Keduanya sontak menoleh ke arah sang ibu yang sedang menatap Aeri tajam.
“Ya, ampun! Ucapannya kasar sekali …. Kenapa bisa perempuan seperti itu menjadi bagian keluarga Candra?”
“Padahal bercadar, tapi ternyata bukan perempuan baik-baik.
“Percuma memakai jilbab, tapi tidak bisa menjaga mulutnya.”
Bisik para tante-tante yang bersama dengan Rullistya mulai terdengar.
Rullistya pun merasa malu dan marah. Kelakuan menantunya yang kasar dan tidak sopan disaksikan oleh teman-temannya.
Sejak awal, dia memang tidak suka pada perempuan yang kini menjadi istri putranya itu.
Tapi, dia adalah perempuan yang putranya ‘pilih’. Hal ini membuat Rullistya tidak punya pilihan lain selain harus menerimanya.
Tadinya, dia ingin menahan diri, tapi apa yang dia dengar benar-benar menyulut amarahnya.“Memang benar, ya. Seharusnya, mama tidak merestui kamu menikah dengan perempuan tidak jelas ini. Seharusnya, mama tetap menjodohkan kamu dengan Frisya yang jelas-jelas adalah perempuan baik-baik. Lihat sekarang Arvan kelakuan istrimu ini! Bisa-bisanya dia mengumpat?”
Begitu emosi, Rullistya bahkan menunjuk pada Aeri.Arvan dan Idris lantas berusaha menenangkan wanita itu. Namun bukannya tenang, Rullistya semakin marah karena menganggap putranya membela istri tidak jelasnya itu.
Keributan kecil pun terjadi di pelaminan dan cukup mengundang perhatian semua tamu undangan.
Asisten Aeri–yang menggantikannya menjadi fotografer di acara ini–tanpa sadar mengabadikan keributan itu.
“Cekrek!”
Saat kamera mengarah pada pelaminan, Aeri pun berpose dua jari meski Rullistya masih mengamuk.
Sungguh, sebuah acara pernikahan yang luar biasa.
*****
“Jadi?” tanya Aeri setelah 'acara pernikahan mereka' selesai. Dia butuh penjelasan detail mengenai pernikahan yang dia lakukan ini.
Arvan menghela napas. “Sebenarnya, aku akan dijodohkan dengan Frisya. Bagi mamaku, dia sempurna. Tapi, aku tidak menyukainya.”
“Karena kamu tidak menyukainya, kamu mencari perempuan lain?”
“Betul.” Arvan mengangguk. “Tapi, aku mencari istri kontrak. Hanya saja, kriteria mamaku sulit. Oleh karena itu, aku mencari calon pasangan yang bercadar karena identik dengan perempuan solehah yang alim.”
Tapi, mencari perempuan berhijab yang baik dan cantik luar dalam sangatlah susah! Mereka menolak untuk mempermainkan pernikahan.
Terkejar tenggat waktu, Arvan pun terpaksa mengikuti ide Idris: membayar seorang perempuan untuk berpura-pura menjadi calon istrinya. Dia juga harus berpura-pura memakai hijab dan cadar.
Arvan juga membuat identitas palsu sang calon istri.
Kebetulan, perawakan perempuan yang dinikahi hampir mirip dengan Aeri. Jadi, Arvan pun akhirnya memakai identitas temannya itu. Dari nama sampai pendidikan—semuanya dia samakan dengan Aeri.
Toh … Arvan yakin tidak akan bertemu Aeri dan pernikahannya tidak akan bertahan lama.
Dibantu Idris, pernikahannya dengan ‘Aeri’ pun terlaksana.
“Tapi sayangnya, perempuan yang kamu bayar malah tiba-tiba mundur?” tebak Aeri tepat sasaran.
“Karena dia sudah menemukan cinta sejatinya.”
Aeri tampak mengangguk. Arvan yang tidak mau sampai pernikahan ini batal–mau tidak mau harus menemukan penggantinya. Beruntung calon istrinya adalah perempuan bercadar! Jadi, tidak akan ada yang sadar bila ada perubahan.
“Lalu, kenapa harus aku?”
Pertanyaan Aeri membuat Arvan diam.
“Sulit mencari perempuan dengan tinggi sepertinya,” kata Arvan selesai menjelaskan pada Aeri seperti janjinya.
Ya, Aeri palsu dan Aeri asli memang memiliki tinggi di atas rata-rata.
Arvan terdiam menatap teman lamanya itu. Dalam hati, dia merasa bersyukur karena Aeri asli muncul tepat waktu.
“Jujur, sejak awal aku tidak mengira kalau kamu adalah fotografer di pernikahanku, jadi aku juga tidak membayangkan akan tiba-tiba menikah denganmu, Ri.”
Sementara itu, Aeri mencerna semua perkataan Arvan.
Dia tidak heran bila Arvan tidak tahu dirinya adalah fotografer di pernikahannya.
Komunikasi keduanya diwakilkan oleh asisten masing-masing. Jadi, bagaimana mungkin laki-laki itu tahu?
“Terus kamu belum jawab, ‘dia’ itu siapa yang kamu dan Idris maksud di pelaminan tadi?” tanya Aeri.
Arvan menghela napas sebelum menyodorkan kertas ke arah Aeri. “Dia yang kami maksud itu Frisya. Kebetulan, Idris menyukainya. Jadi, kita buat rencana pernikahan ini agar perjodohanku dengan perempuan itu dibatalkan.”
“Lalu ini, maksudnya apa?” Aeri menunjuk pada kertas itu.
Dia sebenarnya sudah membaca apa isinya, tapi dia butuh penjelasan laki-laki itu.
“Itu adalah surat perjanjian antara aku dan ‘Aeri’. Karena ‘Aeri’ yang menikah denganku adalah kamu, kesepakatan itu sekarang antara kita berdua.”
Aeri kembali membaca isi kontrak itu dan mengangguk.
“Aku tidak ada masalah dengan poin yang lain, tapi batas waktu pernikahan hanya sampai 8 bulan?”
“Apa kamu tidak setuju dengan itu?” tanya Arvan bingung menatap Aeri.
“Kenapa kita menikah hanya 8 bulan?”
“Meskipun kita menikah secara sah, tapi kita berdua tahu kalau pernikahan ini hanya pura-pura, kan? Lalu, apa gunanya mempertahankan pernikahan ini untuk waktu lama?”
Aeri menaruh kontrak itu diatas meja di depan Arvan. “Kita memang tidak saling mencintai, tapi seperti yang kamu bilang tadi? Perempuan baik-baik yang kamu ajak pura-pura menikah semuanya tidak mau. Aku pun juga sama. Aku tidak mau hanya pura-pura menjadi istrimu, Tuan Arvan Salga.”
“Apa kau punya kekasih?”
Aeri menggeleng.
“Lalu?”
Arvan masih belum mengerti maksud perempuan di hadapannya ini.
Namun, itu tak lama karena pria itu terkejut begitu Aeri mencondongkan wajahnya.
“Karena hanya orang bodoh yang mau dinikahi secara kontrak. Aku tidak akan menandatangani kontrak ini kalau pernikahan kita ada batas waktunya.”
"Ck," decakan kesal Arvan di tengah meeting sukses membuat suasana rapat menjadi hening.Keringat dingin membasahi dahi seorang anak buahnya yang tadi presentasi di hadapan semua orang di sana. Entah apa yang salah dari presentasinya hingga membuat bosnya itu berdecak. Tidak hanya anak buahnya yang presentasi saja, namun seluruh anak buahnya di ruangan itu juga merasa ketakutan. Setelah kemarin timnya melakukan kesalahan yang membuat proyek besar yang dia tangani hampir gagal. Arvan yang harus turun tangan untuk menangani masalah itu menjadi sensitif.Sedikit saja kesalahan yang anak buahnya lakukan bisa membuatnya marah besar dan bahkan sampai memecat anak buahnya tersebut.Karena itu, para anak buahnya bersikap hati-hati untuk tidak membuat bos mereka marah.Anak buah yang presentasi menelan ludah sebelum memberanikan diri untuk bertanya. "M-mohon maaf pak Arvan, apakah ada yang salah dari presentasi saya?" Jari-jari tangan si anak buah gemetaran, teman-temannya yang sesama anak bu
Menjadi fotografer wedding selalu membuat Aeri excited. Kepuasan mengabadikan momen bahagia pengantin yang baru menikah adalah hal yang membuatnya merasa bahagia."Bapak, boleh sedikit geseran ke kiri, nah iya, tahan ya, satu, dua, ...." Bersamaan dengan hitungan ketiga, muncul cahaya dan suara shutter dari kamera.cekrek!Aeri mengatur posisi para keluarga dalam sesi foto bersama keluarga kedua mempelai.Selesai sesi foto keluarga besar, kini giliran dia memfoto para tamu undangan yang ingin berfoto dengan pengantin. Kadang saat sesi foto begini, ada saja hal menyebalkan yang dia alami.Seperti saat akan memfoto, tiba-tiba saja ada seorang tamu undangan yang lewat di depannya, alhasil hasil fotonya menjadi jelek. Tidak lagi dengan para fotografer dadakan yang kadang mengganggunya waktu mengabadikan momen bahagia pengantin."Eh, kamu minggiran sana, aku mau ngambil foto cucuku."Seorang ibu-ibu dengan kasar menggesernya untuk mengambil foto cucunya bersama mempelai pengantin.'lah, di
Pada akhirnya Arvan dapat juga berbaring di tempat tidur. Dia melihat jam di ponselnya. Jam menunjukkan sudah pukul 4 lewat, entah sudah berapa jam dia dimarahi oleh papanya. Mungkin jika bukan karena Kyran, Arvan butuh berjam-jam lagi untuk bisa berbaring diatas tempat tidur. "Aku harus berterimakasih padanya nanti." Ucapnya sebelum dia jatuh tertidur. Rasanya tidak lama saat Arvan memejamkan mata dia kembali dibangunkan oleh suara berisik lagu yang diputar dengan keras. Arvan awalnya menutup kepalanya dengan bantal, namun karena lagu itu tidak kunjung berhenti, dia yang tidak tahanpun melempar bantal itu ke asal suara. "Berisik, nggak lihat orang lagi tidur." Arvan bangkit duduk di atas tempat tidur, dia menatap tajam seseorang di depannya. "Lagian, siapa suruh kakak tidur di kamarku," Alvin, orang yang ditatap tajam melempar balik bantal yang mengenainya pada Arvan, "AC dikamar kakak kan sudah diperbaiki, kenapa tidak balik ke kamar kakak sendiri, kenapa masih tinggal di kam
"Mama!" Senopati menekan nada suaranya untuk tidak membentak istrinya."Lagian kenapa sih Papa masih membelanya? Dia itu istri yang buruk, lihat!" Rullistya menunjuk pada Frisya yang tadi menyusulnya ke arah Arvan dan kini dia memegangi lengan Arvan yang terlihat akan jatuh kapan saja. "Beratus-ratus kali Frisya lebih baik dari perempuan itu, seharusnya papa mendukung putra kita menikah dengannya bukan dengan perempuan tidak jelas itu."Senopati hanya bisa menghela napas panjang, kepada putranya dia bisa saja tegas, tapi tidak demikian jika dengan istrinya."Tapi, yang kini menjadi istrinya Arvan itu Aeri, Ma," ingatkan Senopati, "dan Aeri adalah istri yang Arvan pilih.""Lalu, memang kenapa kalau Aeri istri Arvan, tidak menutup kemungkinan mereka akan cerai nantinya.""Jangan bicara seperti itu, Ma. Mama mau pernikahan putra kita gagal?""Tentu, malah mama berdoa secepatnya Arvan berpisah dari perempuan itu."'Amin.' Spontan Arvan mengaminkan ucapan mamanya. Dia memang ingin secepat
"Kenapa kamu tidak bilang pada papa kalau mama memintamu dan Aeri pulang?" Tanya papa setelah dari tadi menceramahi Arvan gara-gara Aeri yang tiba-tiba keluar rumah.Padahal waktu Senopati datang, jelas-jelas dia melihat Aeri menghajar Arvan, tapi masih saja Arvan yang dia salahkan karena melihat Aeri yang hampir mau menangis dan pergi begitu saja waktu dia tanya ada apa."Lalu ini, kamu. Bisa-bisanya kamu tenang-tenang saja padahal istrimu entah ada di mana sekarang."Sudut bibi Arvan sobek, dan lebam di pipinya membiru. Tidak ada yang merawat lukanya, tidak seperti Frisya yang karena luka ditangannya sampai dibawa ke rumah sakit oleh mamanya.'Apa mereka tidak menganggap aku anak apa? Satunya mengurus Frisya, satunya lagi Aeri,' gerutu Arvan dalam hati.Dia semakin menekan kompres es batu pada luka di bibirnya, mengalihkan rasa kesalnya pada rasa sakit yang malah membuatnya merintih."Aku kira papa tahu soal mama yang membawa Aeri pulang, lagian juga aku dan Aeri di sini sampai reno
Aeri yang biasanya tenang, hari ini memuntahkan segala uneg-unegnya, keluh kesahnya terlalu banyak hingga butuh waktu lama untuk dia berhenti mengeluh panjang lebar.Entah sudah berapa kali Arika menahan untuk tidak menguap di hadapan Aeri, dia juga sampai malas mengecek jam, waktu mendengarkan Aeri. Dia menopang kepalanya dengan lengan yang dia sandarkan ke sandaran sofa, dia duduk sembari menghadap Aeri yang ada di sampingnya.Di posisinya itu, godaan untuk tidur begitu besar. Hampir saja dia tertidur, tapi untungnya Aeri menyudahi keluh kesahnya."Rasanya aku menyesal menikah dengan si ba*sat itu, akan lebih baik kalau aku menikah denganmu, Ka." Aeri menoleh pada Arika di sampingnya yang mendadak kantuknya hilang mendengar ucapannya."Kamu bercanda, kan?""Aku tidak bercanda," mata Aeri penuh dengan keyakinan yang membuat bulu kuduk Arika merinding, "akan lebih baik kalau aku menikah dengan ...,""Oke, shut up," Arika menutup mulut Aeri.Aeri yang dia kenal memang orang aneh, salah
Keras kepala, itulah hal baru yang Arvan ketahui dari Aeri. Arvan memegang dahinya, pusing. Tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Aeri."Kamu ini ya," saat Rullistya akan menampar Aeri, Frisya segera menahannya."Tante, sudah jangan main tangan dengan Aeri." Frisya memegang erat tangan Rullistya."Ma, sebaiknya mama keluar dulu dari sini, tenangin dulu diri Mama.""Kenapa mama yang harus pergi, yang seharusnya pergi itu dia, wanita kurang ajar itu, ini rumah mama!" tidak terima dengan perkataan Arvan, Rullistya kini malah memarahinya.Arvan menghela napasnya lelah, dia lalu menatap Aeri. Dia sebenarnya malas berurusan dengan istrinya itu, bahkan sekedar bicara saja rasanya berat."Aeri ...,""Ya, ya, aku tahu, kamu pasti mau mengusirku kan?" Aeri memotong perkataan Arvan."Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu.""Kamarku?" ulangnya setelah mendengar ucapan Arvan, entah bagaimana kekesalannya pada laki-laki itu meningkat.Dia tahu Arvan akan menyuruhnya pergi, tapi dia tidak menyangka aka
"Meskipun sisa, makanan itu masih layak untuk dimakan, lagian yang makan makanan itu tidak hanya kamu saja, Aeri, tapi semua orang di rumah ini, bahkan Arvan, dia juga memakan makanan itu, benarkan Arvan?" Frisya bertanya pada Arvan untuk menyakinkan kata-katanya.Dan karena memang Arvan memakan makanan itu, jadi dia pun mengiyakan perkataan Frisya."Apa yang Frisya katakan benar Aeri, dan sejak kapan kamu jadi pilih-pilih makanan begini, lagian itu hanya makanan sisa semalam bukan makanan basi."Disudutkan oleh dua orang di hadapannya membuat Aeri tidak bisa tidak memutar bola matanya."Lalu, kalau semua orang makan makanan itu, apa aku harus memakannya juga, enggak kan?" Aeri mengangkat bahunya sebelum dia memunggungi Arvan untuk membantu Frisya membasuh tangannya di wastafel.Tapi Frisya menolak bantuannya, dia menepis tangan Aeri dan berjalan mendekati Arvan yang dengan sigap menahannya yang hampir terjatuh."Aeri yang kukenal tidak akan buang-buang makanan.""Sya, tanganmu perlu
Saat Aeri akan membawa nampan makanan ke dapur, dia melihat Arvan yang mendekatkan wajahnya pada Frisya, seperti orang yang akan berciuman.Spontan Aeri menyiram Arvan dengan sup yang dia bawa."Ck, ini siapa yang ...." Saat Arvan menoleh, dia melihat Aeri yang tersenyum cerah padanya, "Aeri. Apa maksudnya kamu menyiramku?" Arvan yang tadi akan marah, menekan nada suaranya untuk tidak berteriak di depan Aeri."Lama nggak ketemu ya Van, sepertinya kamu lupa kalau istrimu sedang sakit.""Apa-apaan kamu ini, kenapa kamu menyiramku?" Kembali Arvan bertanya mengacuhkan perkataan Aeri.Aeri memutar bola matanya, dia lalu menendang lutut Arvan."Auww!" Ringis Arvan memegang lututnya."Entahlah, pengen aja aku nyiram kamu, lagian bukannya negrawat istri yang sakit, ini malah enak-enakan berduaan dengan perempuan lain.""Ck, siapa juga yang berduaan.""Lalu ..." Aeri melihat antara Frisya dan Arvan.Sebelum Arvan bicara, Frisya lebih dulu berkata."Kamu salah paham Ri, aku dan Arvan bukannya b