Suasana yang semula penuh doa dan hangat, kini seakan beku. Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi gumam doa. Yang ada hanyalah tatapan-tatapan kaku, sebagian tamu saling berbisik, sebagian lain menunduk, tak berani menatap dua bersaudara yang kini berdiri berhadapan di tengah ruang.
Sekar menelan ludah, tangannya refleks meremas jemari Arya. Ia bisa merasakan tubuh suaminya menegang, berusaha menahan diri untuk tidak ikut terseret arus konflik.
Pak Slamet berdiri dengan wajah merah padam, urat di lehernya menegang. “Bowo, ini bukan waktunya. Ini bukan tempatnya. Jangan kau rusak doa-doa yang baru saja dipanjatkan.”
Namun Bowo tidak bergeming. Matanya menyala seperti bara yang lama terpendam. “Mas, berapa lama lagi kau akan menyembunyikan kebenaran tentang rumah ini? Semua orang di sini tahu, aku adikmu. Ak
“Sahabat pendengar, hidup berumah tangga itu bukan hanya soal kita dan pasangan, tetapi juga tentang keluarga besar yang menjadi satu lingkaran. Hubungan menantu dan mertua kadang terasa rumit—ada jarak, ada perbedaan, bahkan kadang ada luka yang tak sengaja tercipta. Tapi justru di situlah kita belajar. Belajar untuk lebih sabar, lebih mengalah, dan lebih memahami bahwa setiap orang membawa kisahnya sendiri. Mertua bukan hanya ‘orang tua pasangan kita’, mereka adalah orang yang sudah lebih dulu mencintai pasangan kita bahkan sebelum kita hadir. Dan menantu, bukan sekadar pendatang baru, tapi jembatan untuk melanjutkan cinta dalam keluarga. Jika hati bisa saling membuka, jika kata-kata bisa dipilih dengan lembut, dan jika doa terus dipanjatkan, hubungan menantu dan mertua bisa berubah dari yang penuh canggung menjadi ladang kasih yang subur. Karena pada akhirnya, keluarga bukan s
Suara dering ponsel memecah keheningan loteng.Arya yang sedang duduk dekat Sekar buru-buru meraih ponselnya. Tertera nama Pak Slamet di layar.“Pak…?” suara Arya agak gemetar saat mengangkat.Di ujung sana, terdengar suara bapaknya.“Arya, kamu di mana, Nak? Dari tadi Ibumu cari. Jangan-jangan kamu sama Sekar naik ke loteng? Itu kan tempat berdebu…”Arya langsung panik. Ia melirik Sekar yang masih asyik mengatur mic kecil dan headset untuk siarannya. Arya buru-buru menutup mic ponsel dengan telapak tangan.“Waduh, gimana ini, Kar? Kalau mereka tahu kamu lagi siaran rahasia d
Sekar menekan tombol sambungan berikutnya. Suara dering berhenti, terdengar suara seorang bapak-bapak dengan nada berat tapi penuh ekspresi.Sekar:“Halo, selamat pagi… ini siapa, dari mana?”Pendengar (dengan logat Betawi):“Pagi, Mbak Sekar! Saya Bang Udin dari Depok. Waduh, akhirnya nyambung juga. Dari tadi istri saya nyuruh-nyuruh coba telepon, katanya biar curhat di radio lebih adem daripada curhat ke dia.”Arya yang duduk di samping Sekar langsung ngakak pelan, sementara Sekar menahan tawa.Sekar:
Pagi itu, cahaya matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela loteng. Suasana sederhana di ruang kecil itu menjadi saksi rutinitas baru Sekar—siaran Menantu On Air—yang kini tak lagi sendiri. Arya, dengan kesetiaan yang selalu membuat Sekar hangat, duduk di sampingnya.Siaran sudah mengudara. Sekar baru saja menerima telepon dari Dimas, yang suaranya masih menyisakan getir dan keraguan. Setelah menutup sambungan, Sekar menyalakan musik pengiring, memberi jeda untuk menenangkan suasana hatinya.Dalam hening yang ditemani alunan musik lembut, Arya meraih tangan Sekar. Ia menggenggamnya erat, lalu mengelus perut buncit istrinya dengan penuh kasih. Senyum kecil terukir di bibirnya, seolah dunia di luar sana bisa runtuh sekalipun, asal momen itu tetap utuh.“Sekar&h
Sekar tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. Ia bisa merasakan getar harapan dalam suara Zahra yang mulai tenang.“Terima kasih, Mbak Sekar…” suara Zahra terdengar lebih mantap. “Aku akan bertahan. Aku akan lebih kuat—sebagai menantu, sebagai ibu, dan sebagai istri. Aku percaya… doa akan membimbingku.”Hening sejenak. Hanya terdengar napas lega di ujung telepon. Lalu sambungan itu terputus, meninggalkan kesunyian yang hangat di loteng kecil itu.Sekar menunduk, tangannya menggenggam erat mikrofon. Ia berbisik, nyaris tidak terdengar, “Bertahanlah, Zahra… doa kita menyertaimu.”Arya mengusap bahu istrinya dengan lembut. “Kamu luar biasa, Sekar. Kata-katamu tadi… bisa jadi penyelamat bagi dia.”
Sekar baru saja tiba di rumah, wajahnya pucat namun senyumnya tetap ada. Arya membantu menuntunnya masuk, sementara Bu Sri sudah menyiapkan bantal tambahan di ruang tamu.“Sekar, jangan banyak bergerak dulu. Kamu harus istirahat,” kata Arya lembut sambil membetulkan selimut tipis yang menutupi istrinya.Sekar tersenyum, matanya menatap penuh cinta. “Aku tahu… tapi rasanya aneh, Arya. Beberapa hari saja tidak siaran, aku seperti kehilangan sesuatu. Aku rindu dengan Menantu On Air. Aku rindu berbicara, bercerita, menyapa pendengar yang sudah seperti sahabat.”Arya terdiam sejenak, menatap istrinya yang bersinar meski dalam keadaan rapuh. “Tapi kamu harus ingat, kesehatanmu lebih penting. Kalau kamu sampai jatuh sakit lagi, bagaimana? Jangan memaks