Share

Bab 6

Author: Beatarisa
last update Last Updated: 2025-05-15 02:48:51

Sore itu matahari bersinar hangat di atas bukit timur Kota Levin. Udara sejuk mengalir pelan, menyelimuti vila megah milik Nyonya Lewis yang berdiri kokoh di lereng dengan pemandangan indah ke arah kota. Vila itu dipenuhi dekorasi putih-emas, lengkap dengan karpet merah, balon elegan, dan musik klasik yang mengalun lembut dari speaker tersembunyi.

Hampir semua tamu undangan telah hadir, termasuk para pebisnis ternama, kerabat jauh, dan petinggi kota Levin. Keluarga utama Lewis pun datang lebih awal untuk membantu persiapan. Tiffany sibuk memeriksa daftar tamu dan menyambut para undangan, sementara Tommy membantu staf katering merapikan meja dan memastikan makanan tersaji sempurna.

Di tengah keramaian itu, suara lantang terdengar memanggil.

“Hei, Gerald! Lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?”

Senyuman mengejek terbit dari wajah Gerry, adik kandung Gerald. “Oh, dan… apakah menantumu sudah berguna sekarang? Hahaha!”

Gerald yang tengah menyesap minumannya menoleh pelan, wajahnya menegang sejenak. “Berhentilah, Gerry. Itu tidak lucu,” balasnya dingin.

“Tentu saja lucu,” sahut Gerry santai, melangkah mendekat dengan anggur di tangannya. “Kupikir ayah sangat menyayangimu… sampai-sampai dia memberi menantu paling tidak berguna di seluruh Levin. Aku kasihan pada keponakanku, Tiffany. Cantik, pintar, tapi malah diberi sampah untuk dijadikan suami.”

“Sayang, sudahlah,” sela seorang wanita elegan di samping Gerry—Liliana, istrinya. “Kalian sudah lama tidak bertemu. Untuk apa saling merendahkan?”

Ia tersenyum sinis pada Gerald dan Nathalia. “Lagipula, kita semua tahu keluarga kalian memang tidak... berkontribusi banyak. Tapi ya, biarkan saja.”

Nathalia melangkah maju, tatapannya tajam menusuk ke arah Liliana. “Lili, jaga bicaramu… atau aku akan merobek mulutmu dengan tangan ini,” desisnya seperti ular berbisa.

Liliana menyeringai, tidak sedikit pun takut.

Tiffany, yang memperhatikan dari jauh, hanya bisa menghela napas panjang. “Mereka kakak beradik, tapi seperti musuh perang. Tak pernah ada kedamaian,” gumamnya.

Di sisi lain, Tommy yang tengah membantu menata vas bunga di sudut ruangan tersenyum getir. “Biarkan saja, mungkin memang seperti itu cara mereka... menunjukkan keakraban.”

Namun, keheningan singkat itu segera dipecah oleh suara lain, lebih tajam dan menjengkelkan.

“Hai, pecundang! Kenapa kamu di sini?”

Sosok muda dengan jas mewah muncul dari arah pintu utama—Moris, anak sulung Gerry. “Bukankah kamu seharusnya ada di dapur, menyusun piring, atau menyapu halaman belakang? Kenapa kamu malah duduk di antara tamu-tamu terhormat?”

Tommy menatapnya sebentar, menahan amarah. Sebelum ia sempat menjawab, suara lain muncul—Diana, adik perempuan Moris, dengan senyum palsu dan mata sinis menatap Tiffany.

“Tiffany, kamu cantik sekali malam ini. Tapi sayang… suamimu merusak seluruh pemandangan pesta. Seperti noda tinta di atas lukisan mahal.”

Tiffany bangkit berdiri, nadanya tenang namun tegas. “Kalian berdua… kenapa selalu mengusik kami? Kami tidak pernah mengganggu kalian. Tak ada alasan untuk terus mencibir.”

Moris terkekeh. “Karena kamu harus sadar diri, Tommy. Kamu bukan bagian dari keluarga elite Levin. Kamu hanya benalu di pohon besar. Dan Tiffany… kamu pantas dapat yang lebih baik.”

Tommy berdiri pelan, menatap Moris tanpa gentar. “Aku sadar posisiku. Tapi aku tidak butuh pengakuan dari orang yang bahkan belum membuktikan apa pun selain gelar dari keluarga.”

Diana melipat tangan di dadanya, wajahnya semakin licik. “Oh, Tiffany, coba tebak… Aku membawa dua tamu spesial malam ini. Ya, Andreas dan Mikey—dua pria yang dulu tergila-gila padamu. Kupikir, jika kau masih waras, kau akan menceraikan suamimu yang menyedihkan ini… dan memperbaiki reputasimu.”

Suasana mendadak hening. Beberapa tamu menoleh. Andreas dan Mikey berdiri di pojok ruangan, tersenyum ramah namun memancarkan aura persaingan.

Tiffany menggenggam tangan Tommy. Ia menatap lurus ke arah Diana dan Moris.

“Cinta bukan soal reputasi. Dan aku tidak menyesal menikah dengan Tommy. Kalau kalian datang hanya untuk merusak pesta nenekku sendiri, lebih baik kalian pergi.”

Tommy menambahkan dengan suara rendah namun penuh ketegasan, “Aku mungkin belum sempurna, tapi aku berjuang dengan caraku. Dan itu lebih baik daripada menjadi parasit dengan mulut tajam dan hati kosong.”

Gerald dan Nathalia ikut berdiri. Bahkan Liliana terdiam, sedikit terkejut dengan keberanian pasangan itu.

Ketegangan menggantung di udara. Belum sempat ada yang membalas…

suara dentingan gelas terdengar dari panggung utama.

Nyonya Lewis akhirnya tiba di hadapan para tamu, berdiri anggun dengan tongkat perak dan gaun gelap mewah.

Namun…

tatapannya langsung tertuju pada Tommy.

Dan di depan seluruh tamu, ia berkata,

“Tommy Justine… kemarilah. Ada yang ingin aku katakan padamu….”

Semua mata tertuju pada Tommy.

****

Tommy berjalan perlahan menuju panggung, tempat Nyonya Margaretha Lewis berdiri anggun namun penuh aura kekuasaan. Sorot matanya tajam dan bibirnya mengulas senyum tipis yang dingin. Ia adalah wanita yang telah membangun kejayaan keluarga Lewis bersama almarhum suaminya, dan kini berdiri sebagai pilar tertinggi kekuasaan dinasti itu.

Meski tubuhnya mulai renta, wibawanya tak pernah pudar.

Semua tamu memerhatikan langkah Tommy dengan penasaran. Kenapa menantu tak berguna itu dipanggil ke hadapan sang Ratu Keluarga? Suara musik pelan-pelan meredup, dan gemuruh pesta perlahan senyap. Hanya suara langkah kaki Tommy dan deru napas gugupnya yang terasa begitu nyata di telinganya sendiri.

Nyonya Margaretha menatapnya sejenak. “Mendekatlah, Tommy,” ucapnya dengan suara pelan namun sangat berwibawa.

Tommy menaiki dua anak tangga kecil menuju panggung, berdiri di sisi wanita tua itu. Mereka tampak seperti dua dunia yang tak cocok bersatu: Tommy dengan kemeja sederhana, wajah polos dan jujur; dan Margaretha, wanita tua yang wajahnya tertutup lapisan riasan dan ambisi bertahun-tahun.

Margaretha mencondongkan tubuh, mendekatkan bibirnya ke telinga Tommy.

“Dengarkan aku baik-baik, Tommy,” bisiknya pelan, suaranya seperti belati yang dilapisi sutra. “Ceraikan Tiffany. Tinggalkan keluarga ini. Dan sebagai gantinya, aku akan memberimu dua puluh juta dolar. Tunai. Transfer bisa dilakukan sekarang juga. Kau tak perlu bekerja keras lagi dan tidak akan di rendahkan lagi. Kau akan bebas.”

Tommy terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, matanya membelalak. Rasanya seperti dihantam palu godam ke dada. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar.

Dua puluh juta dolar.

Satu kalimat yang bisa mengubah segalanya. Hidupnya. Masa depannya. Bahkan harga dirinya.

Tapi bukan itu yang mengguncang hatinya.

Yang menyayat adalah bagaimana wanita itu, nenek dari istrinya, memperlakukan nya seolah olah seperti komoditas yang bisa dibeli. Seperti dia hanya noda di silsilah keluarga mereka.

“Maaf, Nek… Aku tidak bisa,” jawab Tommy lirih. Matanya menatap lantai, suaranya nyaris patah.

Margaretha menyipitkan mata.

“Apa kau tuli atau terlalu bodoh untuk mengerti tawaran seperti ini?” bisiknya lagi.

Tommy menatap wajah tua itu. “Kakek yang menikahkan aku dan Tiffany. Aku tidak akan datang ke keluarga ini jika bukan karena kakek yang memintaku dan mengajakku.”

Margaretha tersenyum tipis, sinis. “Kau benar. Mendiang suamiku memang yang membawamu ke sini,dan aku pikir dia sudah buta karena dia pikir nama belakangmu adalah nyata nama dari keluarga teratas di negara ini.”

Lalu ia berdiri tegak, menoleh ke sisi panggung dan memberi isyarat halus dengan jari. “Pergilah dari sini. Sekarang juga. Aku tidak ingin melihat wajahmu di pesta ini lagi.”

Tommy berdiri mematung beberapa saat. Pandangannya kabur oleh cahaya lampu gantung dan kabut emosi yang menggulung di dadanya. Perlahan, ia menundukkan kepala dan melangkah turun dari podium. Langkahnya tenang, tapi hatinya seperti diguncang gempa.

Dia tidak berkata apa-apa. Tidak menoleh ke belakang. Tidak menatap siapa pun. Hanya pergi… diam-diam… membawa luka yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun.

Tiffany yang sejak tadi berdiri bersama tamu-tamu keluarga terperanjat. Ia melihat Tommy berjalan ke arah pintu keluar dengan wajah kosong.

“Tommy! Tommy tunggu!” serunya, berlari melewati kerumunan tamu yang membisu menonton drama yang baru saja meletus di tengah pesta ulang tahun.

Tiffany berlari keluar dari aula vila mewah di atas bukit itu. Namun saat ia tiba di pelataran depan, Tommy sudah tak ada.

Tak ada di taman.

Tak di parkiran.

Tak di sisi manapun dari properti megah itu.

“Tommy! Di mana kamu?” teriak Tiffany, suaranya terceka.

Seorang petugas keamanan yang berjaga di gerbang hanya menggeleng. “Saya tidak melihat siapa pun keluar, Nona. Mungkin lewat pintu belakang.”

Tiffany berdiri mematung. Angin malam di Bukit Timur menerpa wajahnya. Tubuhnya gemetar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 17

    Justru itu," jawab Tuan Lewis, matanya berkilat penuh makna, seolah tahu rahasia alam semesta. "Mereka semua hanya melihat uang dan koneksi, hanya peduli pada status dan keuntungan pribadi. Aku ingin seseorang yang berbeda untuk Tiffany. Seseorang yang kakinya menjejak tanah, yang tahu arti kerja keras, yang tidak akan pernah meninggalkannya dalam kesulitan. Aku ingin seorang suami yang bisa melindungi Tiffany, bukan hanya memanfaatkan nama keluarganya. Dan aku percaya, itu adalah dirimu, Tommy. Aku punya firasat kuat tentang dirimu." Tuan Lewis kemudian mendorong sebuah amplop tebal di atas meja. "Di dalamnya ada semua dokumen dan persiapan yang kau butuhkan. Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan. Aku sudah mengatur semuanya. Tiffany akan menyetujuinya, aku yakin dia akan memahami keputusanku." Tommy memegang amplop itu, tangannya sedikit gemetar. Beratnya amplop itu terasa seperti beratnya nasib yang kini berada di tang

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 16

    Setelah panggilan singkat namun penuh instruksi kepada Zhuxin Wang, Tommy merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Permainan telah dimulai, bidak-bidak catur sudah digerakkan. Namun, di balik semua intrik bisnis dan strategi rahasia yang rumit, ada hal lain yang jauh lebih penting baginya. Tiga hari ke depan adalah hari istimewa: ulang tahun pernikahan ketiga Tommy dan Tiffany. Dia melirik jam dinding, pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebelum Tiffany pulang. Dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan di hadapan orang lain, Tommy meraih ponselnya lagi—bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk memesan taksi daring. Tujuannya adalah toko perhiasan ternama di pusat kota, sebuah tempat yang tak pernah ia sangka akan ia datangi. Di perjalanan, saat taksi melaju membelah ramainya jalanan kota Levin, pikiran Tommy melayang jauh. Jendela mobil membiarkan pemandangan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang ramai, dan hiruk pikuk kot

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 15

    Keesokan paginya, rutinitas yang membosankan dan penuh hinaan kembali terulang di kediaman rumah yang terletak di pinggir kota Levin itu. Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun Tommy sudah berada di dapur, seperti biasa. Aroma kopi arabika yang baru digiling dan roti panggang yang renyah menyebar, seharusnya menciptakan suasana hangat yang nyaman, namun di rumah keluarga Lewis, kehangatan semacam itu adalah kemewahan yang langka. Di meja makan, piring-piring porselen putih sudah tertata rapi, siap menyambut anggota keluarga lainnya. Tiffany, yang pertama muncul keluar dari pintu kamarnya, wajahnya masih memancarkan kelelahan sisa badai rapat kemarin. Ia mengenakan setelan kantor berwarna krem yang rapi, namun sorot matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan beban pikirannya. Ia mengambil tempat duduk, secangkir teh hijau hangat di tangannya, berusaha mengumpulkan sedikit kekuatan untuk menghadapi hari yang panjang di Lewis C

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 14

    Keesokan paginya, tepat pukul delapan, udara di lantai tertinggi kantor pusat Lewis Company terasa membeku. Bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan ketegangan yang merayap di antara para petinggi. Semua kepala divisi, dari keuangan yang kaku hingga pemasaran yang flamboyan, telah berkumpul di ruang rapat utama. Panggilan darurat itu datang langsung dari Nyonya Martha Lewis, sang matriark keluarga, wanita tua dengan cengkeraman baja yang tak terbantahkan atas perusahaan. Begitu pintu mahoni itu tertutup dengan suara klik yang mematikan, dan setiap kursi terisi, suara ketukan pelan tongkat kayu Nyonya Lewis menggema. Wanita itu berdiri tegak di depan layar proyektor raksasa, setelan biru gelapnya memancarkan aura kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Raut wajahnya kaku, matanya tajam. "Aku mengumpulkan kalian semua pagi ini bukan tanpa alasan," ucapnya, suaranya dingin dan menusuk. "Ada sesuatu yang sangat besar… dan me

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 13

    Setelah diskusi panjang seputar struktur internal dan arah bisnis Jowstone Group, Tommy memandang ke luar jendela. Langit kota Levin tampak mulai mendung, awan kelabu perlahan menggulung, membawa hawa sejuk yang menusuk masuk melalui celah kaca besar ruangan direktur utama. Suasana ruangan itu sempat hening. Tommy menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. "Aku ingin kamu yang menangani perusahaan ini, Nona Zhuxin," ucapnya tenang namun penuh ketegasan. "Aku tidak punya cukup waktu untuk datang ke kantor setiap hari. Kirimkan laporan harian kepadaku secara rutin, dan aku akan meninjaunya di waktu senggang." Zhuxin Wang mengangguk pelan, tetap menunjukkan wajah profesional yang anggun. “Baik, Tuan Muda. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai arahan Anda,” ucapnya tegas namun sopan. Tommy menoleh ke arahnya, suara dan ekspresinya mulai lebih serius. “Dan satu hal lagi. Aku ingin identitasku dirahasiakan. Jangan biarkan siapa pun tahu siapa pemilik sebenarnya dari J

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 12

    Pagi yang cerah menyelimuti pusat kota Levin. Langit biru bersih terbentang di atas gedung-gedung tinggi, dan lalu lintas mulai menggeliat dengan ritme sibuk khas kota besar. Di dalam taksi yang meluncur menyusuri jalanan utama, Tiffany duduk di sebelah Tommy dengan raut wajah yang tenang. Mereka tak banyak bicara selama perjalanan, hanya membiarkan suasana pagi menemani pikiran masing-masing. “Kamu ingin turun di mana, Tom?” tanya Tiffany dengan lembut, memecah keheningan saat taksi mulai memasuki kawasan pusat kota. Tommy menoleh ke arah jendela, lalu menjawab pelan, “Aku turun di taman pusat kota saja.” Tiffany menatapnya sejenak, heran. “Kamu mau ke taman?” “Aku ingin mencari pekerjaan hari ini,bukankah aku mendapatkan tawaran sebagai office boy kemarin?” jawab Tommy, suaranya tegas namun tetap tenang. “Aku ingin mulai berkontribusi untuk keuangan keluarga kita. Sudah terlalu lama aku jadi beban.” Tiffany mengangguk. Meskipun tahu betul beban yang Tommy pikul tidak ringa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status