"Ma." Arzen datang. Matanya memincing kala menatap kami. Mungkin heran kenapa mamanya yang selama ini sangat membenciku, tiba-tiba mau memeluk. "Aku udah dapat obatnya," ujarnya seraya menunjukkan kantung plastik putih pada kami. "Kita pulang, ya?"Ibu Sita mengangguk pelan. Kali ini dia menggandeng tanganku menuju pintu keluar. Hujan masih membungkus kota. Sialnya kami memang tidak membawa payung.Beruntung aku mengenakan sweater. Kugunakan pakaian tersebut untuk dijadikan payung darurat. Aku dan Ibu Sita melangkah cepat menuju mobil. Sementara Arzen sudah lebih dulu berlari meninggalkan kami.Arzen melajukan mobilnya ketika aku dan Ibu Sita sudah memasang sabuk pengaman. Kali ini Arzen mengendara dengan pelan. Karena hujan deras membuat jarak pandang menjadi kurang jelas.Sesampai di rumah hari sudah petang. Bapak Ari dan Arsy menyambut kami dengan senang. Mereka ingin mendengar apa yang terjadi. Namun, Ibu Sita menyuruhku serta Arzen untuk mandi air hangat dulu. Begitu juga dengan
"Naf, kita pulang saja, yuk!" "Eh!" Aku terheran ketika tiba-tiba Arzen menarik lenganku. Wajahnya mendadak menjadi merah. "Tapi, pesanan kita belum datang, Mas." Aku mencoba menolak. "Kita batalin saja," balas Arzen dengan pandangan lurus ke depan. "Tapi, aku mau makan steik." "Lain kali saja, Naf." Arzen terus menarik lenganku agar mau bangkit dari duduk. "Tiba-tiba kepalaku pusing banget nih," katanya sambil meringis seolah menahan sakit. Namun, matanya tetap tertuju ke meja di depan kami. Karena Arzen sudah melangkah duluan, mau tidak mau aku pun menurut. Namun, rasa penasaran membuatku mengalihkan pandangan ke arah meja depan. Tampak gadis seorang gadis tengah makan malam berdua dengan seorang pemuda. Dahiku melipat. Aku pernah lihat gadis itu. Gadis yang menangis di acara pernikahanku dengan Arzen. Gadis yang dipeluk oleh ibunya Diaz. Dia Aliya. "Naf!" Aku tertegun. Arzen sudah jauh beberapa langkah dariku. Matanya kembali terpaku pada mejanya Aliya. Tampak ia menghela na
"Aku mencintaimu kamu, Naf. Walau kamu tidak mencintaiku," ucap Diaz yakin. "Diaz?" Suara berat itu membuatku dan Diaz sontak menoleh. Arzen datang dengan tatapan aneh. "Kamu lagi ngapain?" tanya Arzen sambil menatap jemariku yang digenggam oleh Diaz. Refleks kulepas genggaman tangan Diaz. Diaz tampak gugup. Namun, dia cepat menguasai diri. "Ini baru selesai bebat kakinya Nafia biar gak bengkak." Arzen bergeming. Sepertinya dia tidak puas dengan jawaban Diaz. Namun, dia memilih diam. "Katanya mo beli makanan, kok udah pulang?" Kini Diaz yang bertanya. Dia merapikan semua alat yang dibawanya tadi. "Hape aku ketinggalan." Arzen membalas pelan, "udah deh kamu aja yang beli makanan," suruh Arzen seraya melempar kunci mobil pada Diaz. Diaz sigap menangkap. Menyimpan kunci tersebut pada saku celana. Setelah itu dia berlalu sambil membawa baskom. Tidak lama terdengar suara mesin mobil menyala. "Kayaknya kamu dekat banget sama Diaz," ujar Arzen setelah membenamkan punggungnya pada sofa
Pintu rumah tidak terkunci ketika kami tiba. Sepertinya Arzen sudah pulang. Benar saja, sosok sudah ada di kamar bawah. Kamar yang kutempati. Tampak Arzen tengah mengambil baju untuk tidur. Dia hanya bertelanjang dada. Sepertinya habis mandi. Tiba-tiba aku teringat omongan Diaz di tempat tukang mie ayam tadi. Aku menghirup oksigen untuk mengumpulkan keberanian. Perlahan aku mendekat. Lalu mulai memeluknya dari belakang. Arzen tampak terpana. "Maafkan aku, Mas," bisikku lirih. Kepala ini kutempelkan pada punggungnya. "Maaf aku terlalu memaksakan kehendak," ucapku tulus. Arzen membalikkan badan. Lelaki itu memincing. "Kamu ngomong apa, Naf?" tanya Arzen tampak heran. Aku melonggarkan dekapan. Sedikit mendongak untuk balas menatapnya. "Mungkin sebagian orang akan menganggapku bucin, tapi aku hanya ingin menata kembali hubungan kita, Mas." Arzen mendengkus pelan. "Yakin kamu ingin menata ulang hubungan kita?" Matanya menatapku intens. "Tentu." Aku mengerjap disertai senyuman kecil,
"Apakah aku boleh ikut membesuk Aliya juga?" tanyaku serius.Sontak baik Arzen maupun Diaz menatapku heran."Kita mau nengokin orang sakit, Naf. Bukan untuk main-main," balas Arzen yang menjadi pertanda jika dia keberatan."Yang bilang main-main juga siapa, Mas?" Aku memutar balikan perkataannya dengan tenang, "aku hanya ingin mengenal Aliya. Sepupu Diaz yang sekaligus mantanmu. Apakah itu gak boleh?""Boleh, tapi mau ngapain di sana?" Arzen bersikeras tidak berkenan."Sorry, Zen, ini ibu dari tadi berisik banget buat nyuruh aku ke sana." Diaz menginterupsi, "kalo kalian masih asyik debat, aku pergi sendiri aja.""Yodah pergi sekarang!" Arzen menyanggupi."Nafia bagaimana?"Ada rasa terharu saat Diaz menanyakan itu. Selalu saja lelaki itu memikirkan keadaanku.Arzen melirikku sejenak, "terserahlah," ujarnya pasrah.Aku tersenyum. "Aku ambil tas sebentar."Tergopoh aku menuju kamar. Memilih cepat pakaian rapi untuk mengganti baju rumahan ini. Setelah memberikan sentuhan tipis pada waja
"Aku maunya kamu pulang saja."Jleb!"Kenapa, Mas?" tanyaku sedih."Aku gak bisa konsentrasi kerja kalo ada kamu.""Konsentrasimu memang sudah pecah sejak ketemu Aliya tadi pagi.""Nafia!""Aku pikir percintaan panas semalam kita adalah pembuktian bahwa kamu sudah melupakan Aliya. Ternyata aku salah," tuturku sendu. "Aku sudah terlalu berharap banyak tentang semalam, Mas." Dengan mata yang berkaca-kaca aku menatapnya."Bukankah sudah kubilang, jangan ada cinta di antara kita," balas Arzen tidak peduli."Baiklah kalo begitu." Aku balas menatap Arzen lekat, "jangan pernah menyalahkan apalagi cemburu, jika aku dekat dengan pria lain," pintaku serius.Arzen tidak langsung membalas. Lelaki berahang tegas itu menatapku lekat. "Maksud kamu apa?"Aku membasahi bibir yang kering ini dengan lidah. "Aku lelah. Aku sudah cukup capek berjuang sendiri menjalankan biduk rumah tangga ini.""Gak ada yang menyuruh kamu melakukan hal itu, Naf." Arzen menyela dengan entengnya. "Seperti yang kamu tahu, ha
"Diaaaz!" teriak Arzen yang sudah berada di luar."Baiiik!" Diaz berseru. "Aku butuh penjelasan darimu, Naf." Setelah berkata seperti itu, Diaz tergopoh menyusul Arzen.BRUGHAku terkesiap saat Diaz seolah sengaja menabrak Deva."Suami lu yang mana, Naf? Kenapa dua-duanya terlihat cemburu sama gue?" tanya Deva bingung sambil menggaruk janggutnya. Begitu mobil Arzen telah berlalu."Yang keluar duluan," jawabku lirih.Deva berjengit. "Tapi, yang terlihat jauh lebih care ke lu itu yang nabrak gue barusan," tukas Deva tampak heran. Dia menoleh lagi ke belakang, padahal baik Arzen maupun Diaz sudah tidak terlihat lagi bayangannya.Aku menipiskan bibir. "Memang begitu, yang baik dan peduli sama aku justru orang lain. Kamu contohnya, Ko," jujurku sambil menekan dada Deva dengan telunjuk. Deva pura-pura terhuyung ke belakang oleh tekanan kecil dari telunjukku. Membuat aku terkikik kecil. "Makasih ya udah ngasih tumpangan," ucapku kemudian."Buat lu semua gue jabanin, Naf." Deva berucap sambil
Eh iya. Omongan si Koko ada benarnya." Tina menyahut, "Naf, cerita ma kita, apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tanggamu," suruh Tina sambil meremas pundakku pelan.Cecaran pertanyaan beruntun dari Deva membuat dada ini terasa sesak. Lalu saat mata Tina menyudutkan, akhirnya mau tidak mau aku harus bercerita."Jadi begini ...." Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya guna memberi asupan pada paru-paru. "Pernikahanku dengan Mas Arzen tidak sehat. Pincang. Aku berjuang sendiri agar biduk rumah tangga kami tidak karam---""Gak usah bertele-tele." Deva menyambar, "udah cerita langsung ke intinya saja!" titahnya dengan kedua tangan bersedekap.Kuturuti perintah Deva. Tanpa ada yang ditutupi kuceritakan perasaan Arzen yang masih saja mengharapkan Aliya sang mantan. Serta tentang kesepakatan antara kami."Emang lu udah siap cerai dari doi, Naf?" Deva si slengean itu bertanya serius."Jika memang kami bukan jodoh untuk apa memilih bertahan," kataku tenang. Walau sebenarnya ada denyut pedih sa