Setelah Tiffany selesai menelepon kedua orang tuanya, ia kembali ke ruang tamu tempat Tommy duduk sambil merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding.
“Apakah Ayah dan Ibu sudah setuju?” tanya Tommy sambil berbalik. Tiffany mengangguk. “Ya, mereka setuju. Bahkan katanya mereka sudah bersiap-siap dan akan segera berangkat.” Tommy tersenyum lega. “Baiklah, aku juga akan bersiap.” Tak butuh waktu lama, pasangan muda itu berjalan kaki menuju restoran sederhana yang hanya berjarak tiga blok dari rumah. Restoran itu kecil, bergaya Asia klasik, dengan lampu-lampu gantung dari anyaman bambu dan aroma rempah-rempah yang menggoda indera penciuman. Tepat ketika mereka tiba, tampak Gerald dan Nathalia juga baru turun dari taksi dan berjalan memasuki restoran. Setelah saling menyapa singkat, mereka memilih meja di pojok ruangan yang agak tenang. Seorang pelayan datang dan mereka memesan beberapa menu masakan Asia seperti ayam teriyaki, udon kuah pedas, serta tumis sayuran ala oriental. Setelah semua duduk dan minuman dihidangkan, Tiffany membuka percakapan dengan tenang, namun tegas. “Ayah, Ibu... ada beberapa hal yang ingin aku dan Tommy sampaikan malam ini.” Gerald mengangkat alis sedikit, sementara Nathalia menatap tajam seolah sudah curiga. Tiffany melanjutkan, “Pertama... Tommy sudah diterima bekerja di Bright Company sebagai office boy. Ia akan mulai besok pagi.” Hening sejenak menyelimuti meja. Denting gelas dari meja sebelah terdengar jelas, begitu juga suara musik lembut dari pengeras suara restoran. Nathalia langsung menoleh tajam ke arah Tommy dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Tommy, kamu benar-benar tidak berguna,” katanya dingin dan menyakitkan. “Bagaimana bisa kamu melamar pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih? Keluarga Lewis cukup terpandang di kota ini. Sudah cukup kamu sebagai menantu yang tidak punya apa-apa—jangan tambahkan aib lagi ke reputasi keluarga ini.” Wajah Tommy memucat. Tangannya yang memegang sumpit gemetar sedikit, tapi ia mencoba tetap tenang. Ia menjawab perlahan, “Tapi, Bu... aku hanya ingin membantu. Aku ingin menghasilkan uang sendiri untuk membantu kebutuhan rumah tangga. Daripada hanya duduk di rumah dan menjadi beban, bukankah lebih baik aku melakukan sesuatu?” Nathalia mencibir. “Kalau begitu, setidaknya carilah pekerjaan yang tidak memalukan! Menjadi office boy? Apa kamu tidak punya harga diri? Lihatlah suamiku! Meski aku anggap dia tak berguna, setidaknya dia tidak membersihkan toilet orang lain untuk mencari makan!” Mendengar itu, Gerald yang sejak tadi diam mulai angkat suara. Ia menatap Nathalia dengan sorot mata marah yang jarang terlihat. “Cukup, Nathalia!” katanya tegas. “Jaga bicaramu. Aku pernah menghasilkan satu juta dollar dari satu penjualan barang antikku. Dan hari ini, aku baru saja menjual guci porselen dari Dinasti Tang senilai tujuh ratus ribu dollar! Jadi berhenti mempermalukan orang hanya karena pekerjaan mereka.” Namun Nathalia tak mundur. Ia menatap Gerald penuh amarah dan merendahkan. “Kalau kamu memang sehebat itu hasilkan lebih banyak setiap hari,atau lebih baik kamu minta ibumu menyerahkan posisi direktur perusahaan keluarga padamu, bukan malah menjual ‘sampah berdebu’ itu setiap hari!” Suasana meja makan menjadi tegang. Para pengunjung lain mulai melirik ke arah mereka. Pelayan pun terlihat ragu-ragu ingin mendekat untuk menghidangkan makanan. Tiffany menarik napas panjang. Suaranya sedikit bergetar ketika akhirnya ia angkat bicara. “Sudah... Ayah, Ibu... tolong hentikan perdebatan ini. Kita datang ke sini untuk makan malam bersama. Tommy punya niat baik. Dia berusaha, dia mau berubah. Harusnya itu cukup untuk membuat kita bangga, bukan justru mempermalukannya.” Semua terdiam. Hanya suara musik instrumental yang terus mengalun. Tommy menunduk. Hatinya perih, namun ia menahan semua emosi itu di dalam. Ia tahu, hidup dalam keluarga ini tak pernah mudah. Tapi ia juga tahu, hari ini adalah langkah kecil pertamanya menuju harga diri yang selama ini dikikis oleh pandangan rendah orang-orang. **** Tiffany menyesap teh hijaunya perlahan, lalu meletakkan cangkir ke atas tatakan porselen sebelum melanjutkan. “Aku harap... apa pun pekerjaan Tommy, itu bukan masalah bagi kita semua. Lagi pula, ini adalah pekerjaan pertamanya sejak menikah denganku dan bergabung ke dalam keluarga Lewis. Bahkan... kakek sendiri yang dulu melarang Tommy untuk bekerja. Kita semua tahu itu.” Tommy menunduk sebentar, mengingat kembali masa-masa awal pernikahannya, ketika dia mulai bertemu dengan Albert, yang tidak lain adalah kepala keluarga Lewis atau kakeknya Tiffany, orang yang benar-benar menatap matanya dengan penuh hormat tanpa alasan apapun yang Tommy ketahui. Tiffany melanjutkan, kali ini suaranya sedikit lebih formal. “Berita kedua yang ingin kusampaikan adalah... hari ini dalam rapat perusahaan, kami membahas ulang tahun nenek,Nyonya Lewis yang ke 65, yang akan dirayakan lusa. Nenek ingin mengadakan pesta di vila keluarga Lewis yang ada di perbukitan timur. Bukan sekadar pesta keluarga, tapi juga pertemuan bisnis. Nenek juga mengundang semua mitra dan rekan serta semua pengusaha di Levin.” Gerald langsung mengangkat kepala, mengerutkan alisnya. “Ah, aku bahkan lupa kalau ibuku ulang tahun lusa…” katanya pelan, hampir merasa bersalah. “Kalau begitu, besok aku akan membeli kado yang pantas untuknya.” Nathalia, yang sejak tadi sudah terlihat lelah dengan topik ini, menyela dengan sinis, “Apa yang ingin kamu hadiahkan, Gerald? Kau tahu sendiri ibumu hanya menyukai barang-barang mahal. Dia wanita tua yang matre—mata duitan sejak muda. Hadiah murah pasti langsung di buang.” Gerald menghela napas, lalu menatap Nathalia dengan sorot yang sudah terlalu sering terpendam. “Lalu... apa bedanya ibuku denganmu?” katanya dengan nada tenang namun tajam. “Bukankah kalian berdua sama saja? Menghitung uang seperti menghitung napas. Bedanya... dia tidak pernah menyebut dirinya 'bijak' dalam mengelola uang keluarga.” Nathalia menegang. Matanya melebar sejenak, namun ia tak tinggal diam. “Gerald! Jaga bicaramu! Aku menjaga keuangan keluarga ini dengan baik. Kalau bukan karena aku, kalian semua sudah memboroskan seluruh uang keluarga hanya untuk hal-hal tidak penting!” Gerald menyandarkan tubuh ke kursi dan tertawa kecil, pahit. “Omong kosong! Kami bahkan tidak pernah tahu ke mana uang itu mengalir. Yang kami tahu setiap bulan kami menyerahkan uang padamu,dan kamu ke salon setiap minggu. Belanja baju, perawatan wajah, dan menghabiskan waktu bermain kartu bersama teman-temanmu sepanjang hari. Itu yang disebut manajemen keuangan?” Suasana kembali memanas. Para pengunjung restoran di meja sekitar mulai melirik dengan rasa tidak nyaman. Bahkan pelayan yang hendak mengantarkan makanan mereka terlihat ragu untuk mendekat. Di tengah percakapan yang mulai bergeser menjadi pertengkaran, Tiffany dan Tommy saling memandang—mata mereka saling bertemu, dan keduanya serempak memijat pelipis masing-masing. Ini bukan pertama kalinya orang tua mereka berdebat seperti ini. Bahkan, mungkin ini sudah menjadi semacam tradisi dalam keluarga. Tommy berbisik pada istrinya, “Mereka seperti tikus dan kucing.” Tiffany hanya mengangguk pelan dan berkata lirih, “Atau dua kucing tua yang tak pernah mau kalah satu sama lain.” Namun sebelum percakapan bisa semakin panas, pelayan akhirnya datang membawa makanan ke meja. Aroma ayam teriyaki dan udon pedas menyebar, seakan mencoba menjadi penengah di antara dua kubu yang saling menyerang. Gerald mengambil sumpitnya dan bergumam, “Yah... setidaknya kita masih bisa menikmati makan malam yang layak. Walaupun diselingi pertempuran kecil.” Nathalia tidak menjawab. Ia hanya mengangkat alisnya tinggi dan mengambil sayuran dari piring saji, seolah mengabaikan semua komentar sebelumnya. Namun ketegangan itu tidak akan benar-benar mereda. Karena memang beginilah kebiasaan kedua mertuanya. Bahakan hal kecil bisa jadi masalah besar yang berlarut-larut hingga berminggu-minggu.Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang
Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan
Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr
Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad
Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk
Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t