"Mau ke mana kamu?"
Bumer menatap tajam ke arahku yang bangkit untuk mencuci piring kotor bekas aku dan Mas Damar makan."Mau nonton film," jawabku asal. Karena sekali lihat, mereka pasti tahu apa yang akan aku lakukan."Kalau orang tua tanya itu jawab yang benar. Jangan tidak tahu malu seperti itu!" Bapak ikut bicara, tapi sayang kata-katanya sama sekali tidak membuatku terkesan.Aku pikir bapak mertuaku ini orangnya berwibawa, keren, dan berkharisma. Nyatanya nol. Aku bahkan belum melihat kebaikannya sejak aku datang ke sini. Entahlah apa saja yang ingin mereka tunjukkanlah padaku, hanya saja aku sedang tidak ingin meladeninya. Buang-buang waktu."Tanpa bertanya pun, Bapak pasti tahu apa yang akan dilakukan istriku. Kenapa harus bertanya segala?" Mas Damar ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruang tamu."Nitip, Mbak." Wina langsung menumpuk piring bekasnya dan anak-anaknya makan. Kalau saja di sini tidak ada anak kecil, sudah pasti tadi aku memberikan pelajaran yang setimpal.Aku mengambil tumpukan dari Wina dan membawanya ke belakang, tapi hanya bekasku dan Mas Damar yang kucuci, bekas Wina aku simpan di wastafel."Sudah?" tanya Mas Damar sambil mengusap kepalaku."Sudah, Mas. Aku hanya cuci bekas kita saja. Lagi pula dia juga punya tangan, kenapa hanya aku yang cuci?" Aku tersenyum lebar ke arah Mas Damar dan suamiku juga membalasnya demikian.Sungguh suami idaman. Dia bahkan tidak pernah jauh dariku sejak datang ke sini. Mungkin karena suamiku juga takut aku kenapa-kenapa.Aku dan Mas Damar kembali pergi ke ruang televisi untuk menonton acara memasak yang selama ini selalu aku ikuti untuk menambah menu di rumah makan. Karena kalau menunya itu-itu saja, orang-orang akan cepat bosan."Mbak, apa yang kamu lakukan di dapur?" Wina melipat tangannya di dada dengan wajah marah."Aku enggak lagi di dapur." Aku menjawab singkat."Ih! Kenapa piringnya gak dicuci semua?" tanyanya menantang."Lah, itu piring bekas siapa? Kamu dan keluarga kecilmu, bukan?" tanyaku sambil menatapnya penuh seringai. "Aku itu tidak mau mengambil pahala yang sudah Allah siapkan untukmu, jadi membiarkan kamu sendiri yang menjemput pahala itu.""Mbak!" Wina kembali berteriak, kebetulan suaminya juga ikut ke sini."Hentikan, Win. Di sini ada anak-anak, jangan buat martabatmu turun terus di hadapan mereka," bentak suaminya dengan nada yang menurutku masih sangat halus.Mungkin selama ini suaminya Wina selalu mengalah dengan istrinya yang super enggak tahu malu ini."Apa, sih, Mas? Kalau kamu mau jaga anak-anak, harusnya kamu enggak ikut ke sini. Jadi aku bisa puas-puasin buat si pengangguran ini tahu diri," sinisnya dengan tatapan tajam ke arah suaminya. Sungguh itu bukan tatapan seorang istri yang shalihah. Karena ciri istri salihah itu ketika ditatap wajahnya, membuat suami bahagia. Bukan malah marah-marah seperti ini di hadapan aku dan Mas Damar."Aku sengaja ikut karena sudah tahu kamu akan melakukan hal-hal gila, Wina. Hentikan semua itu, bagaimanapun juga Mbak Risya adalah kakak ipar kamu walau usianya lebih muda dan lebih cantik darimu," jelas suaminya membuatku dan Mas Damar tersenyum lebar, tapi tidak untuk Wina."Lebih tua dan lebih cantik dariku? Sepertinya kamu tidak melihat kami dengan jelas, Mas." Wina menatapku dengan kebencian yang meningkat berkali-kali. "Aku dan dia itu hanya beda beberapa bulan, kenapa juga jadi dia yang lebih cantik? Harusnya aku, Mas. Kalau kamu suka memuji wanita lain seperti ini, akan aku adukan sama orang tua kamu," ancamnya sambil menunjuk-nunjuk suaminya.Duh, aku sungguh prihatin dengan suaminya yang masih bertahan dengan Wina. Aku saja yang baru melihat wajah aslinya sudah tidak sanggup."Terserah, aku sudah malas berdebat denganmu. Aku akan tidur dengan anak-anak lebih dulu di kamar, cepat menyusul kalau tidak mau pintunya segera aku kunci," ancam suaminya itu, lalu berjalan menjauh.Wina memberikan tatapan maut padaku, lalu ikut menyusul suaminya dengan langkah marah.Aku dan Mas Damar tertawa pelan. "Sepertinya aku sekarang tahu kenapa kamu selalu melarangku datang ke sini," ucapku lirih."Maaf, ya. Kalau mereka enggak seperti ini, Mas pasti sudah anak kamu sejak dulu. Mas kadang malu kalau Mama datang ke rumah dan memperlakukan kita dengan baik, andai saja Ibu dan Bapak juga begitu," lirihnya penuh rasa bersalah."Enggak apa, Mas. Semuanya sudah Allah takdirkan dan kita tidak bisa apa-apa selain menerimanya dengan ikhlas. Cuman aku enggak bisa ikhlas seperti orang-orang. Kalau ada yang tidak aku suka, pasti aku langsung berontak." Aku berkata jujur."Bagus, Mas lebih suka kamu seperti itu daripada memendam semuanya sendiri. Kalau kamu mau, bersandarlah di bahu Mas kapan saja," tawarnya, lalu kita kembali tertawa.Aku dan Mas Damar langsung ke kamar ketika mendengar suara ocehan ibu yang menurut suamiku tidak akan ada beresnya. Jadi kamu bersembunyi di tempat tidur dengan tubuh ditutupi selimut tebal karena udara di sini dingin."Padahal, kita enggak perlu sembunyi seperti ini, Mas. Kan pintunya juga sudah dikunci." Aku mendongkak menatapnya."Gapapa, anggap saja kita sedang bulan madu," bisiknya enggak nyambung.Tanpa sadar, kami berdua tertidur pulas. Hingga kedua mataku bangun begitu saja dengan kesadaran yang sudah terisi penuh. Aku memutar jam dinding yang ternyata sudah jam lima pagi. Kami kesiangan."Mas, ayo, bangun ke masjid sudah jam lima!" Aku membangunkan Mas Damar yang kedua matanya langsung terbuka ketika mendengar hal lima.Kami langsung keluar dari kamar dan aku menghentikan langsung ketika tidak sengaja mendengar percakapan ini dan bapak."Aku enggak terima anakku diperlakukan seperti semalam sama pengangguran itu." Terdengar ibu menggerutu."Memangnya siapa yang terima? Aku juga enggak, cuman tetap saja Risya juga menantu kita," sahut bapak dan aku lega ketika mendengarnya. Ternyata bapak tidak pilih kasih."Hanya menantu, Pak, enggak lebih. Sementara Wina adalah anak kebanggaan kita." Ibu semakin meradang."Iya, tapi berkat dia juga Damar selalu memberikan uang pada kita, Bu. Sementara Wina, dia hanya membeli kebutuhannya saja. Sama anak-anaknya saja seringkali dia tidak peduli." Bapak masih membela.Alhamdulillah, akhirnya mertuaku ada yang waras."Ih, Bapak itu gimana, sih? Kalau memang ada di pihak Risya, kenapa semalam membela Wina, hah? Apa Bapak tidak tahu piring bekas makan malam pun aku yang cucikan. Menantu macam apa dia itu sampai tega membiarkan aku melakukannya sendiri!" Ibu tidak berhenti marah-marah."Jangan keras-keras, Bu. Tadi Bapak enggak sengaja dengar pintu kamar mereka terbuka, bagaimana kalau Damar dengar? Kan semalam dia sudah bilang kita jangan menyakiti Risya lagi, atau dia tidak akan kirim uang untuk bulan-bulan selanjutnya," larang bapak membuatku geram. Ternyata orang ini bersikap baik karena ada sesuatu. Heh, ternyata aku sudah salah menilai. Keduanya tidak ada yang baik.Setelah mengetahui kebenarannya, aku bergegas ke kamar mandi, dan melakukan salat."Mbak tahu bagaimana rumah Mas Damar itu, kan?" Hari ini aku sungguh sial, karena Wina sudah ada di kamar mandi. Terlebih dia mengajak Kakaknya untuk mengompori aku.Mas Damar itu anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adiknya perempuan semua dan Wina adalah anak bungsu. Mas Damar menikah paling terakhir setelah adik-adiknya menikah, apalagi perbedaan usia di antara mereka juga enggak pada jauh.Makanya ketika menikah denganku, usia Ma Damar sudah menginjak 32 tahun. Tapi karena cinta, aku hanya melihat kelebihan yang ada pada dirinya, dan tidak memedulikan kekurangannya.Sebelum menikah, aku adalah manajer di perusahaan besar, yaitu kantor perabotan rumah tangga ternama. Sedangkan Mas Damar ketika mengenalku masih sebagai staf biasa, tapi aku tetap mencintainya dalam diam karena kita enggak pacaran.Lama saling mengenal, Mas Damar mengajakku menikah ketika kontrak kerjaku habis. Kebetulan aku ker
"Kita enggak usah nginap, Sayang. Lagi pula Ibu bisa jalan." Mas Damar yang tadi sudah tegang, kembali rileks, dan duduk. Tangannya juga menggenggam tanganku agar ikut duduk. "Sekarang kita juga enggak perlu sarapan di sini, bentar lagi kita pulang, dan makan di restoran besar," lanjutnya membuatku tersenyum lebar."Iya, Mas. Aku setuju banget." Aku memeluk lengan kanannya dan ikut bersantai sambil menikmati teh botolan yang aku keluarkan dari tas, tapi kita memang hanya bawa dua."Mas, kamu enggak bisa gitu, dong. Harus kirim uang terus sama Ibu dan Bapak," bentak Wina tapi kami sama sekali tidak mendengarnya.Sejujurnya kami sudah lelah dengan sikap mereka yang selalu membalas jasa dengan air tuba. Aku enggak masalah kalau mereka memperlakukan aku dengan buruk, tapi setidaknya jaga sopan santun di hadapan Mas Damar.Makan dan semuanya yang menjadi keperluan bumer dan bapak ditanggung Mas Damar. Sementara anak-anak perempuan yang mengaku kaya itu, aku sendiri tidak tahu apa yang mer
Bab 6 Menantu Miskin di Mata MertuaHari-hariku di sini menjadi tenang. Anggap saja aku adalah ratu sementara karena di sini masih ada bulek. Beliau meminta ketiga adik iparku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Sementara aku hanya bantu-bantu saja.Karena setiap hari aku selalu lelah mengurus rumah dan rumah makan, bulek selalu memintaku untuk istirahat. Sebenarnya aku orang Jawa Barat, tapi pindah ke Jawa tengah ikut suami. Untungnya Mas Damar membeli rumah yang agak jauh dari sini, jadi aku bisa hidup dengan bebas.Awalnya aku panggil bulek dengan sebutan Uwak, tapi tidak pas karena beliau adiknya bapak mertua. Mau panggil bibi, tapi takut tidak sopan karena sikapnya sangat berwibawa. Jadi, aku ikut panggilan Mas Damar yang menurutku lebih nyaman untuk semua pihak."Nanti kalau Bulek pulang, kita juga langsung pulang saja ya, Sayang. Mas enggak mau lihat kamu terlalu lelah dan selalu dipojokkan mereka, apalagi harusnya kita masih senang-senang karena baru dua bulan menikah,
Bab 7 Menantu Miskin di Mata Mertua"Mana mungkin, Win. Kita pacaran saja belum pernah." Wanita yang ada di samping adik iparku yang suka mengarang cerita itu menjawab dengan malu-malu, tapi jawabannya itu langsung membuatku bernapas lega. Ternyata suamiku jujur.Dasar Wina, dia adalah orang pertama yang aku tahu membuat berita kebohongan tentang kakaknya. Untung saja aku mendekat, jadi bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Kalau tidak, mungkin aku sudah percaya sama gosipnya itu."Wina!" Aku memanggil sambil menepuk pundaknya pelan, tapi dia malah menatapku seperti orang yang melihat setan sambil menyebutkan air minum yang baru saja diteguknya.Tidak hanya itu, dia bahkan langsung mengucapkan terima kasih kepada wanita cantik yang sejak tadi menjadi teman ngobrolnya itu, lalu berlari menjauh dari pandanganku ke arah parkiran.Tanpa menunggu, dia menjalankan motornya begitu saja meninggalkan aku seorang diri. Karena mengejar pun percuma, aku memilih untuk duduk di kedai bakso in
Bab 8 Menantu Miskin di Mata Mertua"Wina!" Bulek berteriak sambil membawa kayu kecil. "Bisa-bisanya kamu melarikan diri dari Bulek dan membuat masalah di sini!"Aku tercengang sambil memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa semuanya bergerak begitu saja dengan bebas sedangkan tubuhku malah seperti ada yang merantai?Belum sempat aku bertanya tentang amnesia itu, sekarang bulek malah datang. Sepertinya bulek tidak ingin aku mengetahui sesuatu tentang Mas Damar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?Entah dari mana bulek mendapatkan benda yang biasa dipakai mengukus dan dipukulkan ke kepala Wina."Apa yang kau lakukan di sini, hah?" teriaknya terdengar sangat marah. "Sudah tidak mau bayar belanjaan, meninggalkan Risya sendiri, bergosip, dan sekarang malah membuat berita yang tidak-tidak. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"Aku tersenyum lebar ketika mendengar ocehan bulek. Ternyata amnesia yang dimaksud Wina itu hanyalah kebohongan semata. Hampir saja aku percaya de
Bab 9 Menantu Miskin di Mata Mertua"Katakan sekali lagi!" titah Mas Damar setelah sampai di kamar mereka. Ah, tidak, memang hanya dia yang kembali melangkah sementara aku dan bulek masih mematung di tempat yang tadi."Apa?" tanya Wina dengan suara yang terdengar gemetaran."Apa yang kau katakan barusan!" bentak Mas Damar tanpa memedulikan suaminya.Aku dan bulek segera mendekat, tapi ketika aku mau masuk, tangan ini segera ditahan sama bulek."Jangan dulu, biarkan saja. Kecuali kalau dia sudah tidak bisa menguasai emosinya," ucapnya dan aku hanya bisa diam sambil memperhatikan apa yang akan Mas Damar lakukan.Aku takut dia akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, apalagi kali ini Wina memang sudah kelewatan. "Katakan apa yang kamu katakan tadi di depan Mas sekarang, Wina," pinta suamiku lagi dengan nada bicara yang lebih rendah. Sepertinya dia tahu kalau aku ada di sini dan tidak mau emosinya terlihat olehku.Sejak menikah, aku memang belum pernah tahu bagaimana marah
Bab 10 Menantu Miskin di Mata MertuaWina menatapku penuh amarah dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Beberapa detik kemudian, dia berusaha mengayunkan tangannya ke pipiku, tapi aku bukan wanita lemah yang hanya akan diam saja ketika diperlakukan seenaknya. Aku menahan tangannya."Lepaskan! Kau memang berhak mendapatkan tamparan dariku karena sudah meracuni pikiran Mas Damar, kakakku," bentaknya dengan emosi yang tidak terkendali.Bulek dan Maya berusaha untuk menahannya, tapi tidak berhasil. Sedangkan suaminya sedang membawa kedua anaknya jalan-jalan, suaminya Maya sedang di kamar mandi, dan suami yang satunya lagi sudah berangkat kerja.Kini di rumah hanya ada wanita. Prianya hanya ada bapak, sayangnya hanya menonton dari kejauhan. Seolah emosi anaknya ini adalah hal yang menarik untuk ditonton atau mungkin dijadikan drama."Dia memang kakakmu, tapi sekarang dia sudah menjadi suamiku. Aku yang lebih berhak atas dirinya daripada dirimu yang hanya sebatas adik," tegasku dan mendoro
Bab 11 Menantu Miskin di Mata MertuaOrang-orang yang tadi bersorak gembira, malah menatapnya dengan raut wajah penuh tawa. Padahal, mereka adalah orang-orang yang selama ini mengaku dekat dengan Wina, tapi sikap mereka menunjukkan seolah jarak di antara mereka terbentang luas.Aku sendiri tidak bergerak sedikit pun, begitu juga ibu yang sejak tadi sangat antusias untuk kemenangan dirinya. Tapi sekarang wanita yang merasa hebat itu sudah tidak berdaya. Bahkan dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, lalu bangun. Dia hanya mampu berbaring dan sepertinya sambil menahan rasa sakit yang amat sangat.Anehnya aku juga tidak mau membantunya. Hanya melihat dari kejauhan sambil meneguk air minum yang tadi belum habis dengan duduk cantik.Lima menit pun berlalu, tapi masih belum ada yang menolongnya. Wina juga masih belum bisa bangun. Beberapa kali dia berusaha, tapi beberapa kali juga usahanya kandas begitu saja.Bukannya aku tidak ingin menolong, tapi aku ingin dia, ibu, dan orang-orang yang men