"Bagaimana rasanya di sini?" Cakra membelah kesunyian di pantai sore itu.
"Agak lebih baik," Kata perempuan itu, duduk memeluk lutut. Mengarahkan pandangannya ke depan sana, ke arah surya yang semakin rendah saja. Seperti hendak menuju ke dalam air laut.
Cakra tersenyum, ia mulai mengerti bagaimana memperlakukan perempuan sedang dilanda emosi. Kedua tangannya lantas melingkari pinggang Mega dari belakang. Menyandarkan ragu di atas pundak sang istri. Awalnya Mega terlihat menolak, tapi ia diam saja.
"Kalau seperti ini, bagaimana?" Sengaja Cakra menggosokkan pelan pada pundak yang masih bergeming itu.
"Mega, aku cinta sama kamu," Bisiknya, tepat di depan telinga Mega. Perlahan, ia mengurai pelukan, lalu bergerak ke depan wajah sang istri. Membingkai sepasang pipi yang sudah bersemu merah, entah sejak kapan.
"Kamu mau kan, memaafkan aku?"
Perempuan itu masih bergeming dan menundukkan wajah. "Mau
Cakra melepaskan kancing baju Mega bagian atas. Namun, aktifitasnya tertunda karena ada seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia mendengus kesal, sudah berapa kali hal ini terjadi. Hampir tak bisa terhitung. Keterlaluan sekali mereka! Batinnya. Ia bergerak membuka pintu dengan hati dongkol."Dari mana saja kalian?"Belum sempat ia memastikan siapa yang ada di balik pintu itu, sebuah pertanyaan lantang nyaring di depan telinga. Ketika ia melihat, ada sepasang mata menatap nyalang. Sepasang mata pucat karena kehilangan make-up yang biasa menempel tebal di sana."Menantu nggak tau diri kamu ini! Mertua bekerja seharian, cari uang buat makan. Kalian malah keluyuran nggak jelas sampai malam!" Sosok itu kembali menyentak.Bosan? Jangan ditanya. Jika mau, Cakra bisa membanting pintu saat ini juga. Untuk menghindari celotehan menusuk wanita bergelar ibu mertua itu. Entah apa makanannya tadi, begitu semangat ketika melantan
Waktu bergulir begitu cepat, bulan dan tahun telah berganti tanpa disadari. Akhir tahun tinggal beberapa hari. Pada tahun ke empat pernikahan Cakra dan mega.Hari sudah siang, ketika Cakra hampir menyelesaikan pembelajaran di salah satu kelas sembilan. Kelas riuh yang sejak tadi berceloteh minta segera pulang."Baiklah. Tugasnya jangan lupa di kerjakan, ya,""Iya, pak," Anak-anak menyahut malas.Semangat mereka telah redup, bila dibandingkan dengan pagi harinya. Kebiasaan anak-anak usia SMP, jika kelas pagi, guru pun mau di lahap mentah-mentah. Namun, ketika menjelang jam pulang tak jarang mereka tertidur di dalam kelas. Bahkan ketika guru masih mengoceh di depannya.Ada yang ingin ditanyakan?" Cakra kembali bertanya sambil merapikan buku-bukunya."Ada pak," Salah satu anak lelaki menjawab, wajahnya seperti baru bangun tidur."Iya?""Kapan pulang?" Anak itu nyeletuk. Diikuti sua
"Dua minggu lagi usia pernikahan kalian genap lima tahun. Hingga saat ini, belum ada perubahan bagus yang kamu tunjukkan pada kami," Pak moko bersuara tanpa basa-basi."Tapi, Pak,""Gajimu itu tidak lebih besar dari kami. Dan anak. Kamu juga belum bisa memberikannya untuk kami!" Pak moko menuding tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Cakra untuk membela diri.Tak ada waktu yang diberikan oleh pihak keluarga untuk mereka berdua mencetak anak. Itulah penyebab mengapa hingga kini belum bisa memberikannya. Cakra malam ini hendak mengatakan hal tersebut, tetapi pak moko sepertinya sudah akan kembali bersuara."Kalau dalam waktu dua minggu ini, Mega belum ada tanda-tanda kehamilan. Maka kalian harus bercerai!" Suara pak moko terdengar lirih dan datar. Wajahnya menatap ke lurus ke depan, ke arah lampu berjajar indah di pinggiran pintu gerbang.Sementara Cakra, beberapa menit menata
"Mas?" Ia menyapa penuh harap, karena sejak dari meja makan tadi, suaminya selalu terdiam. Seolah tak peduli."Aku harus berangkat,""Mas, tunggu!" Sia-sia. Cakra sudah menghilang dari balik pintu. Meninggalkan Mega menatap daun pintu tertutup dengan pandangan tertegun. Ia mengerjap beberapa kali untuk menghalau agar genangan yang hendak tumpah itu menghilang."Katanya kamu mencintaiku, Mas. Tapi kenapa mudah menyerah?" Lirihnya dengan nafas tersengal, air mata pun bercurah tanpa halangan apapun.Sementara itu, di perjalanan Cakra mengemudikan motor seperti lepas kendali. Berkali-kali tangan kanannya memukul stang dengan keras, diiringi umpatan tak jelas karena wajahnya tertutup helm standar.Hari ini, sebenarnya ia tak ada jadwal mengajar. Hanya saja sebagai guru negeri, tidak boleh absen tanpa alasan jelas. Ia harus masuk tiap hari untuk absen.Dari rumah pak moko hingga tiba di tempatnya mengaja
Sebelum menjawab, Cakra melepaskan nafas berat. Sangat berat dari biasanya."Bapak tetap pada pendiriannya," Ia menjawab lesu. Seketika membuat netra Mega membulat penuh."Meminta kita tetap berpisah?" Tebaknya. Cakra lagi-lagi lesu dalam mengangguk. Setelahnya, tak terdengar lagi Mega bersuara. Suaranya telah berganti menjadi isakan tertahan, hingga dadanya bergerak tak beraturan."Istriku. Boleh aku minta sesuatu untuk terakhir kalinya?""Apa itu?""Tubuh ini. Untuk yang terakhir," Cakra menjawab dengan membingkai wajah sang istri. Hingga tanpa terasa, ada butiran hangat meluncur bebas di pipinya.Sementara Mega, sekilas menatap nanar wajah suaminya. Ia lantas melengos dengan diiringi air mata mengalir pula."Mega," Lirih Cakra, menghadapkan kepadanya wajah basah itu. Membersihkan air matanya, meski terus-menerus mengalir semakin deras."Aku benci kata-kata t
Siang menjelang sore, selepas pulang dari sekolah. Cakra berada di kos-kosan sempit, tak jauh dari sekolah. Tempat itu ia pilih agar memudahkannya berjalan hingga ke sana. Sudah hampir lima belas menit, ia menatap hampa pada sebungkus nasi yang ia beli di pinggir jalan tadi. Juga sebotol air mineral. Belum tersentuh.Kehilangan. Sesakit inikah rasanya? Padahal semalam ia masih merasakan hangat tubuh sang istri, kini semua itu tinggal kenangan yang semakin diingat, semakin tercipta rasa nyeri.Tak ada siapapun yang mengetahui ia berada di tempat ini. Termasuk Mega, ataupun pak Tejo yang selalu menanyakan kabarnya. Saat ini, tak ada alat apapun untuk berkomunikasi. Hanya sebuah kartu sim yang tadi pagi ia lepaskan dari ponsel barunya.Ponsel baru? Iya. Beberapa bulan lalu, ia membeli dua benda pipih keluaran terbaru untuk dirinya sendiri dan istrinya kala itu. Cakra memalingkan wajah dari makanan dan minuman itu, ia memilih menyalak
Ia masuk, menyusul Lidya yang telah duduk di bangku, di depan pasangan muda sedang menikmati makanannya. Betapa kagetnya ia, ketika melihat siapa yang sedang makan di depannya itu."Kalian?" Pekiknya menatap kaget. Hingga membuat dia orang yang disapa itu mendongak, lantas saling mengernyit. Menatap Cakra dan teman wanitanya secara bergantian."Jadi kamu, rupanya? Bagus sekali ulahmu. Baru tadi pagi bercerai dengan Mega, sekarang sudah jalan bersama perempuan lain. Laki-laki macam apa kamu, ini?" Lelaki yang sedang menikmati bebek goreng itu mendengus, menghentikan aktifitasnya dalam menyuapi mulut."Mas, Bima. Tolong jangan salah paham dulu. Saya .... ""Apa? Semuanya sudah sangat jelas, kan?kami, melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu jalan berdua dengan perempuan lain!" Bima menghardik, memotong ucapan Cakra sambil mengangkat telunjuknya ke arah Lidya, yang menunjukkan wajah ternganga.Cakra belum bisa men
Ia menoleh, bu Lidya memanggilnya dengan memasang wajah serius. Sepertinya, gadis itu pun hendak bertanya hal serius. Membuat detak jantung Cakra mendadak berpacu. Muncul rasa takut terlebih dahulu, padahal belum tau sosok di depan itu akan berbicara apa."Yang semalam itu siapa? Yang bilang bahwa bapak baru saja bercerai?"Sebuah ketakutan itu terjadi, sebelum Cakra berhasil menyimpulkan kegelisahannya. Bu Lidya benar-benar bertanya tentang kejadian semalam di warung tenda. Awalnya Cakra berfikir bahwa gadis itu telah melupakannya."Jadi sebenarnya bapak selama ini sudah menikah? Kenapa tidak pernah mengatakannya?" Cecar perempuan muda itu, netra lentiknya menatap ke arah Cakra tanpa berkedip.Mata indah berpoles riasan sederhana itu, sesekali menyipit, memperhatikan Cakra yang masih acuh. Tak segera menanggapi pertanyaannya tadi, lelaki itu hanya sibuk menjejali mulutnya hingga kedua pipinya menggembung.