Share

CHAPTER 5: PERTEMUAN NATHAN DAN KLARA

Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai.

Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya.

[Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.]

Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya.

Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya.

.

.

.

Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya.

Kenapa dia begitu gugup?

Rileks Nathan, tenangkan dirimu. Ini hanya pertemuan biasa, tidak berarti apa-apa.

Kata-kata itulah yang terus dirapalkan oleh pria bersurai coklat tersebut.

Setelah dirasa debaran jantungnya sudah cukup normal, Nathan kembali melangkahkan kakinya ke kafe dengan raut wajah senetral mungkin.

Sesaat dia memasuki kafe tersebut, iris matanya langsung tertuju pada sosok Klara. Seketika muncul binar bahagia di kedua irisnya saat tahu kalau mata mereka saling bertemu satu sama lain.

Dari posisinya saat ini, Nathan bisa melihat dengan jelas senyum yang terukir di wajah Klara.

Tanpa dia sadari pula, senyum yang sama juga telah terukir di wajahnya, sesaat menemukan sosok sang wanita.

“Hei,” sapa Nathan sesaat sebelum duduk. Sorot matanya sibuk mengamati wajah sang wanita yang duduk di hadapannya.

Tak ada yang berubah dari penampilannya, hanya saja kini garis wajahnya terlihat lebih dewasa dan terlihat lebih cantik. Tapi, juga terlihat lelah. Itu pikir Nathan setelah melihatnya pertama kali setelah sekian lama tak berjumpa.

Entah kenapa, saat melihat wajah letih Klara, timbul sebuah dorongan kuat dalam diri Nathan untuk memeluknya erat saat itu juga. Tapi, tentu saja dia tidak bisa melakukannya, terlebih di tempat umum seperti ini.

“Hei,” balas Klara dengan senyum masih melekat di wajahnya.

Sama seperti tadi, jantungnya kembali berdegup dengan cepat ketika mendengar suara dari sang wanita. Dia amati sekilas warna suaranya tetap terdengar sama merdunya seperti dulu.

Eh? Apa yang baru saja dia pikirkan?

Tak mau larut dalam pikirannya lagi, pria bersurai coklat itu buru-buru membuka topik pembicaraan.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Klara?” tanyanya dengan nada senetral mungkin.

Berdeham sejenak, wanita bersurai biru navy itu menjawab, “Begini ... aku rasa kamu sudah dengar dari ayahmu kalau beliau ditawari oleh bosku untuk sebuah wawancara eksklusif, kan?”

Nathan hanya mengangguk dengan raut wajah serius lalu mempersilakan wanita itu untuk melanjutkan.

Menghela napas pelan, Klara melanjutkan, “Dan aku dengar kalau ayahmu menolak tawaran wawancaranya.”

Sekali lagi, Nathan menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Aku tahu kalau ini bukan hakku dan seharusnya aku tidak memberitahumu soal ini. Tapi, sepertinya kali ini bosku berencana untuk meminta tolong padamu untuk membujuk ayahmu supaya menerima tawaran wawancaranya,” sambung Klara.

Nathan sontak membelakakan kedua matanya, tak percaya.

“Hah?”

Mengangguk cepat, Klara kembali berkata, “Bosku orang yang bisa dibilang gigih juga cenderung nekat, jadi aku harap kamu harus hati-hati. Bosku bisa melakukan apa pun untuk menggapai tujuan—”

“Permisi, sepertinya saya mendengar kalian berdua sedang asyik membicarakan saya.”

Deg deg!

Nathan dan Klara sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka kaget bukan main saat mengetahui sosok yang baru saja memotong pembicaraan mereka.

Alfred Wales. Sosok yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka kini berdiri dengan senyum penuh arti terhias di wajahnya. Lengkap dengan setelan jas hitam dipadu dengan kemeja coklat.

Kemunculan produser itu yang secara tiba-tiba membuat Nathan melempar tatapan penuh emosi serta tanda tanya pada Klara.

'Apa maksudnya ini?' Kata-kata itulah yang seolah terpancar di sorot matanya.

Apa Klara sengaja menjebaknya agar dapat dipertemukan dengan sang produser?

Seketika amarah memenuhi dirinya, namun Nathan masih memberi wanita itu kesempatan untuk menjelaskannya.

“Apa maksudnya ini, Klara?”

Wanita bersurai biru navy itu hanya bisa menggeleng dengan cepat. Ia terlalu kaget sampai suaranya seperti tercekat di tenggorokannya, begitu sulit untuk dikeluarkan.

Lagi seperti tadi, Klara hanya bisa menggeleng dengan mata membulat sempurna seolah mengisyaratkan kalau dirinya sama sekali tidak tahu menahu soal kehadiran bosnya itu.

“Kamu benar-benar tidak tahu?” tanya Nathan untuk memastikannya sekali lagi.

Klara menjawabnya dengan anggukan kepala.

Sementara sang produser yang tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut langsung memotong pembicaraan mereka berdua.

“Ehem, maaf sebelumnya. Tapi, ada beberapa hal yang ingin saya jelaskan pada Anda selaku putra dari Jonathan Hamilton.”

Usai berkata demikian, produser tersebut mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku jas hitamnya.

Nathan mengabaikan tawarannya dengan menegaskan, “Maaf, Pak. Tapi, saya rasa penolakan yang ayah saya katakan pada Anda saat itu sudah cukup jelas bagi Anda, bukan?” Sembari bangkit dari kursi, pria bersurai coklat itu melanjutkan, “Dan hal itu tidak akan pernah berubah. Selamat malam.”

Setelah itu, Nathan beranjak pergi dari sana tanpa menoleh sedikit pun pada Klara. Namun, wanita tersebut bisa melihat ekspresi dingin yang ditujukan oleh pria itu pada bosnya.

Tampaknya Nathan marah padanya.

Usai Nathan pergi dari kafe tersebut, Klara langsung berdiri dari tempat duduknya dan menegur bosnya dengan keras.

“Maaf, Mr. Wales. Anda memang bos saya dan saya menghormati Anda sebagai atasan saya. Tapi, saya juga berhak mendapatkan hak atas privasi saya, bukan?” Menarik napas dalam-dalam, wanita itu melanjutkan, “Bila orang tersebut keberatan untuk melakukan wawancara dengan Anda, bukankah itu artinya Anda harus menghargai keputusan orang tersebut? Jangan melewati batas.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Klara langsung bergegas pergi dari kafe tersebut, menyusul Nathan untuk meluruskan kesalahpahaman ini.

.

.

Saat wanita itu tiba di luar kafe, dia langsung mencari mobil milik Nathan—berharap pria itu belum pergi. Untung saja langit belum begitu gelap sehingga dia masih bisa melihat sekitar dengan jelas.

Namun, setelah beberapa saat mencarinya, wanita itu tak kunjung mendapati mobilnya di tempat parkir.

Sudah merasa lelah, Klara akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah dengan menumpang sebuah taksi. Selama perjalanan, wanita itu terus dibayangi perasaan cemas dan takut. Dia tidak mau membuat pria itu salah paham akan dirinya.

Bila Klara boleh berterus terang, sebenarnya tadi dia ingin sekali membicarakan banyak hal dengan Nathan.

Persoalan tadi hanyalah alibinya. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, Klara ingin sekali melepas rindu dengan pria itu.

Wanita itu ingin mengatakan kalau dirinya begitu merindukan sosok Nathan. 

Rindu akan senyumannya. Rindu akan canda tawanya. Rindu akan kejahilan serta omelannya.

Dia juga rindu akan sentuhan serta pelukan hangatnya yang selalu menjadi obat penenangnya di kala kecemasan melanda.

Dia rindu dengan pria yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu.

Ya, Klara merindukan semua yang ada pada Nathan, mantan suaminya.

.

.

.

Setibanya Klara di depan gedung apartemen, dia tak menyangka akan dikejutkan dengan kehadiran Nathan di sana.

“Na-Nathan...!” ucap wanita bersurai biru navy itu dengan mata terbelakak.

Si pemilik nama hanya tersenyum lembut lalu berjalan mendekat.

“Maaf, aku harus berpura-pura marah padamu dan langsung pergi meninggalkanmu tadi. Aku hanya ingin produser itu berhenti mengikuti kita,” ujar Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari sang wanita.

Seketika timbul rasa lega dalam benak Klara usai mendengar pengakuan Nathan perihal kejadian tadi.

“Mau bicara di mobilku?” tawar pria itu kemudian.

Klara langsung mengangguk, lalu mereka berdua berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam mobil, keheningan melanda.

Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa canggung meliputi mereka berdua.

Apa mungkin karena ini pertama kalinya bagi Nathan dan Klara kembali bertemu setelah sekian lama tak berjumpa?

Usai menghembuskan napas untuk yang kesekian kalinya, Nathan mulai mengeluarkan suaranya untuk memecah keheningan.

“Bagaimana keadaan Arthur?”

Klara menatapnya sekilas lalu menjawab, "Arthur ... dia baik-baik saja. Oh iya, Arthur bilang padaku kalau dia ingin sekali bertemu denganmu. Dia rindu padamu, Nathan."

Menghela napas berat, Nathan hanya bisa tersenyum. Terpancar rasa sedih di sorot matanya. Perasaan sedih itu timbul karena dirinya tidak bisa dengan leluasa bertemu dengan putra semata wayangnya itu.

"Aku juga begitu merindukannya. Seandainya aku bisa menemuinya ...," ungkap pria itu terus terang.

Wanita bersurai biru navy itu hanya bisa menggenggam erat tangannya dalam diam. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia sangat sakit dengan situasi seperti ini. Yang mana mereka harus berpisah karena keadaan yang tidak mendukung.

Nathan balas menggenggam erat tangannya, seakan mendapat dukungan emosional dari wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu. Suasana pun menjadi sunyi selama beberapa waktu.

"Tidak apa-apa, aku akan coba berbicara dengan Arthur. Semoga—"

Drrttt drrrrtttt drrrttt— bunyi getar ponsel milik Nathan membuat Klara menghentikan pembicaraannya.

Saat melihat nama sang Ayah di layar ponselnya, Nathan langsung mengangkat sambungan teleponnya.

Kalimat yang dilontarkan oleh sang Ayah dari seberang telepon seakan membuat jantungnya berhenti berdetak.

[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.]

To be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status