"Arzen pergi diantar Diaz. Dia bilang mau keluar sebentar," lapor Bapak Ari seakan tahu isi hatiku.
Kutanggapi laporan Bapak Ari dengan anggukan. Lalu mulai memakan hidangan yang ada di meja. Ada banyak makanan yang tersedia. Daging rendang, ayam goreng, sop iga, sayur lodeh, sambal, dan perkedel. Namun, semua makanan ini terasa hambar begitu melihat ekspresi Ibu Sita.
Sepanjang acara makan mulut wanita itu tidak bersuara. Namun, matanya selalu mengawasi gerak-gerikku. Membuatku kikuk saat akan mengambil makanan yang ada. Dan aku cukup tahu diri dengan memakan makanan yang berada di jangkauan.
Beruntung Arsy pengertian. Gadis itu mengambilkan daging rendang dan ayam goreng yang berada tepat di hadapan Bapak Ari dan Ibu Sita. Ada rona kekesalan yang kutangkap dari wajah Ibu Sita melihat Arsy perhatian padaku.
Acara makan malam selesai. Aku dengan sigap membereskan meja makan. Kata Diaz, ibu dan ayahnya hanya bekerja dari pagi hingga petang saja. Jadi kalau malam begini rumah ini sudah tidak ada lagi ART dan sopir. Saat tengah mencuci piring, Arsy datang untuk membantu.
"Gak usah, Sy! Biar aku aja," cegahku pada gadis berpiama pastel itu.
"Tapi, piring kotornya ini banyak lho, Mbak," tunjuk Arsy pada bak cucian dengan piring yang menumpuk.
"Sudah biarin Nafia yang nyuci, Sy!" Tiba-tiba Ibu Sita berdiri di belakang kami. Tangannya ia lipat di dada. "Sudah menjadi kewajiban seorang menantu mengerjakan tugas rumah."
"Mamamu benar, Sy." Aku menimpali.
"Yakin gak papa nyuci piring sendirian?" tanya Arsy meyakinkan.
"Iya." Aku mengedip.
"Yodah ... aku tinggal, ya." Arsy meluyur pergi. Meninggalkan aku berdua dengan Ibu Sita.
"Kalo kamu rajin begini, saya akan menyuruh ibunya Diaz untuk pensiun saja," ujar Ibu Sita sambil terus menatapku. "Itung-itung menghemat pengeluaran uang buat bayar pembantu."
Aku menghentikan aktivitas. Ujaran bernada meremehkan itu memantik rasa sakit sekaligus kesal. Namun, aku tidak mau tersulit emosi.
Kutatap tenang wanita yang sisa-sisa kecantikannya masih nyata. Sayang cara bicaranya tidak secantik wajahnya.
"Saya adalah istri dari anak lelakimu, Bu. Jadi jika Ibu memperlakukan saya seperti pembantu, maka sama saja Ibu sedang merendahkan anak Ibu sendiri," tuturku kalem.
Ibu Sita tampak tertohok mendengar balasanku. Matanya menatapku sengit. "Pandai bicara ya kamu?" makinya terlihat kesal. Namun, setelah itu ia berlalu.
Aku bergeming beberapa saat. Lalu berdoa dalam hati, semoga aku mampu menghadapi ujian ini dengan sebaik-baiknya. Setelah merasa cukup tenang, kulanjutkan kembali mencuci piring.
Hampir satu jam aku berkutat di dapur. Ketika pekerjaan rampung, rumah sudah tampak sepi. Hanya ada Bapak Ari saja yang masih santai duduk di ruang keluarga.
Menyadari kehadiranku lelaki itu melambai. Kami menonton televisi bersama. Namun, saat jam besar berdentang sepuluh kali, Bapak Ari pamit ke kamar. Acara tadi siang membuat tubuh lelah, begitu alasannya.
Aku sendiri masih bertahan di ruang ini. Aku ingin menunggu kepulangan Arzen. Sayang hingga tengah malam lelaki yang sudah resmi menjadi imanku itu tidak juga muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya di kamar saja.
Lampu kamar kubiarkan mati. Namun, mata ini tidak kunjung terpejam. Karena tadi sore tidurku lumayan puas.
Beberapa waktu kemudian, terdengar suara derit pintu. Ketika lampu menyala, sosok Arzen telah berdiri di depan ranjang.
"Belum tidur?" Arzen bertanya datar.
"Nunggu kamu." Aku menjawab jujur dan langsung beringsut duduk.
Arzen tidak menyahut. Lelaki itu membuka pintu lemari untuk mengambil baju tidur. Dirinya berlindung pada daun pintu tersebut saat berganti pakaian.
"Harusnya gak usah nunggu aku," suruhnya sambil menutup pintu kembali. Arzen sudah memakai kaos oblong putih dan celana kolor selutut.
Perlahan dia menaiki ranjang. Kami duduk bersisian dengan jarak yang cukup jauh. Dia di ujung kanan, sedang aku di ujung ranjang sebelah kiri. Masing-masing terpekur menatap televisi yang tidak menyala.
Sunyi. Mulut kami terbisu untuk beberapa lama. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri.
"Eum ... ini malam pertama kita, ya?" ujarnya membuka kembali pembicaran.
"E-iiya." Aku menjawab sambil memilin ujung selimut.
"Bagaimana menurutmu?"
"Apa?" Aku menoleh ke arah Arzen.
"Ya, tentang malam pertama kita," balas Arzen tanpa mau memandangku.
Aku terdiam sejenak untuk berpikir. "Eum ... aku sudah menjadi istrimu dari siang tadi. Jadi ... akan kuabdikan hidupku untuk berbakti sama kamu," janjiku tulus.
Arzen berpaling. "Jadi kamu sudah siap untuk malam ini?" Lirih dia bertanya. Dan aku hanya mengangguk.
"Sudah hapal doanya?" tanyanya tanpa semangat.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan.
"Belajar dari mana?" Arzen bertanya lagi.
Aku menghembus napas dalam-dalam. "Kamu ingat? Aku sudah akan menjadi pengantin jika tidak ditabrak oleh adik kamu," tuturku sedikit menegaskan.
Arzen memegang pucuk kepalaku. Aku memejam. Mengamini doa tulus yang tengah ia lantunkan.
Ketika membuka mata, wajah Arzen sudah tepat di mukaku. Deru napasnya membelai paras. Seketika dada ini bertalu-talu.
Perlahan pemuda itu mendekatkan bibir. Jantungku rasanya kian mau melompat saja. Jujur seumur hidup ini pertama kalinya aku berdekatan dengan laki-laki seintens ini. Ketika bibir itu hendak menyentuh, aku menahan.
"Matikan dulu lampunya," pintaku lirih.
Arzen manut. Dia berdiri untuk mematikan lampu. Kini terang telah berganti temaram.
Arzen kembali mendekat. Terdengar dia menarik napas. Dia kembali mendekatkan wajah. Aku memilih menutup mata. Menunggu. Namun, hingga beberapa menit lamanya tidak kurasakan sentuhan pada wajah atau pun tubuh.
"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.
(Nafia)"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi."Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi."Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi."Malam ...." Aku membalas lirih.Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.
Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz."Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku."Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda."Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda
FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati
"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
(POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t