Share

Bab 6

"Maaf, tadi Lika lihat Yuda di gerbang sekolahannya, belum ada yang jemput, kebetulan Lika lewat, jadi sekalian Lika antar."

 

Ucap Lika terlihat kikuk. Mungkin merasa tak enak pada kami. Yuda langsung bergegas masuk rumah dan menyalami kami semua. Kuseka air mataku dengan perlahan, mungkin Lika sudah mendengar sebagian keributan kami.

 

"Gakpapa cah ayu, untung ada kamu, jadi Yuda nggak kelamaan nunggu disekolah,"

 

Jawab mertua, disambut dengan Lika mencium punggung tangan mertua. Manis sekali.

 

"Ni Ko, untung ada Lika, istrimu terlalu sibuk njelek-njelekin mertuanya, sampai lupa ngurus anak."

 

Jlebbb, terasa hatiku dihunus pedang yang tajam terasah. Kutatap mata mertua dengan penuh amarah. Aku bangkit dari duduk, membuat wajah ibu terlihat gelagapan. Begitu juga dengan mas Riko dan Lika. Mas Riko juga ikut berdiri. Seakan ingin menenangkanku, tapi dia terlihat serba salah.

 

"Yuda, masuk ke kamarmu!" Perintahku. Aku tak mau dia mendengar semuanya. Yuda nurut, seakan dia ketakutan. Mataku memerah.

 

"Tak ada niat sama sekali aku ingin menjelek-njelekkan atau memfitnah ibu, aku tau semua harta ini dari ibu, bukannya aku tak tau diri, tapi bukankah memang sudah menjadi kewajiban putra ibu, menafkahi anak istrinya? aku merasa ibu tak adil dengan mantu, memang iya," nafasku memburu. Kualihkan pandang ke mas Riko.

 

"Kamu dengar sendiri mas, ibumu selalu manis, memanggil nama Lika dengan sebutan cah ayu, sedangkan aku? Ibumu selalu memanggilku dengan seenaknya, drum, plendungan, sapi perah siap di korbankan, entah lah aku lupa, sebutan-sebutan yang tak pantas."

 

Gemletuk kutautkan gigiku. Kukepalkan tanganku. Geram. Hanya sekali aku tak jemput Yuda pulang sekolah, tapi ucapan mertua, seakan memang setiap hari aku lalai akan tugasku.

 

"Dek, cukup kamu keterlaluan." Bentak mas Riko hampir melayangkan tamparan.

 

"Jangan mas!" Suara Lika menghentikan niat mas Riko.

 

"Mbak tolong tahan emosi," Lika menyentuh pundakku.

 

"Sudah cah Ayu, biarkan Riko menampar istrinya yang tak tau diri ini," Umpatnya.

 

"Masih untung anak saya mau menikahi kamu, perempuan kere tak berpendidikan, sekarang kok malah memfitnah saya mertua tak adil." Umpatnya lagi.

 

"Saya memang kere, tapi saya punya harga diri, bukan saya yang mengejar-ngejar mas Riko, mas Riko lah yang mengemis cinta saya waktu itu."

 

Geram. Aku memang sangat geram. Tak berkedip mataku beradu pandang dengan mertua. Hilang rasa takutku. Karena sudah kelewatan.

 

"Kamu..." 

 

"Cukup bu, cukup mbk, mas Riko tolong bawa ibu pulang." Lika memotong omongan ibu, yang tangannya hendak menyentuhku.

 

"Dek minta maaf sama ibuk sekarang!" Bentak mas Riko. Tapi ku abaikan.

 

"Ibu memang adil membagi harta, tapi tak adil dengan membagi kasih sayang." Tandasku. Membuat raut wajah ibu semakin tak suka. Mas Riko menatapku tak percaya.

 

"Dasar mantu..."

 

"Mas Riko, antar ibu pulang, biar suasana tak semakin runyam." 

 

Lagi-lagi Lika memotong omongan ibu, yang lagi meledak emosinya. Dan menarik tanganku, membawaku untuk masuk kedalam kamar. Menenangkanku.

 

"Sudah Ko, istrimu itu keterlaluan, berani-beraninya dia bentak-bentak ibu, untung ada Lika, kalau gak ada Lika sudah ibu sobek-sobek itu mulutnya, mantu gak tau diri, sudah badan melebar kanan kiri, cantik juga nggak, ceraikan saja dia, kamu bisa nikah lagi dengan perawan yang..."

 

"Sudahlah bu, jangan semakin memperkeruh keadaan."mas Riko memotong omongan ibu.

 

"Istrimu itu tak tau diri, ngatain ibumu tak adil, kamu harusnya bela ibumu, bukan bela istrimu yang kayak gajah itu."

 

Ibu masih merepet sesukanya. Melampiaskan kemarahannya. Ku mendengar suara motor berlalu menjauh. Di dalam kamar badanku terasa lemas. Lika memelukku.

 

"Sabar mbak, jangan terpancing emosi."

 

Ucapnya memeluk dan mengusap pundakku. Kebaikan gula sudah tak terlihat lagi dimata mertua, sang kopi mencoba menenangkan. Entah menenangkan atau hanya sekedar takut kehilangan gula, terancam akan posisi enak yang dia sandang. 

 

"Lika aku tak membencimu, sama sekali tidak, kita tak pernah ada masalah selama ini."

 

Ucapku melepaskan pelukan Lika. Lika tersenyum, mengusap pundakku.

 

"Iya mbak, Lika faham." Sahutnya.

 

"Tapi Lik, aku ......."

 

Lika manggut-manggut, mendengarkan dan mencoba memahami kata perkata yang aku sampaikan. Dia tersentak tak menyangka. Menautkan kedua alisnya. Dilema.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status