LOGINPagi itu berlalu tanpa kejadian besar—setidaknya di mata orang luar. Sekar menghabiskan waktunya membantu di dapur, sesekali ikut ngobrol ringan dengan Tante Sinta, tapi pikirannya terus berkelana ke kata-kata samar Om Bowo saat sarapan.
Matahari perlahan menurun, menyapukan cahaya emas di halaman. Udara mulai lebih teduh, aroma tanah bercampur wangi masakan sore dari dapur. Anak-anak bermain di halaman, suara mereka menjadi latar yang riuh namun menenangkan.
Di ruang tamu, para lelaki duduk sambil minum teh. Om Bowo sesekali melirik jam di pergelangan tangan, sementara istrinya sedang membereskan koper kecil di sudut ruangan.
Akhirnya, ia berdiri, menepuk lututnya pelan. “Mas, sepertinya kami harus berangkat sekarang. Perjalanan masih lumayan jauh, dan besok pagi sudah ada jadwal padat di kota.”
MENANTU ON AIR: THE NEXT GENERATIONHujan turun pelan di sore itu.Butir-butirnya menempel di kaca jendela kamar seorang remaja bernama Jinara Aryasatya, kini berusia tujuh belas tahun. Di hadapannya, meja kayu tua dengan tumpukan buku, beberapa catatan kecil, dan sebuah radio portabel berwarna perak — tampak kusam tapi masih menyala.Radio itu peninggalan ibunya.Sekar Aryasatya.Suara lembut yang dulu mewarnai udara kota kecil ini.Suara yang kini hanya hidup dalam kenangan dan pita kaset yang nyaris lapuk.Jinara menatap benda itu lama, seperti menatap potongan waktu yang ta
FREKUENSI TERAKHIR, CAHAYA YANG TETAP MENYALAStudio radio itu perlahan redup. Lagu penutup sudah selesai mengalun, dan lampu merah bertuliskan “ON AIR” padam untuk terakhir kalinya. Namun di dada Sekar, justru ada sesuatu yang menyala — bukan lampu, tapi rasa yang dulu sempat ia tinggalkan: tenang.Ia melepaskan headset dari telinganya. Di kaca studio, bayangan dirinya terlihat samar — perempuan dengan rambut sedikit beruban di sisi, mata yang tak lagi secerah dulu, tapi ada kedalaman baru di sana. Kedewasaan yang lahir dari setiap kehilangan dan pembelajaran.Sekar berdiri perlahan, menyentuh meja siaran dengan ujung jarinya.“Terima kasih, sahabat lamaku,” bisiknya pada mikrofon tua di depannya. “Kau sudah menemaniku mengirimkan begitu banyak doa lewat udara.”Dari luar studio, Arya muncul — wajahnya tersenyum lembut, membawa termos kecil berisi teh hangat kesukaan Sekar.“Sudah selesai?” tanyanya pelan.Sekar menatapnya, lalu mengangguk. “Sudah. Tapi aneh ya, rasanya seperti baru
Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.
Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena
Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,
Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga







