Sore itu matahari bersinar hangat di atas bukit timur Kota Levin. Udara sejuk mengalir pelan, menyelimuti vila megah milik Nyonya Lewis yang berdiri kokoh di lereng dengan pemandangan indah ke arah kota. Vila itu dipenuhi dekorasi putih-emas, lengkap dengan karpet merah, balon elegan, dan musik klasik yang mengalun lembut dari speaker tersembunyi.
Hampir semua tamu undangan telah hadir, termasuk para pebisnis ternama, kerabat jauh, dan petinggi kota Levin. Keluarga utama Lewis pun datang lebih awal untuk membantu persiapan. Tiffany sibuk memeriksa daftar tamu dan menyambut para undangan, sementara Tommy membantu staf katering merapikan meja dan memastikan makanan tersaji sempurna. Di tengah keramaian itu, suara lantang terdengar memanggil. “Hei, Gerald! Lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?” Senyuman mengejek terbit dari wajah Gerry, adik kandung Gerald. “Oh, dan… apakah menantumu sudah berguna sekarang? Hahaha!” Gerald yang tengah menyesap minumannya menoleh pelan, wajahnya menegang sejenak. “Berhentilah, Gerry. Itu tidak lucu,” balasnya dingin. “Tentu saja lucu,” sahut Gerry santai, melangkah mendekat dengan anggur di tangannya. “Kupikir ayah sangat menyayangimu… sampai-sampai dia memberi menantu paling tidak berguna di seluruh Levin. Aku kasihan pada keponakanku, Tiffany. Cantik, pintar, tapi malah diberi sampah untuk dijadikan suami.” “Sayang, sudahlah,” sela seorang wanita elegan di samping Gerry—Liliana, istrinya. “Kalian sudah lama tidak bertemu. Untuk apa saling merendahkan?” Ia tersenyum sinis pada Gerald dan Nathalia. “Lagipula, kita semua tahu keluarga kalian memang tidak... berkontribusi banyak. Tapi ya, biarkan saja.” Nathalia melangkah maju, tatapannya tajam menusuk ke arah Liliana. “Lili, jaga bicaramu… atau aku akan merobek mulutmu dengan tangan ini,” desisnya seperti ular berbisa. Liliana menyeringai, tidak sedikit pun takut. Tiffany, yang memperhatikan dari jauh, hanya bisa menghela napas panjang. “Mereka kakak beradik, tapi seperti musuh perang. Tak pernah ada kedamaian,” gumamnya. Di sisi lain, Tommy yang tengah membantu menata vas bunga di sudut ruangan tersenyum getir. “Biarkan saja, mungkin memang seperti itu cara mereka... menunjukkan keakraban.” Namun, keheningan singkat itu segera dipecah oleh suara lain, lebih tajam dan menjengkelkan. “Hai, pecundang! Kenapa kamu di sini?” Sosok muda dengan jas mewah muncul dari arah pintu utama—Moris, anak sulung Gerry. “Bukankah kamu seharusnya ada di dapur, menyusun piring, atau menyapu halaman belakang? Kenapa kamu malah duduk di antara tamu-tamu terhormat?” Tommy menatapnya sebentar, menahan amarah. Sebelum ia sempat menjawab, suara lain muncul—Diana, adik perempuan Moris, dengan senyum palsu dan mata sinis menatap Tiffany. “Tiffany, kamu cantik sekali malam ini. Tapi sayang… suamimu merusak seluruh pemandangan pesta. Seperti noda tinta di atas lukisan mahal.” Tiffany bangkit berdiri, nadanya tenang namun tegas. “Kalian berdua… kenapa selalu mengusik kami? Kami tidak pernah mengganggu kalian. Tak ada alasan untuk terus mencibir.” Moris terkekeh. “Karena kamu harus sadar diri, Tommy. Kamu bukan bagian dari keluarga elite Levin. Kamu hanya benalu di pohon besar. Dan Tiffany… kamu pantas dapat yang lebih baik.” Tommy berdiri pelan, menatap Moris tanpa gentar. “Aku sadar posisiku. Tapi aku tidak butuh pengakuan dari orang yang bahkan belum membuktikan apa pun selain gelar dari keluarga.” Diana melipat tangan di dadanya, wajahnya semakin licik. “Oh, Tiffany, coba tebak… Aku membawa dua tamu spesial malam ini. Ya, Andreas dan Mikey—dua pria yang dulu tergila-gila padamu. Kupikir, jika kau masih waras, kau akan menceraikan suamimu yang menyedihkan ini… dan memperbaiki reputasimu.” Suasana mendadak hening. Beberapa tamu menoleh. Andreas dan Mikey berdiri di pojok ruangan, tersenyum ramah namun memancarkan aura persaingan. Tiffany menggenggam tangan Tommy. Ia menatap lurus ke arah Diana dan Moris. “Cinta bukan soal reputasi. Dan aku tidak menyesal menikah dengan Tommy. Kalau kalian datang hanya untuk merusak pesta nenekku sendiri, lebih baik kalian pergi.” Tommy menambahkan dengan suara rendah namun penuh ketegasan, “Aku mungkin belum sempurna, tapi aku berjuang dengan caraku. Dan itu lebih baik daripada menjadi parasit dengan mulut tajam dan hati kosong.” Gerald dan Nathalia ikut berdiri. Bahkan Liliana terdiam, sedikit terkejut dengan keberanian pasangan itu. Ketegangan menggantung di udara. Belum sempat ada yang membalas… suara dentingan gelas terdengar dari panggung utama. Nyonya Lewis akhirnya tiba di hadapan para tamu, berdiri anggun dengan tongkat perak dan gaun gelap mewah. Namun… tatapannya langsung tertuju pada Tommy. Dan di depan seluruh tamu, ia berkata, “Tommy Justine… kemarilah. Ada yang ingin aku katakan padamu….” Semua mata tertuju pada Tommy. **** Tommy berjalan perlahan menuju panggung, tempat Nyonya Margaretha Lewis berdiri anggun namun penuh aura kekuasaan. Sorot matanya tajam dan bibirnya mengulas senyum tipis yang dingin. Ia adalah wanita yang telah membangun kejayaan keluarga Lewis bersama almarhum suaminya, dan kini berdiri sebagai pilar tertinggi kekuasaan dinasti itu. Meski tubuhnya mulai renta, wibawanya tak pernah pudar. Semua tamu memerhatikan langkah Tommy dengan penasaran. Kenapa menantu tak berguna itu dipanggil ke hadapan sang Ratu Keluarga? Suara musik pelan-pelan meredup, dan gemuruh pesta perlahan senyap. Hanya suara langkah kaki Tommy dan deru napas gugupnya yang terasa begitu nyata di telinganya sendiri. Nyonya Margaretha menatapnya sejenak. “Mendekatlah, Tommy,” ucapnya dengan suara pelan namun sangat berwibawa. Tommy menaiki dua anak tangga kecil menuju panggung, berdiri di sisi wanita tua itu. Mereka tampak seperti dua dunia yang tak cocok bersatu: Tommy dengan kemeja sederhana, wajah polos dan jujur; dan Margaretha, wanita tua yang wajahnya tertutup lapisan riasan dan ambisi bertahun-tahun. Margaretha mencondongkan tubuh, mendekatkan bibirnya ke telinga Tommy. “Dengarkan aku baik-baik, Tommy,” bisiknya pelan, suaranya seperti belati yang dilapisi sutra. “Ceraikan Tiffany. Tinggalkan keluarga ini. Dan sebagai gantinya, aku akan memberimu dua puluh juta dolar. Tunai. Transfer bisa dilakukan sekarang juga. Kau tak perlu bekerja keras lagi dan tidak akan di rendahkan lagi. Kau akan bebas.” Tommy terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, matanya membelalak. Rasanya seperti dihantam palu godam ke dada. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar. Dua puluh juta dolar. Satu kalimat yang bisa mengubah segalanya. Hidupnya. Masa depannya. Bahkan harga dirinya. Tapi bukan itu yang mengguncang hatinya. Yang menyayat adalah bagaimana wanita itu, nenek dari istrinya, memperlakukan nya seolah olah seperti komoditas yang bisa dibeli. Seperti dia hanya noda di silsilah keluarga mereka. “Maaf, Nek… Aku tidak bisa,” jawab Tommy lirih. Matanya menatap lantai, suaranya nyaris patah. Margaretha menyipitkan mata. “Apa kau tuli atau terlalu bodoh untuk mengerti tawaran seperti ini?” bisiknya lagi. Tommy menatap wajah tua itu. “Kakek yang menikahkan aku dan Tiffany. Aku tidak akan datang ke keluarga ini jika bukan karena kakek yang memintaku dan mengajakku.” Margaretha tersenyum tipis, sinis. “Kau benar. Mendiang suamiku memang yang membawamu ke sini,dan aku pikir dia sudah buta karena dia pikir nama belakangmu adalah nyata nama dari keluarga teratas di negara ini.” Lalu ia berdiri tegak, menoleh ke sisi panggung dan memberi isyarat halus dengan jari. “Pergilah dari sini. Sekarang juga. Aku tidak ingin melihat wajahmu di pesta ini lagi.” Tommy berdiri mematung beberapa saat. Pandangannya kabur oleh cahaya lampu gantung dan kabut emosi yang menggulung di dadanya. Perlahan, ia menundukkan kepala dan melangkah turun dari podium. Langkahnya tenang, tapi hatinya seperti diguncang gempa. Dia tidak berkata apa-apa. Tidak menoleh ke belakang. Tidak menatap siapa pun. Hanya pergi… diam-diam… membawa luka yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Tiffany yang sejak tadi berdiri bersama tamu-tamu keluarga terperanjat. Ia melihat Tommy berjalan ke arah pintu keluar dengan wajah kosong. “Tommy! Tommy tunggu!” serunya, berlari melewati kerumunan tamu yang membisu menonton drama yang baru saja meletus di tengah pesta ulang tahun. Tiffany berlari keluar dari aula vila mewah di atas bukit itu. Namun saat ia tiba di pelataran depan, Tommy sudah tak ada. Tak ada di taman. Tak di parkiran. Tak di sisi manapun dari properti megah itu. “Tommy! Di mana kamu?” teriak Tiffany, suaranya terceka. Seorang petugas keamanan yang berjaga di gerbang hanya menggeleng. “Saya tidak melihat siapa pun keluar, Nona. Mungkin lewat pintu belakang.” Tiffany berdiri mematung. Angin malam di Bukit Timur menerpa wajahnya. Tubuhnya gemetar.Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang
Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan
Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr
Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad
Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk
Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t