"Ibu ngajak makan malam lagi, Say." Mas Damar masuk ke dalam kamar dengan perasan gusar. Bahkan salam pun tidak dia ucapkan dan wajahnya juga terlihat kusut.
Aku yang sedang melipat pakaian, menatap ke arahnya sejenak, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena sebentar lagi selesai.Aku mendekat ke arah Mas Damar dan duduk di sampingnya. "Memang kenapa, Mas? Bukankah ini perihal yang wajar kalau Ibu ngajak kita makan malam?" tanyaku heran.Sudah lama aku ingin menanyakan tentang sikapnya ini setiap kali ibunya mengajak kita makan malam, tapi aku tidak enak hati karena Mas Damar seringkali menghindar.Dua bulan yang lalu, aku resmi menikah dengan keluarga Mas Damar. Pria sederhana yang aku cintai sejak dulu karena kita pernah satu jelas ketika SMK. Setelah menikah aku tinggal di rumah orang tuanya selama satu minggu, lalu diajak ke rumahnya ini.Setelah pindah ke sini, aku sama sekali tidak pernah mengunjungi mereka lagi, dan mereka juga tidak ada yang datang ke sini. Kalau rasa heran, tentu saja ada. Apalagi dulu ketika kakakku menikah dengan istrinya yang sekarang, orang tuaku selalu melihat keadaan mereka.Katanya takut tidak punya uang, takut kelaparan, dan banyak hal lagi. Padahal, kakakku adalah seorang pengusaha. Tidak mungkin dia akan membuat istri yang amat dicintainya itu kelaparan. Namun, aku merasakan ada yang berbeda di sini, terlebih sikap Mas Damar yang seringkali tidak bisa ditebak jika sedang membicarakan orang tuanya.Makanya aku mau memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari tahu. Apa memang sikap mereka seperti ini, atau aku sudah melakukan kesalahan hingga membuat mereka malas untuk datang ke rumahku ini."Wajar untuk orang lain, tapi tidak wajar untuk keluargaku, Risya. Maaf atas semua sikap mereka, ya," lirihnya malah membuatku semakin merasa bersalah.Tidak melakukan kesalahan pun Mas Danar selalu mengucapkan maaf, bagaimana kalau ternyata dugaanku benar, bahwa akulah yang sebenarnya sudah membuat kesalahan?"Mas, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, tapi aku juga sangat ingin bertemu mereka, Mas. Kita sudah lama tidak datang ke rumah mereka, bukan?" tanyaku sambil menatap matanya yang menatapku nanar. "Mamaku saja sudah beberapa kali datang ke sini, berarti sekarang waktunya kita datang ke sana, Mas."Aku berusaha meyakinkan Mas Damar agar mau mengajakku ke sana. Pria yang ada di hadapanku ini menatapku lekat. "Mas tidak mau kamu terluka," lirihnya lembut dan membuatku semakin penasaran sebenarnya ada apa."Tidak, Mas. Mana mungkin wanita hebat sepertiku akan terluka? Aku kuat, loh.""Risya," panggilnya pelan."Mas, aku sungguh sangat merindukan mereka dan ingin bertemu dengan semuanya." Kembali aku memohon."Baiklah," jawabnya setuju, tapi masih terlihat berat."Tidak apa, Mas. Aku bisa menangani semuanya, kok. Lagi pula kita ke sana dengan niat yang baik, insyaallah hasilnya pasti baik." Aku menggenggam tangannya yang berkeringat dingin.Aneh, sampai segitunya sikap Mas Damar hanya karena aku ingin menyetujui ajakan makan malam Ibu?Sepertinya memang ada yang tidak beres.Aku segera bersiap, sementara Mas Damar hanya duduk di teras rumah sambil menatap bunga-bunga yang akan segera mekar"Ayo, kita berangkat sekarang, Mas!" seruku tidak sabar.Bukannya mengiyakan, Mas Damar malah menatapku ke atas hingga bawah. "Kamu kenapa pake baju ini? Coba cari yang lebih baik yang memperlihatkan sikapku yang elegan dan baik hati," pintanya yang lagi-lagi membuatku semakin heran.Aku menurut dan langsung berganti pakaian dengan yang dia maksud. "Bagaimana?" tanyaku dengan senyuman yang manis, secerah mencari sore ini."Bagus." Mas Damar mengeluarkan energi yang positif, tapi tetap saja masih duduk di kursi bambu ini."Mas, jadi berangkat tidak, kita?" tanyaku sedikit kesal karena Mas Damar mulai bermain tarik ulur."Kalau kamu mau, tentu saja jadi. Kita berangkat nanti saja habis magrib," jawabnya tiba-tiba berubah. Padahal, tadi kita sudah diskusi akan berangkat sekarang habis ashar."Mas!" Aku memanggilnya dengan sedikit kesal. "Katanya berangkat sekarang, kok, malah diundur lagi, sih?" Aku mengajukan bibir lima sentimeter."Kalau berubah-ubah lagi seperti ini, kesannya aku seperti dipermainkan." Aku terduduk lesu di sudut kamar.Mas Damar menyusul. "Baiklah, ayo, kita berangkat sekarang. Kamu seperti anak kecil kalau merajuk, bedanya kamu enggak lucu," ucapnya tidak enak didengar, tapi bodo amat. Yang penting Mas Damar sudah setuju.***Di perjalanan kita hanya saling diam, tapi wajahku tidak berhenti mencari-cari pandang ke arahnya yang fokus penyetir dengan dahi mengkerut. Seolah ada yang sedang dia pikirkan tapi aku tidak tahu apa itu.Ketika mobil kita sampai di halaman rumah bumer yang lumayan luas, Mas Damar lagi-lagi diam sambil menatapku nanar."Mas, kita pergi ke rumah orang tuamu, bulan mau perang." Aku berusaha memecah kesunyian, lalu tertawa kecil."Pokoknya kalau nanti Ibu memintamu untuk melakukan ini dan itu, kamu jangan mau. Jangan sampai kamu membuat tubuhmu lelah, ya," pesannya membuat keningku mengkerut.Banyak hal yang ingin aku tanyakan lagi, tapi Mas Damar terlihat semakin tidak tenang. Seolah sesuatu yang tidak baik akan segera terjadi.Aku mengangguk pelan, lalu meyakinkannya kalau aku enggak apa."Ayo, kita masuk!" ajaknya dan aku langsung turun dari mobil.Baru saja menginjak tanah, wanita yang sudah lama tidak bertemu itu langsung berlari ke arahku, dan memberikan pelukan. Anehnya aku tidak merasakan kehangatan ketika dipeluknya, malah lebih ke hambar."Kenapa baru datang sekarang? Padahal, Ibu sudah menunggu dari tadi siang, loh. Adik-adikmu sebagian juga sudah datang, ayo masuk!" pintanya tanpa menanyakan kabar kami terlebih dahulu.Walau aku merasa ada yang janggal, tapi aku tidak bisa bertanya atas semuanya dengan gamblang sekarang. Apalagi ibu langsung menarik tanganku agar mau masuk, sementara Mas Damar hanya mengekor."Hai, Mbak." Adik satu tingkat Mas Damar juga ikut memberikan pelukan, tapi tubuh kami sama sekali tidak menempel. Dia seolah memberikan jarak agar tubuh kita tidak bertemu.Keherananku kembali bertambah, apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui tentang keluarga besar Mas Damar ini? Sikap mereka yang sekarang berbeda jauh dengan dulu. "Wah, ada, Mbak Risya." Wina, adiknya Mas Damar hanya menyapa dari kejauhan, lalu masuk ke dalam kamarnya lagi.Aku menatap Mas Damar sekilas, tapi sepasang mata itu malah mengalihkan tatapan. Baiklah, sepertinya aku harus mencari teka-teki ini sendiri."Risya, boleh bantu Ibu cucikan beras?"Teriakan ibu dari dapur membuat fokusku terpecah, tapi aku langsung menghampirinya, lalu celingukan melihat ke segala tempat mencari beras yang hendak di cuci."Mana berasnya, Bu?" tanyaku heran, tapi wanita itu sudah tidak ada di ruangan ini lagi.Ya, ampun, padahal tadi aku langsung ke sini, tapi ibu sudah tidak ada lagi."Itu Mbak Risya kerja apa?"Tanpa sengaja aku mendengar suara yang sangat aku kenal dari ruangan yang tidak jauh dari dapur."Dia enggak kerja. Kalau kamu mau tahu, dia itu hanya numpang hidup," sahut Wina cepat membuatku tertegun.Aku? Numpang hidup?Baru saja aku mau mendobrak pintu yang ada di depan mata ini, ibu lebih dulu keluar dari kamar mandi yang berada di ujung."Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo, sini ambil berasnya," pintanya membuatku kaget sekaligus bingung, tapi aku langsung mengerjakannya."Berapa litar, Bu?" "Lima saja, soalnya kalau kami di sini kan enggak terbiasa makan banyak. Anak-anak juga, tapi kalau kamu mau makan banyak, ambil saja sepuluh," ucapnya santai, tapi kedua tanganku sudah mengepal."Meski aku makan banyak, aku tidak makan sampai lima litar sendiri Bu. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Aku berusaha menahan emosi dan berkata dengan tenang, tapi ibu tidak lagi bicara. Dia malah sibuk dengan sayuran yang ada di depan matanya, tapi tidak melakukan apa pun.Aku langsung mengambil lima litar ke tempat yang biasa dipakai untuk mencuci beras."Bukankah kita biasa makan malam jam tujuh, Bu?" Mas Damar tiba-tiba masuk ke dalam dapur."Tentu. Kenapa?" Ibu tetap menjawab pertanyaan dari Mas Damar, me
"Mau ke mana kamu?"Bumer menatap tajam ke arahku yang bangkit untuk mencuci piring kotor bekas aku dan Mas Damar makan."Mau nonton film," jawabku asal. Karena sekali lihat, mereka pasti tahu apa yang akan aku lakukan."Kalau orang tua tanya itu jawab yang benar. Jangan tidak tahu malu seperti itu!" Bapak ikut bicara, tapi sayang kata-katanya sama sekali tidak membuatku terkesan.Aku pikir bapak mertuaku ini orangnya berwibawa, keren, dan berkharisma. Nyatanya nol. Aku bahkan belum melihat kebaikannya sejak aku datang ke sini. Entahlah apa saja yang ingin mereka tunjukkanlah padaku, hanya saja aku sedang tidak ingin meladeninya. Buang-buang waktu."Tanpa bertanya pun, Bapak pasti tahu apa yang akan dilakukan istriku. Kenapa harus bertanya segala?" Mas Damar ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruang tamu."Nitip, Mbak." Wina langsung menumpuk piring bekasnya dan anak-anaknya makan. Kalau saja di sini tidak ada anak kecil, sudah pasti tadi aku memberikan pelajaran yang set
Setelah mengetahui kebenarannya, aku bergegas ke kamar mandi, dan melakukan salat."Mbak tahu bagaimana rumah Mas Damar itu, kan?" Hari ini aku sungguh sial, karena Wina sudah ada di kamar mandi. Terlebih dia mengajak Kakaknya untuk mengompori aku.Mas Damar itu anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adiknya perempuan semua dan Wina adalah anak bungsu. Mas Damar menikah paling terakhir setelah adik-adiknya menikah, apalagi perbedaan usia di antara mereka juga enggak pada jauh.Makanya ketika menikah denganku, usia Ma Damar sudah menginjak 32 tahun. Tapi karena cinta, aku hanya melihat kelebihan yang ada pada dirinya, dan tidak memedulikan kekurangannya.Sebelum menikah, aku adalah manajer di perusahaan besar, yaitu kantor perabotan rumah tangga ternama. Sedangkan Mas Damar ketika mengenalku masih sebagai staf biasa, tapi aku tetap mencintainya dalam diam karena kita enggak pacaran.Lama saling mengenal, Mas Damar mengajakku menikah ketika kontrak kerjaku habis. Kebetulan aku ker
"Kita enggak usah nginap, Sayang. Lagi pula Ibu bisa jalan." Mas Damar yang tadi sudah tegang, kembali rileks, dan duduk. Tangannya juga menggenggam tanganku agar ikut duduk. "Sekarang kita juga enggak perlu sarapan di sini, bentar lagi kita pulang, dan makan di restoran besar," lanjutnya membuatku tersenyum lebar."Iya, Mas. Aku setuju banget." Aku memeluk lengan kanannya dan ikut bersantai sambil menikmati teh botolan yang aku keluarkan dari tas, tapi kita memang hanya bawa dua."Mas, kamu enggak bisa gitu, dong. Harus kirim uang terus sama Ibu dan Bapak," bentak Wina tapi kami sama sekali tidak mendengarnya.Sejujurnya kami sudah lelah dengan sikap mereka yang selalu membalas jasa dengan air tuba. Aku enggak masalah kalau mereka memperlakukan aku dengan buruk, tapi setidaknya jaga sopan santun di hadapan Mas Damar.Makan dan semuanya yang menjadi keperluan bumer dan bapak ditanggung Mas Damar. Sementara anak-anak perempuan yang mengaku kaya itu, aku sendiri tidak tahu apa yang mer
Bab 6 Menantu Miskin di Mata MertuaHari-hariku di sini menjadi tenang. Anggap saja aku adalah ratu sementara karena di sini masih ada bulek. Beliau meminta ketiga adik iparku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Sementara aku hanya bantu-bantu saja.Karena setiap hari aku selalu lelah mengurus rumah dan rumah makan, bulek selalu memintaku untuk istirahat. Sebenarnya aku orang Jawa Barat, tapi pindah ke Jawa tengah ikut suami. Untungnya Mas Damar membeli rumah yang agak jauh dari sini, jadi aku bisa hidup dengan bebas.Awalnya aku panggil bulek dengan sebutan Uwak, tapi tidak pas karena beliau adiknya bapak mertua. Mau panggil bibi, tapi takut tidak sopan karena sikapnya sangat berwibawa. Jadi, aku ikut panggilan Mas Damar yang menurutku lebih nyaman untuk semua pihak."Nanti kalau Bulek pulang, kita juga langsung pulang saja ya, Sayang. Mas enggak mau lihat kamu terlalu lelah dan selalu dipojokkan mereka, apalagi harusnya kita masih senang-senang karena baru dua bulan menikah,
Bab 7 Menantu Miskin di Mata Mertua"Mana mungkin, Win. Kita pacaran saja belum pernah." Wanita yang ada di samping adik iparku yang suka mengarang cerita itu menjawab dengan malu-malu, tapi jawabannya itu langsung membuatku bernapas lega. Ternyata suamiku jujur.Dasar Wina, dia adalah orang pertama yang aku tahu membuat berita kebohongan tentang kakaknya. Untung saja aku mendekat, jadi bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Kalau tidak, mungkin aku sudah percaya sama gosipnya itu."Wina!" Aku memanggil sambil menepuk pundaknya pelan, tapi dia malah menatapku seperti orang yang melihat setan sambil menyebutkan air minum yang baru saja diteguknya.Tidak hanya itu, dia bahkan langsung mengucapkan terima kasih kepada wanita cantik yang sejak tadi menjadi teman ngobrolnya itu, lalu berlari menjauh dari pandanganku ke arah parkiran.Tanpa menunggu, dia menjalankan motornya begitu saja meninggalkan aku seorang diri. Karena mengejar pun percuma, aku memilih untuk duduk di kedai bakso in
Bab 8 Menantu Miskin di Mata Mertua"Wina!" Bulek berteriak sambil membawa kayu kecil. "Bisa-bisanya kamu melarikan diri dari Bulek dan membuat masalah di sini!"Aku tercengang sambil memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa semuanya bergerak begitu saja dengan bebas sedangkan tubuhku malah seperti ada yang merantai?Belum sempat aku bertanya tentang amnesia itu, sekarang bulek malah datang. Sepertinya bulek tidak ingin aku mengetahui sesuatu tentang Mas Damar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?Entah dari mana bulek mendapatkan benda yang biasa dipakai mengukus dan dipukulkan ke kepala Wina."Apa yang kau lakukan di sini, hah?" teriaknya terdengar sangat marah. "Sudah tidak mau bayar belanjaan, meninggalkan Risya sendiri, bergosip, dan sekarang malah membuat berita yang tidak-tidak. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"Aku tersenyum lebar ketika mendengar ocehan bulek. Ternyata amnesia yang dimaksud Wina itu hanyalah kebohongan semata. Hampir saja aku percaya de
Bab 9 Menantu Miskin di Mata Mertua"Katakan sekali lagi!" titah Mas Damar setelah sampai di kamar mereka. Ah, tidak, memang hanya dia yang kembali melangkah sementara aku dan bulek masih mematung di tempat yang tadi."Apa?" tanya Wina dengan suara yang terdengar gemetaran."Apa yang kau katakan barusan!" bentak Mas Damar tanpa memedulikan suaminya.Aku dan bulek segera mendekat, tapi ketika aku mau masuk, tangan ini segera ditahan sama bulek."Jangan dulu, biarkan saja. Kecuali kalau dia sudah tidak bisa menguasai emosinya," ucapnya dan aku hanya bisa diam sambil memperhatikan apa yang akan Mas Damar lakukan.Aku takut dia akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, apalagi kali ini Wina memang sudah kelewatan. "Katakan apa yang kamu katakan tadi di depan Mas sekarang, Wina," pinta suamiku lagi dengan nada bicara yang lebih rendah. Sepertinya dia tahu kalau aku ada di sini dan tidak mau emosinya terlihat olehku.Sejak menikah, aku memang belum pernah tahu bagaimana marah