"Nayara Prameswari," ucap Bram sambil berdiri dari kursinya yang megah, menyambut tamu yang baru saja masuk ke ruangannya.Nayara membalas dengan anggukan kecil dan menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat yang tulus. Rasa gugup sempat menyelinap, tapi ia berusaha tetap tenang."Silakan duduk, Nay," kata Bram sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya. Lalu, ia mengalihkan pandangannya ke resepsionis, "Kamu kembali ke tempat.""Baik, Pak," jawab sang resepsionis sopan sebelum pamit keluar.Bram menatap Nayara lekat-lekat. Matanya sempat berhenti pada bekas luka di wajah Nayara yang belum sepenuhnya pulih. Namun, ekspresinya tetap datar, profesional. Ia kemudian membuka map CV yang tergeletak di atas meja."Nayara, kamu lulusan Sarjana Ekonomi ya?" tanya Bram membuka percakapan."Betul, Pak," jawab Nayara singkat, namun tenang."Melamar sebagai admin penjualan di sini?""Iya, Pak."Bram mengangguk pelan, matanya menelusuri baris-baris informasi pada lembar CV."Coba ceritakan peng
“Makasih ya,” ucap Nayara sambil menunduk sopan pada pelayan yang membantunya turun dari mobil.“Sama-sama, Nay,” jawab pelayan itu ramah.Langkah Nayara perlahan menapaki pelataran rumah. Tongkat putihnya menyentuh kerikil-kerikil kecil, sesekali menyusuri batas lantai dan tanah. Namun langkah itu terhenti.“Nay,” suara berat memanggil dari arah gerbang. Dhirga baru saja turun dari mobil berwarna hitam miliknya.Nayara menoleh, ada kekhawatiran di sorot matanya. “Iya, Mas?” jawabnya pelan.“Bagaimana wawancara kamu tadi?” tanya Dhirga sambil berjalan mendekat. Sorot matanya tajam, ada nada curiga dalam suaranya.“Aku... diterima, Mas. Aku resmi jadi sekretaris Pak Bram Hadiwijaya. CEO-nya Darmaseraya Group,” jawab Nayara, sedikit ragu, namun tetap berusaha tegas.Dhirga mendengus, lalu tertawa sinis. “Kok bisa? Kamu ‘kan cacat, Nay. Emangnya kamu sanggup kerja jadi sekretaris? Atau cuma kasihan aja dia sama kamu?”Nada suaranya meninggi, menyayat perasaan Nayara. Trauma yang menyayat
"Kalau kamu keberatan dengan keputusan saya, kamu boleh ajukan surat resign sekarang!" tegas Bram dengan nada tajam, tatapannya menusuk tajam ke arah Sonia.Sonia terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia memilih untuk diam."Awas aja lu cacat," rutuknya dalam hati, menahan emosi yang sudah berada di ujung tanduk."Oke, semua keputusan saya bersifat final. Jika ada yang tidak suka, silakan ajukan surat pengunduran diri ke HRD sekarang juga," lanjut Bram dengan nada yang tetap keras."Baik, Pak," jawab seluruh peserta meeting serempak, beberapa dengan nada enggan.Bram lalu mengalihkan pandangan ke Nayara. "Nay, ini buku catatan. Tolong kamu catat ya seluruh hasil meeting hari ini.""Siap, Pak!" jawab Nayara dengan penuh semangat. Ia segera mengeluarkan pulpen dan mulai mencatat dengan seksama.Meeting pun dimulai. Bram memberikan arahan strategis kepada seluruh manajer dan beberapa staf yang bertugas di berbagai cabang Darmaseraya Group. Nayara memperhatikan dengan cermat, mencatat setiap
Saat pintu lift terbuka dan Bram melangkah keluar menuju lobi, matanya langsung menangkap sosok lelaki paruh baya berjas rapi yang tengah berdiri dengan tangan bersilang di depan dada. Wajah lelaki itu begitu familiar.“Pak Dimas!” seru Bram penuh semangat. Ia segera menghampiri dan menjabat tangan pria itu dengan hangat.Senyum Dimas mengembang. “Pak Bram,” balasnya, sama ramahnya.“Kenapa tidak langsung naik ke atas, Pak? Bukankah kita sudah buat janji?” tanya Bram heran.“Saya memang sengaja menunggu di bawah, biar ada kejutan sedikit buat Pak Bram,” ucap Dimas, terkekeh ringan. “Tapi… bisa nggak kita ngobrolnya di kafe dekat sini saja?”“Oh, tentu. Mari, mari, Pak,” sahut Bram antusias. Sebelum melangkah keluar, ia sempat menoleh ke arah resepsionis.“Kamu, tolong beri tahu Nayara. Katakan saya keluar sebentar,” perintah Bram.“Baik, Pak,” jawab sang resepsionis sigap.Keduanya pun keluar dari gedung. Hanya terpaut satu bangunan dari kantor pusat Darmaseraya, terdapat sebuah kafe
"Oh, saya pikir kamu ada hubungan keluarga dengan keluarga Mahendra," kata Bram sembari menatap Nayara penuh selidik.Perkataan itu membuat Nayara tersentak. Tenggorokannya terasa kering, dan ia secara refleks menelan ludah. Ia tahu, jika terlalu jujur, Bram pasti akan mengorek lebih dalam—hal yang paling ingin ia hindari saat ini."Saya… bukan siapa-siapa, Pak," jawabnya singkat, lalu segera pamit untuk kembali ke ruang kerjanya.Namun belum sempat ia menapaki koridor panjang kantor, langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Sonia—mantan sekretaris Bram yang kini dipindahkan ke bagian administrasi. Mata Sonia menyipit tajam, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis.Tanpa aba-aba, Sonia menarik paksa lengan Nayara."Akh! Sakit!" seru Nayara, terkejut sekaligus kesakitan.Dengan kasar Sonia menyeret Nayara menuju tangga darurat yang sepi dan gelap. Di tempat itulah, ia mendorong tubuh Nayara hingga menghantam tembok dingin."Lu siapa sih, hah? Baru juga datang udah ngerebut posisi
Pesan singkat dari Dimas Prayoga muncul di layar ponsel Nayara."Nay, tolong angkat. Penting."Nayara menatap layar itu lama. Tangannya gemetar, pikirannya bercabang. Jika ia angkat, ia khawatir Dhirga akan tahu dan marah besar. Tapi jika tidak, bisa jadi ada hal penting. Entah kenapa, nama Dimas yang kembali muncul selalu membawa gelombang kecemasan sekaligus perasaan tak menentu.Telepon kembali berdering. Kali ini, Nayara menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu menyentuh tombol hijau."Halo, Dim... ada apa?" suaranya lemah, tapi cukup jelas."Kamu katanya sudah kerja ya di Darmaseraya?" suara Dimas di seberang terdengar ringan, namun Nayara tahu, ada sesuatu di balik pertanyaan itu.Nayara menelan ludah. Pertanyaan itu sebenarnya biasa saja, tapi situasi membuatnya terasa rumit."Iya, Dim. Kenapa?""Oh, bagus kalau gitu. Kebetulan aku lagi menjalin kerja sama dengan Darmaseraya. Mungkin nanti kita bisa lebih mudah berkoordinasi, kan kamu sekarang jadi sekretaris Pak Bram.
"Tumben Mas Dhirga kirim pesan... biasanya langsung masuk kamar," bisik Nayara lirih sambil melangkah menuju kamar.Langkahnya perlahan, seiring dengan detak jantung yang kian tak beraturan. Ada kecemasan yang perlahan merambat dari dada ke seluruh tubuh. Pesan singkat dari Dhirga semalam terasa seperti sinyal samar akan badai yang segera datang. Trauma kekerasan yang pernah ia terima sebelumnya kembali menghantui benaknya, membangkitkan kenangan pahit yang tak pernah benar-benar pergi.Ada masalah apa lagi?Sepenting apa pertemuan besok sampai harus mengabari duluan?Bayangan akan sesuatu yang buruk terus menghantui pikirannya. Dhirga hanya mengirim satu kalimat singkat, tanpa penjelasan. Tidak seperti biasanya. Biasanya ia akan langsung masuk kamar, dengan wajah dinginl , dan nyaris tidak bicara. Tapi semalam... hanya pesan.Pagi itu, seperti biasa Nayara bersiap berangkat. Namun ada yang berbeda. Mobil kantor yang biasa menjemputnya dikabarkan mogok. Sopir pun mengabari bahwa ia ta
"Terima kasih, Pak," ucap Nayara lembut begitu ia turun dari taksi online yang berhenti tepat di depan gedung utama kantor Darmaseraya Group. Tangannya menggenggam erat tongkat yang selalu menemani langkahnya. Meski perlahan, ia tampak tenang.Langkah Nayara baru beberapa meter dari pintu masuk ketika suara familiar menyapanya."Nay, kamu nggak pakai mobil kantor hari ini?" Sapa Bram"Enggak, Pak. Katanya mobilnya mogok," jawab Nayara tenang sambil tersenyum kecil. Ia berusaha tampak biasa saja meski dalam hatinya masih menyimpan cemas.Bram mengangguk, matanya menatap Nayara sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, nanti sore saya antar pulang ya."Nayara segera menggeleng. "Duh, jangan, Pak. Saya takut suami saya marah."Bram terlihat berpikir sejenak, lalu menimpali, "Kalau begitu, kamu pakai mobil saya saja. Sopir biasa nanti yang antar."Mata Nayara sedikit melebar, lalu mengangguk pelan. "Kalau itu boleh, Pak. Terima kasih banyak, ya." Senyum tipis terukir di bibirnya, tulus namu
"Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks.Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa, Mas?""Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran.Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya."Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga.Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan berc
“Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja
“Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la
Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak
Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua
"Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m
“Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj