Share

Memikat Hati Tetangga
Memikat Hati Tetangga
Penulis: Ara Angin

Bab 1. Pandangan Pertama

Pandangan Pertama Begitu Menggoda

“Dasar menantu tidak berguna! Menyusahkan saja!” kata seorang wanita tua dari dalam sebuah rumah besar dengan banyak bunga di halamannya. Teriakan itu dibarengi kegaduhan lain yang memekakkan telinga, seperti suara dari beberapa barang yang dibanting dan dilempar, sampai ke teras samping di mana dapur berada.

“Kapan kamu pernah benar bekerja, Wida? Goreng kerupuk saja gosong!” kata orang itu lagi.

“Ibu, tidak usah teriak-teriak, malu didengar tetangga, saya tahu saya salah tapi, tidak semua makanan yang saya masak gosong, kan?” kata seorang wanita lainnya yang terlihat lebih muda.

Ia bernama Widati Ainun yang biasa dipanggil Wida, wanita itu sedang diomeli oleh Warsi—ibu mertuanya, karena kesalahan kecil saja. Walaupun demikian, ia tetap sabar karena menghormati ibu mertua sama saja menghargai suaminya.

Wida berjalan untuk mengambil barang yang di lempar ke luar oleh Warsi. Wajahnya tanpa ekspresi dan pucat, sesekali ia menghela napas dalam dan terlihat sabar dalam menjalani semua yang terjadi.

“Biar saja tetangga tahu, menantu macam apa kamu!” kata Warsi dengan suara menggelegar. Wanita itu sudah berdiri di ambang pintu.

“Memangnya, saya ini perempuan macam apa menurut Ibu? Saya ini sudah nurut, tidak pernah protes walau Mas Wasis memberikan semua uang gajinya sama Ibu!”

“Eh! Dengar, Wida! Semua kebutuhan kamu ini sudah dicukupi, mau protes kayak apa lagi? Hah!”

Wida tidak menyahut lagi, sedangkan Warsi menutup pintunya dengan keras, menunjukkan seberapa besar kemarahannya pada sang menantu yang dianggap tak berguna itu.

“Astagfirullah!” ucap Wida berulang kali sambil mengusap dadanya.

Wida berjongkok, menutupi muka dengan kedua telapak tangan sambil menangis. Ia sedih karena wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu, tega berbuat demikian padanya. Perabot dapur yang sudah dibereskan, ia biarkan tergeletak begitu saja. Sebenarnya sudah biasa Warsi berkata kasar, tetapi kondisi hormonal dari kehamilan membuat perasaan wanita itu jauh lebih sensitif dari biasanya.

Ia merasa pusing saat memasak dan tidak sengaja membuat sebagian kerupuk ketan kesukaan Warsi yang sedang digorengnya gosong. Wajar kalau ibu mertuanya pun marah.

Bukan kali ini saja Warsi membentak dan berkata kasar pada sang menantu hanya karena masalah sepele. Namun, selama itu pula Wida selalu bersabar menghadapinya dan hanya menumpahkan kesedihan dengan membuangnya melalui air mata.

Sudah dua hari ini Wida merasa tidak enak badan dan sering mual di pagi hari, karena curiga, ia melakukan tes kehamilan dan hasilnya pun positif. Ia belum mengatakan tentang kehamilan keduanya itu pada Warsi, karena yang berhak tahu untuk pertama kali adalah sang suami, Wasis Sasongko.

Wida berniat untuk memberikan kejutan pada Wasis, saat sudah ada di rumah nanti. Sekarang, suaminya sedang bekerja di luar kota dan melalui pesannya semalam, ia akan pulang secepatnya kalau tugas sudah selesai. Dalam satu bulan, bisa dua sampai tiga kali, kepala rumah tangganya itu bekerja di luar kota sesuai perintah bosnya.

Sikap Warsi pada Wida, tetap sama, baik Wasis ada di rumah atau tidak. Ia tetap memperlakukan menantunya itu, dengan kasar dan selalu tidak puas pada apa pun yang dikerjakannya.

“Ekhem, ekhem!” tiba-tiba terdengar sebuah suara seorang pria dari arah rumah tetangga sebelah, membuat Wida menoleh dengan cepat bahkan, tidak sempat menghapus air mata.

Wida sangat terkejut ketika melihat seorang pria berdiri di sisi tembok pembatas antara rumah tetangga. Ia tidak menyangka kalau sekarang sudah ada seseorang yang menjadi penghuni baru, dan orang itu adalah pria yang sekarang sedang menatapnya.

Sudah lama rumah tetangganya kosong karena akan dijual. Namun, sejak sebulan yang lalu Wida tidak melihat lagi tulisan ‘Rumah Ini Dijual’ menempel di sana. Baru beberapa hari rumah itu terlihat dibersihkan, diperbaiki dan dindingnya dicat.

Wajar kalau tidak ada yang tahu bahwa, sudah ada penghuni baru di rumah sebelah sebab pria seumuran orang itu biasanya malas bersosialisasi dengan masyarakat.

Bagaimana Wida tidak heran, karena selama ini hampir tidak ada tanda apa pun yang menunjukkan jika rumah itu sudah ada pemiliknya.

Oleh karena itu, sekedar untuk meyakinkan diri jika yang dilihatnya itu benar-benar manusia, Wida pun menghapus air mata dan membalas tatapan pria yang masih terpaku di tempatnya.

Pria itu berambut coklat tebal, tampak wajahnya begitu menawan walaupun penampilannya acak-acakan, karena ia baru saja bangun dari tidur. Kulitnya kuning Langsat dan pahatan wajah dari mulai hidung, mata,. Bibirnya dan dagu semua menjadi satu kesatuan yang sempurna.

Wida pun berdiri, “Bapak yang tinggal di sini?” tanyanya, sambil mengusap hidung dengan punggung tangan.

“Iya, kenapa memangnya?” Pria itu balik bertanya, ia adalah Wastra Adipura yang berdiri sambil berkacak pinggang dan menatap lawan bicaranya dengan intens. Sebagian tubuh kekarnya tertutup oleh dinding pembatas setinggi dada orang dewasa.

Wastra artinya adalah laut, ia sengaja membeli rumah itu karena menyukai lokasi, view dan suasana daerah yang baginya sangat menenangkan. Alasan lainnya adalah, membantu temannya yang membutuhkan uang untuk membayar utang, dengan membeli satu-satunya peninggalan orang tuanya.

Ia akan menggunakan rumah itu sebagai investasi dan juga tempat transit selama mengerjakan proyek, mencari ketenangan dan sebagainya.

Wida menggelengkan kepala, sambil memalingkan pandangan dari tatapan Wastra yang cukup aneh, kemudian ia menunduk.

“Tidak, tidak apa-apa ...,” kata Wida.

“Kalau nangis jangan di situ, gak malu apa?” kata pria itu lagi.

Wastra baru saja tiba di rumah batunya itu dan langsung membereskan pakaian di lemari. Setelah selesai, ia berniat untuk segera istirahat karena perjalanan selama sekian jam dengan pesawat udara itu sangat melelahkan. Namun, belum sempat memejamkan mata, ia mendengar kegaduhan dari tetangga yang membuatnya kesal, lalu ke luar untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan tetangganya.

“Biasanya juga tidak ada orang di sini,” batin Wida, ia merasakan pipinya hangat, karena malu dan mengakui kalau kejadian tadi memang mengganggu.

“Maaf, maafkan saya, Pak!” kata Wida sambil membungkukkan badannya, guna menghindari tatapan Wastra.

“Kamu kenapa? Kena marah Ibumu? Berisik, tahu!”

“Maaf sekali lagi, Pak! Tapi, dia mertua bukan Ibu kandung saya!”

Wastra menarik salah satu sudut bibir sambil memalingkan muka, menyembunyikan raut wajah kecewa. Ia mengabaikan alasan Wida yang memberikan penjelasan mengapa bergaduh di teras samping rumahnya.

Begitu berada di luar tadi, Wastra terkejut melihat ada seorang wanita menangis sambil berjongkok, dan ia lebih terkejut lagi saat melihat gadis itu mengangkat kepala, hingga mereka saling bertatapan satu sama lain selama beberapa detik. Ia begitu terpukau pada wajah perempuan yang bersimbah air mata di hadapannya.

Wanita itu sangat menarik di matanya, berwajah tirus dan tatapan mata lentiknya lembut, seolah danau yang dalam serta siap menenggelamkan siapa pun yang lebih lama menatapnya. Ia memiliki postur tubuh ideal dan berkulit putih dibalik pakaian yang menutupi auratnya.

“Kau? Kau masih hidup?” tanya Wastra dengan gugup dalam keterpanaan.

Wida mengerutkan kening karena tidak mengerti apa yang dikatakan Wastra. Jelas saja dirinya masih hidup.

Wajah Wida mengingatkan Wastra, pada seseorang dalam peristiwa mengerikan yang pernah menimpanya. Sudah tujuh tahun lebih Wastra mencari keberadaan wanita itu di mana pun, tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, baik keluarga dan dirinya sendiri dengan berat hati menganggap orang yang dicari sudah tidak ada lagi.

Namun, sekarang ia melihat wanita yang sedang menangis itu sangat mirip dengan orang yang dicarinya dahulu, dan tidak ingin dilupakan lagi.

“Apa maksud Bapak, saya memang masih hidup!” sahut Wida kesal karena dianggap sebagai orang mati.

“Ah! Sudahlah!” kata Wastra. Sesaat kemudian, ia mencoba untuk menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak tak beraturan.

“Apa bedanya? Mau ibu mertua atau ibu kandung itu sama saja!” kata pria itu lagi, sambil memutar badan dan menghilang di balik pintu yang tertutup secara perlahan.

“Benarkah itu dia? Dan dia sudah punya suami?” gumam Wastra pada dirinya sendiri, sambil menutup pintu rapat-rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status