Share

Gara-gara Kursi

 Baru saja aku mau mendobrak pintu yang ada di depan mata ini, ibu lebih dulu keluar dari kamar mandi yang berada di ujung.

"Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo, sini ambil berasnya," pintanya membuatku kaget sekaligus bingung, tapi aku langsung mengerjakannya.

"Berapa litar, Bu?" 

"Lima saja, soalnya kalau kami di sini kan enggak terbiasa makan banyak. Anak-anak juga, tapi kalau kamu mau makan banyak, ambil saja sepuluh," ucapnya santai, tapi kedua tanganku sudah mengepal.

"Meski aku makan banyak, aku tidak makan sampai lima litar sendiri Bu. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Aku berusaha menahan emosi dan berkata dengan tenang, tapi ibu tidak lagi bicara. Dia malah sibuk dengan sayuran yang ada di depan matanya, tapi tidak melakukan apa pun.

Aku langsung mengambil lima litar ke tempat yang biasa dipakai untuk mencuci beras.

"Bukankah kita biasa makan malam jam tujuh, Bu?" Mas Damar tiba-tiba masuk ke dalam dapur.

"Tentu. Kenapa?" Ibu tetap menjawab pertanyaan dari Mas Damar, meski terdengar tidak suka.

"Bukankah biasa pas magrib semuanya sudah siap? Kenapa sekarang memasak nasi saja belum?"

Pertanyaan Mas Damar membuatku menghentikan tangan yang sedang mencuci beras.

Benarkah apa yang dibilangnya itu, kalau iya, apa ibu punya maksud tertentu?

"Tadi Ibu sibuk, begitu juga dengan adik-adik kamu. Lagi pula mereka baru pulang kerja, bukankah kasian kalau mereka langsung bekerja setelah kerja?" Ibu menjawab dengan nada ketus dan seolah tidak terima dengan apa yang ditanyakan Mas Damar.

"Risya juga lelah, Bu. Dia baru pulang dari rumah makan, langsung bersiap ke sini. Dia bahkan melewatkan makan siang." Mas Damar langsung mengeluarkan kalimat pembelaan, tapi yang dikatakannya memang benar.

Saking bahagianya mau makan bersama keluarga Mas Damar, aku sampai tidak mau makan siang, tapi aku juga tidak mau ibu dan anak ini saling berselisih hanya gara-gara aku tidak makan siang.

"Gapapa, Mas. Aku bahagia, kok, bisa bantu Ibu." Aku tersenyum menyakinkan. "Kamu keluar saja, biar aku dan Ibu yang masak."

Karena sudah terbiasa di rumah makan, aku jadi biasa masak banyak. Lagi pula keluarga ibu di sini tidak terlalu banyak, jadi aku tidak akan kewalahan meski kerja sendirian.

Mas Damar menatapku sebentar, lalu keluar setelah melihatku mengangguk.

"Apa-apaan Si Damar ini, orang kamu juga gapapa, ya, Risya. Eh, maka dia yang sewot." Ibu langsung berkata dengan kesal dan aku hanya tersenyum menanggapi.

Dari sejak datang ke sini, hanya aku yang sibuk, dan ibu terlihat sibuk. Sedangkan anak-anak yang lain bahkan tidak kelihatan batang hidungnya. Aku sendiri tidak tahu mereka ada di mana, tapi ketika waktu makan tiba, kursi di meja makan langsung terisi penuh.

"Mas, singkirkan tanganmu!"

Aku keluar membawa mangkuk sup dan tidak sengaja melihat pemandangan yang sangat mengganggu mata.

"Ini kursi untuk istriku, Mbak kalian. Jadi, tidak bisa aku berikan untuk orang lain." Mas Damar menolak dengan keras.

"Istrimu itu tidak penting, lagi pula dia itu pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang kamu, Mas. Untuk apa dibela sampai segitunya?" teriak Wina tidak terima.

Aku yang mendengar semuanya langsung merinding. Ternyata seperti ini sikap keluarga besar Mas Damar. Pantas saja dia melarangku untuk menyetujui permintaan ibu. Tapi tidak ada gunanya kalau aku hanya menghindar, karena suatu saat hal ini pasti akan terjadi.

Kedua mataku bisa melihat jelas kebencian yang ada pada diri mereka. Padahal, aku juga bukan orang yang pemalas dan mereka tahu itu, sayangnya malah mengibarkan bendera perang.

Aku akan baik kalau mereka menunjukkan rasa hormatnya, tapi kalau tidak, jangan salahkan aku kalau langsung mengambil tindakan.

"Cukup!" Mas Damar bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah Wina. "Jaga ucapanmu sebelum tangan ini melayang ke pipimu yang menor itu," ancamnya membuatku tertawa kecil.

Aku melanjutkan langkah ketika melihat suaminya Wina hanya diam ketika melihat sesuatu hal yang tidak seharusnya terjadi. Sebagai seorang suami, dia harusnya bisa mendidik istrinya untuk menjaga mulut. Bukan malah sibuk dengan aktivitas yang sengaja dicari-cari.

"Kenapa sampai ribut-ribut?"

Sebelum aku sampai ke meja makan, ibu lebih dulu datang dan berteriak.

"Kalau adikmu mau duduk, berikan saja kursinya. Lagi pula dia baru saja pulang kerja, pasti lelah. Kalau Risya, dia bisa duduk di bawah," ucapnya tanpa memikirkan bagaimana perasanku.

Aku memang sangat menghormati beliau, tapi kalau telinga ini mendengar sesuatu yang tidak baik, mana mungkin aku akan diam.

"Ada apa ini?" Aku bertanya dengan tenang, seolah tidak mendengar dan melihat apa pun.

Melihatku mendekat, Wina segera menyingkirkan tangan Mas Damar untuk duduk di kursiku, tapi sayangnya dia gagal. Melihat dia kesusahan, aku tertawa bahagia.

Dengan gerakan yang lincah, aku berjalan ke arah kursi yang sudah di sediakan Mas Damar, dan duduk dengan tenang. Tanpa sengaja, aku menyenggol lengan Wina sampai terjatuh.

"Ah, Win, maaf. Mbak tidak melihat kamu sedang berdiri di mana." Aku bersikap seperti tidak bersalah, lalu mengambilkan piring untuk Mas Damar. "Terima kasih sudah menjaga kursi ini untukku, Mas. Kamu memang yang terbaik."

Mas Damar tersenyum lebar, tapi tidak dengan Wina dan Ibu. Sepertinya setelah ini aku harus bersiap dimusuhi oleh mereka. Padahal, sebelumnya aku menyangkal kalau hubungan di antara kita baik-baik saja. Ternyata semuanya hanya penilaianku saja dan di sini tidak ada yang baik-baik saja.

"Mbak!" bentaknya tidak terima dan ibu juga menatapku tajam. Berhubung aku juga tidak merasa melakukan kesalahan, jadi hanya diam, dan fokus mengambilkan makan untuk suamiku.

"Risya, dilarang seperti itu di rumah ini. Apalagi Wina pasti lelah karena dia baru saja pulang dari kantor. Kalau kamu kan hanya diam di rumah menghabiskan uang suami, jadi sebaiknya kamu tahu diri." Bapak berbicara tanpa berpikir membuat telur yang ada di tanganku hancur.

"Pa!" Mas Damar meninggi nada bicaranya.

Orang-orang di sini memang hanya bisa membuat emosi. Pantas saja Mas Damar enggan untuk pulang ke sini. Siapa yang akan nyaman tinggal serumah dengan orang-orang yang tidak tahu malu seperti ini?

"Kenapa? Apa yang dilakukan istrimu memang tidak pantas, Damar. Dia seharusnya mengalah kepada Wina yang kelelahan," bentak Bapak.

Aku bangkit dari duduk dan mendorong kursi bagianku ini sampai melukai lengan Wina. "Kalau kau mau, ambil saja. Tidak usah membuat drama capek segala karena baru pulang dari kantor. Baru juga kantor online yang pengikutnya baru puluhan. Aku yang pulang dari rumah makan saja tidak mengeluh, ditambah barusan masak untuk kalian semua. Mana rasa malumu?" cecarku emosi.

Mereka semua langsung terdiam dan menatapku tidak percaya. Mungkin mereka tidak menyangka aku ternyata adalah orang yang suka marah-marah, tapi bodo amat. Aku gak mau berpikir berat.

Segera aku pergi ke dapur untuk mengambil kursi plastik dan simpan di samping kursi Mas Damar, lalu duduk dan makan dengan lahap tanpa memedulikan tatapan mereka yang mematikan. Yang terpenting sekarang kenyang dulu agar kuat menghadapi mereka kalau nanti kembali menggila.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nenk SipengendaliAir
mertua macam apa berbicara sprti itu di dpn keluargax, ckckck betul2 ga beradap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status