Tak terasa sudah seminggu berlalu pernikahan Arnita dan Arman berjalan. Dan selama seminggu itu juga Arnita tinggal di rumah Arman. Walaupun pernikahan mereka dilakukan karena Arnita merasa berhutang budi dengan Arman, tapi Arnita tidak pernah merasa keberatan untuk menjadi istri Arman.
Awal pertemuan Arnita dan Arman terjadi di toko bunga tempat dimana dulu Arnita bekerja sebelum menikah dengan Arman. Awalnya Arnita memang merasa terpesona dengan wajah Arman yang tampan, tapi ia tidak pernah berharap untuk menjadi istri Arman. Hingga suatu hari entah darimana Arman mengetahui tentang alamat rumahnya. Arnita benar-benar terkejut dengan kedatangan Arman di rumahnya. Apalagi pria itu menawarinya untuk menjadi istrinya. Benar-benar gila bukan? Tapi Arnita menolaknya, ia cukup tahu diri untuk tidak menerima tawaran Arman. Tapi Arman melakukan segala cara untuk bisa menjadikannya istri. Dan karena alasan Arman telah membayar semua hutang-hutang ayahnya, membuat Arnita merasa berhutang dengan Arman. Orang tua Arnita juga menyukai Arman dan memberikan restu untuk Arman agar menikahi Arnita. Akhirnya Arnita menerima lamaran Arman karena rasa ingin membalas budi kebaikan yang sudah Arman berikan untuk keluarganya. "Masih belum selesai?" Arnita menengokkan kepalanya ke belakang, terlihat Arman sedang berdiri bersandar pintu dapur sambil melipatkan kedua tangannya didepan dada. Arnita kembali fokus pada cucian piringnya saat Arman mulai berjalan mendekat ke arahnya."Minta bibi saja untuk menyelesaikan cucian piringnya." suruh Arman dengan pandangan tidak suka melihat Arnita yang masih bekerja sedangkan penghuni rumah lainnya sudah pada tertidur nyenyak. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Arnita belum bisa mengistirahatkan badannya karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Arnita selalu menjadi orang terakhir yang tidur di rumah ini. Bahkan para pembantu sudah tertidur pulas sejak jam sembilan malam tadi."Tinggal dikit lagi." ujar Arnita sambil segera menyelesaikan cucian piringnya yang hanya tinggal tiga piring lagi.Arman berdecak dengan sikap keras kepala Arnita yang selalu membantah dan mengabaikan ucapannya. Arman mengambil piring yang sudah Arnita cuci dan membantu Arnita mengeringkannya. Arman masuk kedalam kamar terlebih dahulu karena Arnita harus memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci semua. Setelah memastikan semua pintu dan jendela, Arnita menyusul Arman masuk kedalam kamar. Sudah bukan menjadi hal asing bagi Arnita saat melihat Arman tidak memakai bajunya saat akan tidur. Tapi tetap saja Arnita masih merasa malu setiap melihat Arman tidak memakai baju seperti itu. Arnita berjalan ke sisi kasur yang kosong untuk berbaring. Arnita baru saja memejamkan matanya dan merasakan ada pergerakan di sampingnya. Arnita kembali membuka matanya dan menatap ke Arman yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Arman membuka laci di samping nakas dan mengambil sesuatu dari dalam nakas."Ini ada hadiah dari mas Rehan dan mbak Imel." Arman memberikan dua tiket untuk bulan madu ke pangkuan Arnita.Arnita kembali harus mendudukan badannya. Dan sepertinya malam ini Arnita harus tidur lebih malam karena pasti pembicaraan mereka malam ini pasti akan panjang. Arnita meraih dua tiket di pangkuannya dan membacanya dengan teliti."Bali?" gumam Arnita membaca tempat bulan madu yang akan mereka datangi."Aku sudah mengambil cuti selama seminggu untuk pergi bulan madu." ujar Arman dengan wajah santainya."Mas sudah ambil cuti? Padahal aku belum bilang setuju untuk pergi bulan madu." "Memangnya kamu nggak mau pergi ke Bali?" Arman menaikkan satu alisnya."Bukan begitu, tapi ini terlalu mendadak. Ini sudah hari kamis dan kita harus berangkat hari sabtu?" Arman mengedikkan bahunya. Arman sama sekali tidak mempermasalahkan keberangkatan bulan madu mereka yang mendadak. Ia senang-senang saja bisa bersantai dan melupakan pekerjaan kantor untuk beberapa hari. "Aku nggak enak sama mama, nanti nggak ada yang masakin makanan di rumah, nggak ada yang bersihin rumah, nggak ada yang ngurus tanaman mama, nggak ad_" "Ada bibi yang bisa mengerjakan itu semua. Aku sudah bilang untuk jangan memikul semua tanggung jawab rumah ini sendirian. Menantu dirumah ini bukan hanya kamu." ingin sekali Arman mencubit kedua pipi Arnita karena saking gemesnya. "Besok kita bicara sama mama." putus Arman.Arman kembali membaringkan badannya dan memunggungi Arnita."Dia pikir dia pembantu apa dirumah ini?" gumam Arman kesal.***"Mama mau tambah lauknya?" tanya Arnita menawari ibu mertuanya."Nggak, sudah cukup." balas Cintya singkat."Ma aku titip Kenzo ya, soalnya aku ada jadwal pemotretan hari ini." ujar Mawar di sela sarapannya.Sudah menjadi kebiasaan jika Mawar ada jadwal pemotretan, maka dia akan menitipkan Kenzo kepada ibu mertuanya. Setau Arnita Mawar memiliki jadwal pemotretan yang cukup padat. Bahkan kakak iparnya itu pernah tidak pulang selama tiga hari dan tidak datang di acara pernikahan Arnita dan Arman."Iya, nanti biar bi Ira yang mengantar Kenzo ke sekolah atau nggak biar Arnita yang mengantar Kenzo. Arnita kan nggak punya kerjaan yang penting." balas Cintya sambil melirik ke arah Arnita dengan tatapan menyepelekan.Tangan Arnita yang ingin menyuapkan makanan ke mulutnya tiba-tiba berhenti. Arnita akui jika ia memang tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan semua menantu di rumah ini memiliki pekerjaan. Tapi Arnita juga ikut merawat rumah ini, tapi itu saja tidak cukup untuk membuatnya terlihat j
Semalam sebelum tidur Arnita menyempatkan diri mengemasi pakaian-pakaian yang akan mereka bawa selama berada di Bali nantinya. Semalam juga Arnita dan Arman sudah mengambil keputusan jika mereka akan tetap pergi ke Bali. Lagian Arman juga sudah terlanjur mengambil cuti dari kantor dan juga merasa tidak enak jika tidak memakai pemberian mas Rehan dan mbak Imel. "Udah semuanya? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Arman memastikan."Udah semua mas." balas Arnita yakin. Tentu saja ia yakin karena ia sudah mengecek semua barang bawaan beberapa kali karena takut ada yang ketinggalan. Jadwal pesawat mereka pukul delapan pagi jadi mereka akan berangkat dari rumah satu jam sebelum take off. Jarak bandara dari rumah tidak terlalu jauh, mungkin butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai. Dan untungnya ini hari minggu jalanan pagi ini tidak terlalu macet seperti hari biasa. Tok….tok "Den Arman!" Suara panggilan bi Ira membuat perhatian Arnita dan Arman yang sedang menyiapkan koper teralihk
Arnita yang sedang memejamkan matanya terkejut mendengar suara dobrakan pintu yang dipaksa dibuka dari luar. Terlihat Mawar berjalan cepat menghampiri brankar Cintya dengan wajah panik yang sedikit berlebihan."Mama kenapa kok bisa masuk rumah sakit?" tanya Mawar dengan suara yang mendayu-dayu."Overdosis obat tidur." balas Cintya."Aku bawakan mama lasagna kesukaan mama." Mawar menunjukkan paper bag di tangannya."Mama tadi sudah makan masakan rumah sakit mbak, lasagnanya mungkin bisa dimakan mama nanti karena takutnya mama kekenyangan." ujar Arnita sambil tersenyum tipis.Mawar memutar bola matanya malas mendengar ceramah Arnita yang membuat telinganya pengang. "Mama masih lapar, biar lasagnanya mama makan." Cintya meraih paper bag ditangan Mawar dan mulai memakan lasagna yang Mawar bawakan. Mawar menatap Arnita dengan tersenyum puas karena ibu mertuanya memihaknya daripada Arnita. Sedangkan Arnita tetap menunjukkan senyum tipisnya meski pendapatnya tidak didengar oleh ibu mertuan
Baru saja Arman menginjakkan kakinya di kantor, Arman langsung mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah dari karyawan-karyawan di kantor. Arman mengernyitkan keningnya merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami sekarang. "Ada apa ini?" tanya Arman kepada semua karyawan yang terlihat sangat gembira."Selamat ya pak untuk kemenangan tender kemarin." ujar salah satu karyawan laki-laki.Ah Arman ingat sekarang. Jadi karyawannya sudah pada mengetahui tentang tender yang dimenangkan perusahaan."Saya juga mengucapkan selamat untuk kalian, perusahaan kita bisa memenangkan tender juga karena usaha dan kerja keras kalian semua." ujar Arman dengan merendah. "Sama-sama pak, tapi pak Arman yang paling kerja keras untuk tender perusahaan." puji salah satu karyawan perempuan.Memang benar Arman bekerja lebih keras untuk memenangkan tender ini. Ia bahkan harus beberapa hari lembur di kantor untuk mengecek seluruh persiapan untuk tender perusahaan. Tapi Arman bersyukur usahanya t
Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah. Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Se
"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau