Setelah mengetahui kebenarannya, aku bergegas ke kamar mandi, dan melakukan salat.
"Mbak tahu bagaimana rumah Mas Damar itu, kan?" Hari ini aku sungguh sial, karena Wina sudah ada di kamar mandi. Terlebih dia mengajak Kakaknya untuk mengompori aku.Mas Damar itu anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adiknya perempuan semua dan Wina adalah anak bungsu. Mas Damar menikah paling terakhir setelah adik-adiknya menikah, apalagi perbedaan usia di antara mereka juga enggak pada jauh.Makanya ketika menikah denganku, usia Ma Damar sudah menginjak 32 tahun. Tapi karena cinta, aku hanya melihat kelebihan yang ada pada dirinya, dan tidak memedulikan kekurangannya.Sebelum menikah, aku adalah manajer di perusahaan besar, yaitu kantor perabotan rumah tangga ternama. Sedangkan Mas Damar ketika mengenalku masih sebagai staf biasa, tapi aku tetap mencintainya dalam diam karena kita enggak pacaran.Lama saling mengenal, Mas Damar mengajakku menikah ketika kontrak kerjaku habis. Kebetulan aku kerja di perusahaan itu memang mengikuti sistem kontrak, tapi gajinya bukan main.Rumah yang aku tinggali dengan Mas Damar adalah rumah yang sengaja dibuat sederhana karena aku takut rumah yang terlalu luas. Namun, aku tidak tahu kalau rumah itu dan rumah makanku akan menjadi sumber kebencian keluarga Mas Damar padaku. Bahkan mertua yang awalnya aku pikir menyayangiku, ternyata semuanya hanya akting saja.Awalnya mereka memintaku untuk tinggal di rumahnya itu, enggak perlu pindah ke rumah baru. Tapi Mas Damar menolak dengan tegas, aku masih ingat dengan jelas katanya pria itu tidak mau membuatku terlalu lelah apalagi terluka.Jujur waktu itu aku masih belum tahu maksud dari perkataannya, tapi sekarang aku sudah paham, bahkan sangat paham. Sejauh ini memang hanya orang tua Mas Damar dan Wina yang menunjukkan sikap tidak sukanya, sementara kedua adiknya lagi masih menunjukkan rasa hormat, tapi tetap saja aku tidak nyaman berada di rumah ini."Kecil banget, Mbak. Melihatnya saja aku enggan untuk masuk. Jauh dengan rumahku yang tiga lantai. Pokoknya jauh lebih parah dari rumah ini," jelas Wina menggebu-gebu, "dia bahkan tidak punya pembantu dan semuanya dikerjakan sendirian."Mendengar apa yang Wina katakan, hatiku kembali memanas. Ingin rasanya aku dobrak pintu ini, tapi aku masih penasaran dengan jawaban kedua adik Mas Damar.Tadi ketika bangun, aku sudah digosipkan mertua, sekarang ipar. Ternyata kehidupanku penuh dengan gosip. "Sudahlah, Win. Jangan dibicarakan lagi. Mbak juga tahu bagaimana kehidupan Mas Damar. Apa pun itu, yang penting mereka bahagia." Adiknya Mas Damar yang pertama ini membuat suasana hatiku berubah menjadi adem."Bahagia? Mana ada orang miskin seperti mereka bahagia, Mas? Hanya Mas Damar yang kerja banting tulang, sementara istrinya hanya mencari kesibukan yang sia-sia saja. Dasar wanita bodoh," desah Wina lagi membuatku benar-benar emosi.Aku terpaksa membuka pintu kamar yang ada di depanku ini dan terlihatlah Wina, Rani, dan Maya yang sama-sama sedang menyampah di tempat tidur."Apa yang kalian lakukan di kamar tamu ini?" Aku melipat tangan di dada sambil memberikan tatapan seperti bos."Kenapa juga kita harus memberitahu? Kurang kerjaan banget, sih. Padahal sudah dengar semuanya, tapi malah pura-pura bude," ucap Wina lagi dengan sinis.Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan membuat tekanan video untuk diperlihatkan kepada bumer. Walau ibu tidak suka padaku, tapi kalau melihat kamarnya yang berantakan seperti kapal pecah ini, tentu saja ibu akan marah. Sifat aslinya akan keluar."Apa yang kau lakukan? Hentikan!"Wina yang tahu bagaimana sikap ibunya, langsung berteriak ke arahku dan berusaha merebut ponsel yang sedang aku gunakan, sayangnya sekali didorong saja dia langsung tumbang. Sepetinya dia tidak suka olahraga."Maaf, ya, Win. Sebenarnya aku enggak suka cari masalah sama kamu, tapi kamu sendiri yang mengawali permainan ini." Aku menatapnya menyeringai, lalu menatap tajam ke arah Rani dan Maya sebagai bentuk ancaman kalau dia juga bisa berada di posisi yang sama seperti Wina kalau membuat gara-gara padaku.Maya dan Rani hanya memalingkan wajahnya. Dari kemarin mereka memang selalu bersikap seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Wina. Agak kasihan sebenarnya sama adik bungsu suamiku ini, tapi sikapnya benar-benar sudah membuatku marah."Brengsek!" makinya tidak terima, tapi lagi-lagi aku mendorongnya sampai terjatuh di atas tempat tidur.Ini memang kamar Wina. Setiap kali menginap, dia pasti akan tidur di kamar ini, tapi tidak dengan suami dan kedua anaknya. Entahlah bagaimana pemikirannya selama ini, padahal anak-anaknya masih sangat kecil. Kasihan mereka dan suaminya juga selalu terlihat lelah.Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, segera aku keluar dari tempat itu dan masuk ke ruang keluarga. Ternyata Mas Damar sudah pulang dan sekarang sedang mengobrol dengan bapak."Mas," panggilku lembut, lalu mencium tangannya dengan takjim. Tidak lupa Mas Damar juga mengecup keningku."Risya, kamu tidak apa-apa kan tinggal di sini dulu selama sebulan ke depan?" Bapak menatapku lekat dan melayangkan pertanyaan yang menurutku tidak pantas dijawab.Tinggal di sini satu bulan? Satu malam saja aku sudah tidak tahan. Kecuali sikap mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Kalau masih seperti ini, hanya mengganggu kewarasan saja."Tidak mungkin, Pa. Rumah makan sedang rame banget. Setiap hari aku bisa dapat tiga jutaan. Sangat disayangkan kalau aku harus tutup," jawabku jujur."Jadi, kamu lebih mementingkan usaha kecilmu itu daripada kesehatan ibu mertuamu?" Bapak menatapku tajam seolah aku sudah melakukan kesalahan."Cukup, Pak. Perjanjiannya tidak seperti ini. Sama seperti yang aku bilang tadi, aku tidak akan memaksa istriku. Tergantung dia maunya seperti apa," jelas Mas Damar. Di saat seperti ini pun tangannya tidak berhenti menggenggam tanganku."Ibumu sedang sakit, Damar. Apa kamu tega membiarkan dia melakukan pekerjaan ketika sakit?" Bapak meninggikan nada bicaranya."Sakit? Sejak kapan?" Aku menatap mata bapak lekat. Meski ini terkesan tidak sopan, tapi aku sungguh tidak percaya orang yang tadi pagi masih membicarakan aku itu sedang jatuh sakit."Semalam kamu bikin ulah, Ibu jadi kepikiran, dan gak lama badannya anget," jawabnya melempar kesalahan itu padaku.Aku tersenyum menyeringai ketika melihat Wina keluar dengan kopernya padahal ini masih pagi, dia pasti secara tidak langsung mendengar ibu yang sedang sakit, jadi dia tidak mau mengurus wanita yang sudah melahirkannya sendiri."Ayo, Mas! Nanti kita enggak akan bisa pulang," teriaknya pada suaminya yang sedang kewalahan mengendong dua anak."Berhenti!" Aku tersenyum lebar dan menghentikan dia. "Ibu sedang sakit, jadi kita semuanya harus menginap di sini selama sebulan ke depan.""Aku sibuk, banyak pekerjaan." Wina kembali melanjutkan langkah, tapi dengan cepat aku mengambil tas yang dibawanya."Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar dari rumah ini. Karena kalau kalian pergi, aku juga akan pulang." Aku mulai mengancam, lalu melihat ke arah bapak. "Bagaimana, Pak?""Aku kan harus kerja, Pa. Begitu juga dengan Mbak Rani dan Mbak Maya. Jadi, aku harus pulang sekarang. Tolong jangan biarkan wanita ini menghentikan aku, Pak," mohonnya pada bapak.Wina dan bapak saling melemparkan tatapan yang tidak sederhana. Dari tatapan mereka aku bisa tahu kalau semua ini sudah direncakan bersama."Kalau hanya istriku yang tinggal di sini, aku enggak akan kirim uang lagi untuk Ibu sama Bapak di sini," tegas Mas Damar."Jangan!" teriakan orang-orang mulai terdengar, bahkan ibu yang katanya sedang sakit itu langsung keluar.Aku menatap tidak percaya ke arah mereka. Sungguh aku baru tahu kalau drama di rumah ini ternyata lebih menguras emosi daripada yang biasa muncul di televisi. Tapi kalau mereka mau bermain, dengan senang hati aku akan menemani."Kita enggak usah nginap, Sayang. Lagi pula Ibu bisa jalan." Mas Damar yang tadi sudah tegang, kembali rileks, dan duduk. Tangannya juga menggenggam tanganku agar ikut duduk. "Sekarang kita juga enggak perlu sarapan di sini, bentar lagi kita pulang, dan makan di restoran besar," lanjutnya membuatku tersenyum lebar."Iya, Mas. Aku setuju banget." Aku memeluk lengan kanannya dan ikut bersantai sambil menikmati teh botolan yang aku keluarkan dari tas, tapi kita memang hanya bawa dua."Mas, kamu enggak bisa gitu, dong. Harus kirim uang terus sama Ibu dan Bapak," bentak Wina tapi kami sama sekali tidak mendengarnya.Sejujurnya kami sudah lelah dengan sikap mereka yang selalu membalas jasa dengan air tuba. Aku enggak masalah kalau mereka memperlakukan aku dengan buruk, tapi setidaknya jaga sopan santun di hadapan Mas Damar.Makan dan semuanya yang menjadi keperluan bumer dan bapak ditanggung Mas Damar. Sementara anak-anak perempuan yang mengaku kaya itu, aku sendiri tidak tahu apa yang mer
Bab 6 Menantu Miskin di Mata MertuaHari-hariku di sini menjadi tenang. Anggap saja aku adalah ratu sementara karena di sini masih ada bulek. Beliau meminta ketiga adik iparku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Sementara aku hanya bantu-bantu saja.Karena setiap hari aku selalu lelah mengurus rumah dan rumah makan, bulek selalu memintaku untuk istirahat. Sebenarnya aku orang Jawa Barat, tapi pindah ke Jawa tengah ikut suami. Untungnya Mas Damar membeli rumah yang agak jauh dari sini, jadi aku bisa hidup dengan bebas.Awalnya aku panggil bulek dengan sebutan Uwak, tapi tidak pas karena beliau adiknya bapak mertua. Mau panggil bibi, tapi takut tidak sopan karena sikapnya sangat berwibawa. Jadi, aku ikut panggilan Mas Damar yang menurutku lebih nyaman untuk semua pihak."Nanti kalau Bulek pulang, kita juga langsung pulang saja ya, Sayang. Mas enggak mau lihat kamu terlalu lelah dan selalu dipojokkan mereka, apalagi harusnya kita masih senang-senang karena baru dua bulan menikah,
Bab 7 Menantu Miskin di Mata Mertua"Mana mungkin, Win. Kita pacaran saja belum pernah." Wanita yang ada di samping adik iparku yang suka mengarang cerita itu menjawab dengan malu-malu, tapi jawabannya itu langsung membuatku bernapas lega. Ternyata suamiku jujur.Dasar Wina, dia adalah orang pertama yang aku tahu membuat berita kebohongan tentang kakaknya. Untung saja aku mendekat, jadi bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Kalau tidak, mungkin aku sudah percaya sama gosipnya itu."Wina!" Aku memanggil sambil menepuk pundaknya pelan, tapi dia malah menatapku seperti orang yang melihat setan sambil menyebutkan air minum yang baru saja diteguknya.Tidak hanya itu, dia bahkan langsung mengucapkan terima kasih kepada wanita cantik yang sejak tadi menjadi teman ngobrolnya itu, lalu berlari menjauh dari pandanganku ke arah parkiran.Tanpa menunggu, dia menjalankan motornya begitu saja meninggalkan aku seorang diri. Karena mengejar pun percuma, aku memilih untuk duduk di kedai bakso in
Bab 8 Menantu Miskin di Mata Mertua"Wina!" Bulek berteriak sambil membawa kayu kecil. "Bisa-bisanya kamu melarikan diri dari Bulek dan membuat masalah di sini!"Aku tercengang sambil memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa semuanya bergerak begitu saja dengan bebas sedangkan tubuhku malah seperti ada yang merantai?Belum sempat aku bertanya tentang amnesia itu, sekarang bulek malah datang. Sepertinya bulek tidak ingin aku mengetahui sesuatu tentang Mas Damar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?Entah dari mana bulek mendapatkan benda yang biasa dipakai mengukus dan dipukulkan ke kepala Wina."Apa yang kau lakukan di sini, hah?" teriaknya terdengar sangat marah. "Sudah tidak mau bayar belanjaan, meninggalkan Risya sendiri, bergosip, dan sekarang malah membuat berita yang tidak-tidak. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"Aku tersenyum lebar ketika mendengar ocehan bulek. Ternyata amnesia yang dimaksud Wina itu hanyalah kebohongan semata. Hampir saja aku percaya de
Bab 9 Menantu Miskin di Mata Mertua"Katakan sekali lagi!" titah Mas Damar setelah sampai di kamar mereka. Ah, tidak, memang hanya dia yang kembali melangkah sementara aku dan bulek masih mematung di tempat yang tadi."Apa?" tanya Wina dengan suara yang terdengar gemetaran."Apa yang kau katakan barusan!" bentak Mas Damar tanpa memedulikan suaminya.Aku dan bulek segera mendekat, tapi ketika aku mau masuk, tangan ini segera ditahan sama bulek."Jangan dulu, biarkan saja. Kecuali kalau dia sudah tidak bisa menguasai emosinya," ucapnya dan aku hanya bisa diam sambil memperhatikan apa yang akan Mas Damar lakukan.Aku takut dia akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, apalagi kali ini Wina memang sudah kelewatan. "Katakan apa yang kamu katakan tadi di depan Mas sekarang, Wina," pinta suamiku lagi dengan nada bicara yang lebih rendah. Sepertinya dia tahu kalau aku ada di sini dan tidak mau emosinya terlihat olehku.Sejak menikah, aku memang belum pernah tahu bagaimana marah
Bab 10 Menantu Miskin di Mata MertuaWina menatapku penuh amarah dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Beberapa detik kemudian, dia berusaha mengayunkan tangannya ke pipiku, tapi aku bukan wanita lemah yang hanya akan diam saja ketika diperlakukan seenaknya. Aku menahan tangannya."Lepaskan! Kau memang berhak mendapatkan tamparan dariku karena sudah meracuni pikiran Mas Damar, kakakku," bentaknya dengan emosi yang tidak terkendali.Bulek dan Maya berusaha untuk menahannya, tapi tidak berhasil. Sedangkan suaminya sedang membawa kedua anaknya jalan-jalan, suaminya Maya sedang di kamar mandi, dan suami yang satunya lagi sudah berangkat kerja.Kini di rumah hanya ada wanita. Prianya hanya ada bapak, sayangnya hanya menonton dari kejauhan. Seolah emosi anaknya ini adalah hal yang menarik untuk ditonton atau mungkin dijadikan drama."Dia memang kakakmu, tapi sekarang dia sudah menjadi suamiku. Aku yang lebih berhak atas dirinya daripada dirimu yang hanya sebatas adik," tegasku dan mendoro
Bab 11 Menantu Miskin di Mata MertuaOrang-orang yang tadi bersorak gembira, malah menatapnya dengan raut wajah penuh tawa. Padahal, mereka adalah orang-orang yang selama ini mengaku dekat dengan Wina, tapi sikap mereka menunjukkan seolah jarak di antara mereka terbentang luas.Aku sendiri tidak bergerak sedikit pun, begitu juga ibu yang sejak tadi sangat antusias untuk kemenangan dirinya. Tapi sekarang wanita yang merasa hebat itu sudah tidak berdaya. Bahkan dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, lalu bangun. Dia hanya mampu berbaring dan sepertinya sambil menahan rasa sakit yang amat sangat.Anehnya aku juga tidak mau membantunya. Hanya melihat dari kejauhan sambil meneguk air minum yang tadi belum habis dengan duduk cantik.Lima menit pun berlalu, tapi masih belum ada yang menolongnya. Wina juga masih belum bisa bangun. Beberapa kali dia berusaha, tapi beberapa kali juga usahanya kandas begitu saja.Bukannya aku tidak ingin menolong, tapi aku ingin dia, ibu, dan orang-orang yang men
Bab 12 Menantu Miskin di Mata MertuaSuara yang barusan aku dengar seperti suara geledek di siang hari. Bahkan tidak hanya aku yang langsung terdiam, Wina dan yang lainnya juga sama. Mereka pasti kaget dengan informasi ini."Jangan mengada-ada! Aku tahu dia sangat setia, tidak mungkin melakukan hal itu," teriak Wina tidak terima."Benar, bisa saja mereka sedang melakukan rapat," sahutku berusaha mencairkan suasana. Karena kalau Wina marah-marah di sini, bisa bahaya."Suamiku sedang membawa anak-anak jalan-jalan, pasti anak-anak juga ikut ke dalam hotel," ucapnya ngotot. Padahal, tubuhnya masih terdampar di lantai."Anak-anak? Ngaco kamu. Tadi yang melihat juga tidak hanya aku, tapi temanku juga. Kebetulan tadi kita janjian untuk istirahat di sebuah tempat di pinggir jalan," jelasnya lagi tapi malah membuatku semakin bingung.Tadi dia perasaan memberikan penjelasan yang berbeda?Ah, sudahlah. Sekarang permasalahannya bukan tentang penjelasan, tapi tentang kesetiaan suaminya Wina yang p