Share

Bab 5

"Dari awal memang ibuk tidak setuju kamu menikahi Rasti tapi kamu ngeyel, ya ini, sekarang ibumu di fitnah tidak adil dengan menantu, ibu kurang apa selama ini sama kamu Ko? Walaupun ibu gak setuju tapi ibu tetap menikahkan kalian dengan pesta besar-besaran, masih ibu bantu rumah, ibu juga yang belikan kebun sawit, biar apa? Biar rumah tangga kalian bahagia."

Ucap mertua kepada mas Riko diruang tamu rumahku. Sudah tiga hari mas Riko tidak tidur di rumah, dia tidur di rumah ibunya. Pulang hanya mengambil baju ganti saja. Mas Riko sudah mengadu kepada ibunya. Dan hari ini mereka datang ke rumah mendudukkan ku. Mas Riko gegabah, seperti anak kecil apa-apa di adukan kepada ibunya.

Ucapan ibu memang terkesan memarahi anaknya sendiri, tapi semua ucapannya menyudutkanku. Aku harus bisa menahan air mata agar tidak terjatuh, supaya bisa menjawab dan menjelaskan semuanya.

"Kamu jelaskan sama ibuk dek, tentang ucapanmu kemarin."

Ucap mas Riko memandangku, begitu juga dengan mertua. Tatapan serigala yang akan memangsa musuhnya. 

"Rasti tau semuanya dari ibu, dan Rasti masih ingat semua pemberian dan kebaikan ibu, tapi bukan itu?"

Jawabku dengan nada bergetar, aku sendirian, tak ada yang bisa membantuku. Ku remas ujang bajuku untuk mengotrol emosiku.

"Lha terus apa? Ibuk lebih sayang sama Lika? Itu maksudmu?"

Sahut ibu dengan gayanya yang seakan lagi teraniaya dengan ucapan mantu, seketika aku menunduk, karena ibu dan mas Riko menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Degupan jantungku semakin menjadi, karena pertama kalinya aku ribut dengan mertua.

"Ibuk selalu menyanjung Lika di depan teman-teman ibuk, di setiap acara yang ibuk adakan aku hanya bagian dapur tak ada bedanya dengan tetangga, tapi Lika? Dia menantu idaman ibuk, ibuk perkenalkan dengan bangga kesemua teman-teman ibuk."

Akhirnya uneg-uneg itu keluar juga. Walaupun dengan susah payah aku menyampaikannya. Menahan air mata, agar tidak terjatuh. Aku sudah siap jika harus mendengar jawaban pahit nantinya.

Mertua nampak tak suka dengan ucapanku. Raut sinisnya sudah terlihat. Mungkin kalau gak ada mas Riko aku sudah di maki-makinya.

"Kamu dengar sendiri Ko, istrimu ngomong apa? Setiap acara yang ibuk adakan, dia selalu pulang duluan, sudah datangnya telat lagi. Wajar kalau Lika yang kedepan nyuguh tamu. Tapi ibuk tidak mempermasalahkan, yang penting mantu-mantu ibuk ngumpul, kok malah ibuk di anggep mertua gak adil."

Pintar sekali mertua mempermainkan kata. Membuatku geram dan sakit hati. Ucapan yang terdengar seakan ibu lagi terpojok di telinga anaknya. Tapi terdengar memanaskan suasana di telingaku. Sebagai orang tua bukannya mendinginkan, tapi malah membuat suasana semakin panas.

Mas Riko menarik nafasnya dengan kuat dan melepaskannya dengan kasar. Mengacak rambutnya. Dia dilema.

"Cukup dek, jangan pojokkan ibuk terus, kalau di matamu, ibuk terkesan sayang sama Lika, harusnya kamu intropeksi diri."

Ucap mas Riko kesal kepadaku. Dia lebih mempercayai omongan ibunya. Membuat hatiku semakin terluka. Delapan tahun hidup bersama harusnya dia tau bagaimana sifat istrinya.

"Tapi mas, aku berkata jujur, bisa tanya kepada tetangga yang ikut bantu masak waktu itu, bagaimana ibuk memperlakukanku."

Jawabku yang masih mempertahankan bendungan air mata. Nafasku terdengar memburu. Hatiku semakin panas. Aku harus bisa membela diriku sendiri, karena mas Riko tak akan mungkin membelaku. 

"Lho lho lho kok malah bawa-bawa tetangga! Mau buat malu? Wes Ko istrimu memang gak bener."

Sahut mertua yang sudah nampak tak nyaman duduknya. Sebenernya wajahnya nampak panik ketika mendengar usulanku bertanya kepada tetangga.

"Kamu kenapa sih dek? Kamu berubah?"

Tanya mas Riko pelan seakan kecewa dengan ucapanku. 'Aku tidak berubah mas, tapi memang aku sudah tidak tahan'. Ucapku dalam hati. Mataku beradu pandang dengan mata mas Riko. Kuharap dia membaca kejujuran disana. Mertua nampak tak suka, mungkin dia takut anaknya akan mencari tau kebenarannya lewat tetangga karena ucapanku. 

"Sudah Ko, antar ibuk pulang bisa-bisa darah tinggi ibuk kumat ngadepin Rasti, mungkin dia kerasukan, nanti kita panggil kiayi untuk merukyahnya."

Ucap mertua kesal beranjak dari duduknya. Mas Riko masih terdiam memandangku. Kedua mata kami masih beradu pandang, nampak sekali kekecewaan disana.

"Dek minta maaflah sama ibuk, biar semuanya kelar, mas mohon!"

Perintah mas Riko memelas, membuat hatiku semakin sakit. Aku menggeleng. Bukannya aku tak mau meminta maaf tapi ini belum selesai. Aku tak mau dianggap memfitnah ibu.

"Kalau kamu gak mau minta maaf terus apa mau mu? Kamu senang kita berantem? Atau memang kamu ingin aku tanya-tanya ke tetangga biar semua orang tau tentang keributan kita? Ini aib keluarga dek."

Seketika air mataku luruh mendengar ucapan mas Riko. Dia memang tak mempercayai ucapanku. Terus bagaimana aku akan membuktikan kalau tanya ke tetangga yang menyaksikan perlakuan ibu kepadaku dibilang mengumbar aib?

Terasa lemas badanku. Aku bersandar, badanku bergetar. Tak tau lagi harus berkata apa. Seakan percuma, karena semua ucapanku dianggap adu domba, yang ingin membuat keributan.

"Sudah Ko, istri kayak gini masih kamu belain, ngapain juga kamu mohon-mohon nyuruh dia minta maaf sama ibuk, Rasti ini pengennya ibuk yang minta maaf sama dia, istrimu ini memang pengen membuat malu keluarga kita, ingin membuat malu ibumu."

Sahut ibuk geram dengan menuding-nuding ke arahku. Semakin deras air mataku bergulir. Aku sendirian. 

"Assalamualaikum."

Terdengar suara salam diambang pintu. Semua mata mengarah ke asal suara. Terlihat Lika dan Yuda anakku berdiri disana.

Akankah menantu pujaan akan membantu menantu yang selalu direndahkan? Atau malah sebaliknya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status