Share

3. Malam Pertama

"Arzen pergi diantar Diaz. Dia bilang mau keluar sebentar," lapor Bapak Ari seakan tahu isi hatiku.

Kutanggapi laporan Bapak Ari dengan anggukan. Lalu mulai memakan hidangan yang ada di meja. Ada banyak makanan yang tersedia. Daging rendang, ayam goreng, sop iga,  sayur lodeh, sambal, dan perkedel. Namun, semua makanan ini terasa hambar begitu melihat ekspresi Ibu Sita.

Sepanjang acara makan mulut wanita itu tidak bersuara. Namun, matanya selalu mengawasi gerak-gerikku. Membuatku kikuk saat akan mengambil makanan yang ada. Dan aku cukup tahu diri dengan memakan makanan yang berada di jangkauan. 

Beruntung Arsy pengertian. Gadis itu mengambilkan daging rendang dan ayam goreng yang berada tepat di hadapan Bapak Ari dan Ibu Sita. Ada rona kekesalan yang kutangkap dari wajah Ibu Sita melihat Arsy perhatian padaku.

Acara makan malam selesai. Aku dengan sigap membereskan meja makan. Kata Diaz, ibu dan ayahnya hanya bekerja dari pagi hingga petang saja. Jadi kalau malam begini rumah ini sudah tidak ada lagi ART dan sopir. Saat tengah mencuci piring, Arsy datang untuk membantu.

"Gak usah, Sy! Biar aku aja," cegahku pada gadis berpiama pastel itu.

"Tapi, piring kotornya ini banyak lho, Mbak," tunjuk Arsy pada bak cucian dengan piring yang menumpuk.

"Sudah biarin Nafia yang nyuci, Sy!" Tiba-tiba Ibu Sita berdiri di belakang kami. Tangannya ia lipat di dada. "Sudah menjadi kewajiban seorang menantu mengerjakan tugas rumah."

"Mamamu benar, Sy." Aku menimpali.

"Yakin gak papa nyuci piring sendirian?" tanya Arsy meyakinkan. 

"Iya." Aku mengedip.

"Yodah ... aku tinggal, ya." Arsy meluyur pergi. Meninggalkan aku berdua dengan Ibu Sita.

"Kalo kamu rajin begini, saya akan menyuruh ibunya Diaz untuk pensiun saja," ujar Ibu Sita sambil terus menatapku. "Itung-itung menghemat pengeluaran uang buat bayar pembantu."

Aku menghentikan aktivitas. Ujaran bernada meremehkan itu memantik rasa sakit sekaligus kesal. Namun, aku tidak mau tersulit emosi.

Kutatap tenang wanita yang sisa-sisa kecantikannya masih nyata. Sayang cara bicaranya tidak secantik wajahnya.

"Saya adalah istri dari anak lelakimu, Bu. Jadi jika Ibu memperlakukan saya seperti pembantu, maka sama saja Ibu sedang merendahkan anak Ibu sendiri," tuturku kalem.

Ibu Sita tampak tertohok mendengar balasanku. Matanya menatapku sengit. "Pandai bicara ya kamu?" makinya terlihat kesal. Namun, setelah itu ia berlalu.

Aku bergeming beberapa saat. Lalu berdoa dalam hati, semoga aku mampu menghadapi ujian ini dengan sebaik-baiknya. Setelah merasa cukup tenang, kulanjutkan kembali mencuci piring.

Hampir satu jam aku berkutat di dapur. Ketika pekerjaan rampung, rumah sudah tampak sepi. Hanya ada Bapak Ari saja yang masih santai duduk di ruang keluarga.

Menyadari kehadiranku lelaki itu melambai. Kami menonton televisi bersama. Namun, saat jam besar berdentang sepuluh kali, Bapak Ari pamit ke kamar. Acara tadi siang membuat tubuh lelah, begitu alasannya.

Aku sendiri masih bertahan di ruang ini. Aku ingin menunggu kepulangan Arzen. Sayang hingga tengah malam lelaki yang sudah resmi menjadi imanku itu tidak juga muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya di kamar saja.

Lampu kamar kubiarkan mati. Namun, mata ini tidak kunjung terpejam. Karena tadi sore tidurku lumayan puas.

Beberapa waktu kemudian, terdengar suara derit pintu. Ketika lampu menyala, sosok Arzen telah berdiri di depan ranjang.

"Belum tidur?" Arzen bertanya datar.

"Nunggu kamu." Aku menjawab jujur dan langsung beringsut duduk. 

Arzen tidak menyahut. Lelaki itu membuka pintu lemari untuk mengambil baju tidur. Dirinya berlindung pada daun pintu tersebut saat berganti pakaian.

"Harusnya gak usah nunggu aku," suruhnya sambil menutup pintu kembali. Arzen sudah memakai kaos oblong putih dan celana kolor selutut.

Perlahan dia menaiki ranjang. Kami duduk bersisian dengan jarak yang cukup jauh. Dia di ujung kanan, sedang aku di ujung ranjang sebelah kiri. Masing-masing terpekur menatap televisi yang tidak menyala. 

Sunyi. Mulut kami terbisu untuk beberapa lama. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. 

"Eum ... ini malam pertama kita, ya?" ujarnya membuka kembali pembicaran.

"E-iiya." Aku menjawab sambil memilin ujung selimut.

"Bagaimana menurutmu?"

"Apa?" Aku menoleh ke arah Arzen.

"Ya, tentang malam pertama kita," balas Arzen tanpa mau memandangku.

Aku terdiam sejenak untuk berpikir. "Eum ... aku sudah menjadi istrimu dari siang tadi. Jadi ... akan kuabdikan hidupku untuk berbakti sama kamu," janjiku tulus.

Arzen berpaling. "Jadi kamu sudah siap untuk malam ini?" Lirih dia bertanya. Dan aku hanya mengangguk. 

"Sudah hapal doanya?" tanyanya tanpa semangat. 

Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan.

"Belajar dari mana?" Arzen bertanya lagi. 

Aku menghembus napas dalam-dalam. "Kamu ingat? Aku sudah akan menjadi pengantin jika tidak ditabrak oleh adik kamu," tuturku sedikit menegaskan. 

Arzen memegang pucuk kepalaku. Aku memejam. Mengamini doa tulus yang tengah ia lantunkan. 

Ketika membuka mata, wajah Arzen sudah tepat di mukaku. Deru napasnya membelai paras. Seketika dada ini bertalu-talu. 

Perlahan pemuda itu mendekatkan bibir. Jantungku rasanya kian mau melompat saja. Jujur seumur hidup ini pertama kalinya aku berdekatan dengan laki-laki seintens ini. Ketika bibir itu hendak menyentuh, aku menahan. 

"Matikan dulu lampunya," pintaku lirih.

Arzen manut. Dia berdiri untuk mematikan lampu. Kini terang telah berganti temaram.

Arzen kembali mendekat. Terdengar dia menarik napas. Dia kembali mendekatkan wajah. Aku memilih menutup mata. Menunggu. Namun, hingga beberapa menit lamanya tidak kurasakan sentuhan pada wajah atau pun tubuh.

"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status