Share

Menantu Miskin di Mata Mertua
Menantu Miskin di Mata Mertua
Penulis: Ucu Nurhami Putri

Numpang Hidup

 "Ibu ngajak makan malam lagi, Say." Mas Damar masuk ke dalam kamar dengan perasan gusar. Bahkan salam pun tidak dia ucapkan dan wajahnya juga terlihat kusut.

Aku yang sedang melipat pakaian, menatap ke arahnya sejenak, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena sebentar lagi selesai.

Aku mendekat ke arah Mas Damar dan duduk di sampingnya. "Memang kenapa, Mas? Bukankah ini perihal yang wajar kalau Ibu ngajak kita makan malam?" tanyaku heran.

Sudah lama aku ingin menanyakan tentang sikapnya ini setiap kali ibunya mengajak kita makan malam, tapi aku tidak enak hati karena Mas Damar seringkali menghindar.

Dua bulan yang lalu, aku resmi menikah dengan keluarga Mas Damar. Pria sederhana yang aku cintai sejak dulu karena kita pernah satu jelas ketika SMK. Setelah menikah aku tinggal di rumah orang tuanya selama satu minggu, lalu diajak ke rumahnya ini.

Setelah pindah ke sini, aku sama sekali tidak pernah mengunjungi mereka lagi, dan mereka juga tidak ada yang datang ke sini. Kalau rasa heran, tentu saja ada. Apalagi dulu ketika kakakku menikah dengan istrinya yang sekarang, orang tuaku selalu melihat keadaan mereka.

Katanya takut tidak punya uang, takut kelaparan, dan banyak hal lagi. Padahal, kakakku adalah seorang pengusaha. Tidak mungkin dia akan membuat istri yang amat dicintainya itu kelaparan. Namun, aku merasakan ada yang berbeda di sini, terlebih sikap Mas Damar yang seringkali tidak bisa ditebak jika sedang membicarakan orang tuanya.

Makanya aku mau memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari tahu. Apa memang sikap mereka seperti ini, atau aku sudah melakukan kesalahan hingga membuat mereka malas untuk datang ke rumahku ini.

"Wajar untuk orang lain, tapi tidak wajar untuk keluargaku, Risya. Maaf atas semua sikap mereka, ya," lirihnya malah membuatku semakin merasa bersalah.

Tidak melakukan kesalahan pun Mas Danar selalu mengucapkan maaf, bagaimana kalau ternyata dugaanku benar, bahwa akulah yang sebenarnya sudah membuat kesalahan?

"Mas, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, tapi aku juga sangat ingin bertemu mereka, Mas. Kita sudah lama tidak datang ke rumah mereka, bukan?" tanyaku sambil menatap matanya yang menatapku nanar. "Mamaku saja sudah beberapa kali datang ke sini, berarti sekarang waktunya kita datang ke sana, Mas."

Aku berusaha meyakinkan Mas Damar agar mau mengajakku ke sana. 

Pria yang ada di hadapanku ini menatapku lekat. "Mas tidak mau kamu terluka," lirihnya lembut dan membuatku semakin penasaran sebenarnya ada apa.

"Tidak, Mas. Mana mungkin wanita hebat sepertiku akan terluka? Aku kuat, loh."

"Risya," panggilnya pelan.

"Mas, aku sungguh sangat merindukan mereka dan ingin bertemu dengan semuanya." Kembali aku memohon.

"Baiklah," jawabnya setuju, tapi masih terlihat berat.

"Tidak apa, Mas. Aku bisa menangani semuanya, kok. Lagi pula kita ke sana dengan niat yang baik, insyaallah hasilnya pasti baik." Aku menggenggam tangannya yang berkeringat dingin.

Aneh, sampai segitunya sikap Mas Damar hanya karena aku ingin menyetujui ajakan makan malam Ibu?

Sepertinya memang ada yang tidak beres.

Aku segera bersiap, sementara Mas Damar hanya duduk di teras rumah sambil menatap bunga-bunga yang akan segera mekar

"Ayo, kita berangkat sekarang, Mas!" seruku tidak sabar.

Bukannya mengiyakan, Mas Damar malah menatapku ke atas hingga bawah. "Kamu kenapa pake baju ini? Coba cari yang lebih baik yang memperlihatkan sikapku yang elegan dan baik hati," pintanya yang lagi-lagi membuatku semakin heran.

Aku menurut dan langsung berganti pakaian dengan yang dia maksud. "Bagaimana?" tanyaku dengan senyuman yang manis, secerah mencari sore ini.

"Bagus." Mas Damar mengeluarkan energi yang positif, tapi tetap saja masih duduk di kursi bambu ini.

"Mas, jadi berangkat tidak, kita?" tanyaku sedikit kesal karena Mas Damar mulai bermain tarik ulur.

"Kalau kamu mau, tentu saja jadi. Kita berangkat nanti saja habis magrib," jawabnya tiba-tiba berubah. Padahal, tadi kita sudah diskusi akan berangkat sekarang habis ashar.

"Mas!" Aku memanggilnya dengan sedikit kesal. "Katanya berangkat sekarang, kok, malah diundur lagi, sih?" Aku mengajukan bibir lima sentimeter.

"Kalau berubah-ubah lagi seperti ini, kesannya aku seperti dipermainkan." Aku terduduk lesu di sudut kamar.

Mas Damar menyusul. "Baiklah, ayo, kita berangkat sekarang. Kamu seperti anak kecil kalau merajuk, bedanya kamu enggak lucu," ucapnya tidak enak didengar, tapi bodo amat. Yang penting Mas Damar sudah setuju.

***

Di perjalanan kita hanya saling diam, tapi wajahku tidak berhenti mencari-cari pandang ke arahnya yang fokus penyetir dengan dahi mengkerut. Seolah ada yang sedang dia pikirkan tapi aku tidak tahu apa itu.

Ketika mobil kita sampai di halaman rumah bumer yang lumayan luas, Mas Damar lagi-lagi diam sambil menatapku nanar.

"Mas, kita pergi ke rumah orang tuamu, bulan mau perang." Aku berusaha memecah kesunyian, lalu tertawa kecil.

"Pokoknya kalau nanti Ibu memintamu untuk melakukan ini dan itu, kamu jangan mau. Jangan sampai kamu membuat tubuhmu lelah, ya," pesannya membuat keningku mengkerut.

Banyak hal yang ingin aku tanyakan lagi, tapi Mas Damar terlihat semakin tidak tenang. Seolah sesuatu yang tidak baik akan segera terjadi.

Aku mengangguk pelan, lalu meyakinkannya kalau aku enggak apa.

"Ayo, kita masuk!" ajaknya dan aku langsung turun dari mobil.

Baru saja menginjak tanah, wanita yang sudah lama tidak bertemu itu langsung berlari ke arahku, dan memberikan pelukan. Anehnya aku tidak merasakan kehangatan ketika dipeluknya, malah lebih ke hambar.

"Kenapa baru datang sekarang? Padahal, Ibu sudah menunggu dari tadi siang, loh. Adik-adikmu sebagian juga sudah datang, ayo masuk!" pintanya tanpa menanyakan kabar kami terlebih dahulu.

Walau aku merasa ada yang janggal, tapi aku tidak bisa bertanya atas semuanya dengan gamblang sekarang. Apalagi ibu langsung menarik tanganku agar mau masuk, sementara Mas Damar hanya mengekor.

"Hai, Mbak." Adik satu tingkat Mas Damar juga ikut memberikan pelukan, tapi tubuh kami sama sekali tidak menempel. Dia seolah memberikan jarak agar tubuh kita tidak bertemu.

Keherananku kembali bertambah, apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui tentang keluarga besar Mas Damar ini? Sikap mereka yang sekarang berbeda jauh dengan dulu. 

"Wah, ada, Mbak Risya." Wina, adiknya Mas Damar hanya menyapa dari kejauhan, lalu masuk ke dalam kamarnya lagi.

Aku menatap Mas Damar sekilas, tapi sepasang mata itu malah mengalihkan tatapan. Baiklah, sepertinya aku harus mencari teka-teki ini sendiri.

"Risya, boleh bantu Ibu cucikan beras?"

Teriakan ibu dari dapur membuat fokusku terpecah, tapi aku langsung menghampirinya, lalu celingukan melihat ke segala tempat mencari beras yang hendak di cuci.

"Mana berasnya, Bu?" tanyaku heran, tapi wanita itu sudah tidak ada di ruangan ini lagi.

Ya, ampun, padahal tadi aku langsung ke sini, tapi ibu sudah tidak ada lagi.

"Itu Mbak Risya kerja apa?"

Tanpa sengaja aku mendengar suara yang sangat aku kenal dari ruangan yang tidak jauh dari dapur.

"Dia enggak kerja. Kalau kamu mau tahu, dia itu hanya numpang hidup," sahut Wina cepat membuatku tertegun.

Aku? Numpang hidup?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status