini, tapi tak juga ingat."Saya, yang semalam dirumah bu Lurah.""Oh, iya mas, iya. Saya ingat. Mas sedang
Beberapa minggu setelah kuterima warisan pakde. Aku mulai menata hidup. Keponakan bude Sukma menerima tawaranku. Dua minggu lalu mereka sudah berangkat ke tempat masing-masing. Aku bersyukur begitu banyak yang mau membantuku sekarang.Aku sudah membeli rumah baru untuk ibu. Dekat dengan daerah rumah lamaku dan mas Aldo. Karena aku akan buka toko juga disana. Kania mau pindah kesekolah baru juga. Mungkin dua minggu kedepan, kami akan pindah.Hari ini pertama kalinya aku bawa mobik kerumah mbak Yayuk. Sebenarnya dulu aku bisa menyetir. Mas Aldo sering juga memintaku membawa mobil Bapak. Tapi semenjak Bapak mertuaku meninggal, aku tak boleh lagi membawa bahka menyentuh mobil itu.Kania ikut bersamaku. Dia sedang libur sekolah. Hari ini aku akan membeli banyak barang, untuk melengkapi tokoku yang akan buka beberapa hari lagi."Kan, sudah siap?" Aku memanggil Kania dikamar. Anak perawan, kalau dandan lamanya minta ampun!"Sudah mbak. Bagus tidak?" Gadis itu keluar kamar. Memakai gamis bar