Share

CHAPTER 6: KEPERGIAN EMILY

[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.]

.

.

.

Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie.

Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit.

Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya.

Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya.  Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala.

Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingnya dengan senyum lembut tersungging di wajahnya.

Namun, semua yang dia lakukan sia-sia belaka.

Istrinya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Yang berarti sudah tidak ada lagi senyum hangat, celotehan serta canda tawa yang sering dilontarkan oleh mendiang istrinya.

Tubuhnya sudah terbujur kaku di dalam peti berbahan kayu. 

Tak sedetik pun Jonathan berpaling dari peti mendiang istrinya. Meski pandangannya terhalang oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Dia masih menatap nanar peti Emily. Berusaha merekam kenangan terakhir mendiang istrinya sebelum bersedekap dengan bumi.

Begitu pun dengan Nathan yang juga terus menangis tanpa henti, berharap bila semua ini hanyalah mimpi buruk.

Namun, sayangnya semua itu bukanlah mimpi. Semuanya nyata. Sosok ibunya yang terbujur kaku lengkap dengan gaun panjang berwarna putih di dalam peti kayu itulah buktinya.

Bukti nyata bila tak ada satu pun manusia yang akan abadi di dunia ini. Satu bukti yang menyatakan bila manusia pasti akan menghadapi kematian suatu saat nanti. Hanya tinggal menunggu kapan waktunya akan tiba.

Di pemakaman tersebut pula terdapat beberapa wartawan yang sudah mendapat ijin untuk meliput prosesi pemakaman. Peliputan dilakukan sejak pertama kali mendiang ditempatkan di rumah duka.

Di sana pula terdapat Klara dan Alfred Wales yang juga turut berduka atas kepergian mendiang. Wanita bersurai biru navy itu berjalan mendekati Nathan dan berdiri tepat di sampingnya, lalu menggenggam erat jemari tangannya dalam hening. Bermaksud memberinya sedikit dukungan emosional. 

Kedua iris mata mereka bertemu satu sama lain.

"Ibu sudah pergi ... untuk selamanya. Itu artinya ... Ibu ... sudah tidak merasakan sakit ... lagi 'kan...?" ucap Nathan diiringi isak tangis. Air matanya jatuh silih berganti membasahi wajahnya.

Klara hanya mengangguk dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Wanita itu memilih diam karena dia tahu, bukan jawaban yang dibutuhkan oleh Nathan saat ini, tapi sebuah penghiburan.

Tanpa aba-aba, Nathan langsung melingkari kedua tangannya ke tubuh Klara. Mendekapnya seerat mungkin, seolah mencari sebuah penghiburan di kala rasa sakit yang menusuk hatinya.

.

.

Saat tiba waktunya peti akan diturunkan ke liang lahat, isak tangis kembali terdengar.

"Ibuuu! Ibuuu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan Natalie sendirian, Bu!! Natalie kesepiaaan!! Ibuuuuu!!!"

Natalie begitu histeris memanggil mendiang ibunya berkali-kali, berharap ada sebuah keajaiban terjadi. Karena dia belum bisa merelakan sang Ibu pergi untuk selama-lamanya. 

Tangisan penuh luka Natalie membuat hati Jonathan semakin teriris. Seakan kepedihan yang putrinya rasakan turut ia rasakan. Bahkan, berkali-kali lipat rasa sakitnya.

Tanpa berkata apa pun, pria paruh baya itu mendekap erat putrinya. Berharap pelukan yang ia berikan bisa meringankan sedikit kepedihan mendalam yang putri bungsunya rasakan saat ini.

Beberapa menit berselang, pemakaman sudah hampir selesai dilakukan. Batu nisan berukuran cukup besar pun sudah terpasang tepat di atasnya.

Terukir nama 'Febrianne Emily Maheswari Hamilton' di batu nisan tersebut. Nama dari seorang istri sekaligus Ibu tercinta bagi Jonathan dan kedua buah hati; Nathan dan Natalie.

Semua kenangan suka dan duka yang pernah terukir bersama mendiang istrinya, kini datang silih berganti memenuhi kepalanya.

Tiap memori yang berputar di kepalanya sukses menorehkan luka baru dalam dirinya. Teramat pilu dan menyayat hati. Menyadari bahwa pendamping hidupnya kini telah hilang dan tak akan pernah kembali. 

Jadi, yang bisa dia lakukan adalah mengikhlaskan kepergiannya. 

Namun, di satu sisi, Jonathan merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Rasanya begitu hampa.

Ya, Jonathan sadar bila kepergian Emily membuat sebagian jiwanya ikut pergi. Membentuk lubang besar yang tak dapat diperbaiki lagi.

Ya, separuh nyawanya telah pergi. Untuk selamanya.

Mulai hari ini hingga seterusnya, Jonathan harus melanjutkan hidupnya seorang diri.

Tanpa seorang Emily. Tanpa belahan jiwanya.

Yang berarti; tidak akan ada lagi yang mengucapkan selamat pagi dan selamat malam padanya.

Tidak akan ada lagi yang mengomelinya bila bekerja terlalu keras.

Tidak akan ada lagi yang menunggu  kepulangannya di rumah dan bertanya tentang kegiatannya.

Tidak akan ada lagi gelak tawa serta keceriaan di hari-hari mendatang.

Tidak akan ada lagi tempat baginya bertukar ide-ide baru; entah yang terdengar konyol bahkan mustahil untuk dilakukan.

Tidak akan ada lagi tempat bagi dirinya untuk meluapkan semua emosi terpendamnya.

Tidak akan ada lagi pelukan hangat di kala dirinya dirundung masalah berat.

Tidak akan ada lagi baginya bahu untuk bersandar.

Tidak akan ada lagi sosok istri yang amat dia cintai dan juga mencintai dia dengan segenap hatinya.

Tidak akan ada lagi kebahagiaan seperti istrinya. 

Sosok wanita bernama Febrianne Emily Maheswari Hamilton baginya hanya ada satu di dunia ini. Dan tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun.

Wanita terspesial bagi seorang Jonathan Hamilton. Untuk selamanya.

Memandangi batu nisan Emily, Jonathan kembali terisak. "Emily ... kenapa kamu pergi begitu cepat ...? Kamu ... sudah lelah ya mendengar keluh kesahku? Jadi, kamu harus pergi secepat ini ...?" Kemudian menghembuskan napas beratnya. "Maafkan aku ... karena aku selalu menyusahkanmu, Emily. Beristirahatlah dalam damai," lirih Jonathan sembari mengusap batu nisan mendiang istrinya.

.

.

.

Tak terasa sudah dua minggu berlalu sejak kepergian Emily. 

Sudah selama itu pula Jonathan menjalani hari-harinya kembali sebagai seorang ayah bagi Nathan dan Natalie, sekaligus pemimpin perusahaannya, J&E Group.

Tanpa kehadiran sang istri tercintanya lagi di sisinya.

Saat Jonathan sedang menandatangani beberapa berkas penting, iris biru langitnya bergerak ke sebuah foto bingkai putih yang terpasang di sisi meja kerjanya. Sorot matanya kembali menyiratkan kesedihan. 

"...Emily."

Tampak sebulir air mata mengalir membasahi pipinya usai memandangi wajah mendiang istrinya yang sedang tersenyum cerah berbalut gaun putih, dalam foto pertama mereka sebagai sepasang suami istri.

Ya, Jonathan masih berusaha untuk menerima semuanya.  Berusaha untuk tetap tegar. Berusaha untuk menerima kenyataan bila Emily sudah tidak ada lagi bersamanya.

Pria paruh baya itu terus berupaya untuk mencari kesibukan. Mungkin saja dengan begitu, dirinya tidak akan terlarut dalam kesedihan terus-menerus.

Kesedihan yang terus menggerogoti jiwanya.

Namun, itu terlalu sulit bagi Jonathan untuk mengikhlaskan kepergian Emily.

Kenyataannya saat ini, dirinya begitu hancur. Tak lagi bersemangat menjalani aktivitasnya seperti dulu. Tidak ada lagi senyum bahagia di wajahnya. Semuanya tampak begitu gelap. 

.

.

Tok tok tok!

Sebuah ketuk pintu kembali menyadarkan Jonathan pada kenyataan. Pria paruh baya itu langsung memperbaiki posisi duduknya dan memasang ekspresi senetral mungkin. 

Saat pintu terbuka, tampak seorang pria muda berparas rupawan yang tak lain merupakan sekretarisnya.

"Maaf Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda."

"Baik, biarkan dia masuk," balas Jonathan.

Selang beberapa saat kemudian, masuk seorang yang tak asing, dengan senyum formal terukir di wajahnya.

"Selamat siang, Tuan Hamilton."

"...Tuan Alfred ...?"

To be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status