Share

Ibu Mulai Lagi

Tak terasa sudah satu bulan berlalu. Kandungan Arumi memasuki usia dua bulan lebih. Dalam satu bulan ini aku merasa tenang ibu tak lagi mempermasalahkan hal-hal yang menurutku tak perlu dipermasalahkan dengan Arumi.

Aku pun merasa sangat berdosa pada ibu, karena waktu itu sempat berpikir yang bukan-bukan tentang yang dilakukan beliau pada Arumi hingga membuat Arumi pingsan.

"Maafkan anakmu ini, ibuku tercinta," bisikku untuk diriku sendiri. Bahkan dalam satu bulan ini, ibu tak lagi seperti bulan kemarin pada Arumi. Namun, ternyata aku salah.

***

Setelah salat subuh aku pun mempersiapkan apa-apa yang akan di bawa ke kantor.

"Bang, aku tidur lagi boleh ya, badanku rasa pegal-pegal."

Iya tidur aja lagi. Kamu 'kan harus jaga fisik agar kandungan kamu baik-baik saja.

"Terus pagi ini, kamu sarapan pakai apa, bang?"

"Ah, itu gampang tak perlu kamu pikirkan. Abang bisa sarapan pakai bingka yang kamu buat tadi malam sama Ibu, kalau mau sarapan lain Abang juga bisa buat sendiri, dek."

"Gak apa-apa, Bang?"

"Lo, masalahnya di mana? kamu ini lupa suamimu ini udah jadi perantauan bertahun-tahun nuntut ilmu di daerah orang bahkan dulu pun 'kan kerja di daerah orang sebelum menikah. Itu mah biasa dek, kecil. Jangankan cuma bikin sarapan. Mengerjakan semua sendiri juga Abang biasa." Ku usap kepala istriku tersayang.

"Iya, deh, tapi--" kalimat Arumi terputus.

"Tapi kenapa? Udah tidur sana lagi. Nanti jangan lupa di minum vitaminnya." ujarku pada Arumi yang nampak masih ragu untuk tidur kembali dan istirahat.

Aku keluar kamar, membuat kopi dan mengambil kue dalam kulkas. Ku lihat ibu keluar dari kamarnya juga, kemudian duduk di sampingku.

Tidak apa-apalah hari ini sarapan sama kue. Biasanya juga Arumi buat nasi goreng atau makanan lain untukku sarapan. Hari ini biarlah dia istirahat kasian dia mungkin lelah tadi malam bantu ibu bikin kue bingka ini, salah satu kue kesukaan ibu. Ibu memang suka membuat kue, kadang bahkan beliau mendapat orderan dari acara pengajian dan lain-lain.

"Arumi mana, Ga?"

"Oh, Arumi tidur lagi Bu ... katanya badannya berasa tak nyaman."

"Enak kali dia ya, mentang-mentang hamil suami mau berangkat kerja bukannya dilayani malah enak-enakan tidur."

"Ibu, kenapa harus dipermasalahkan? 'kan Ibu tahu, kalau kandungan Arumi lemah dan harus di jaga, tidak boleh lelah dan banyak pikiran." Aku mengingatkan ibu kembali, keterangan dokter satu bulan lalu.

Kemudian aku sambung lagi. "Lagian dia capek banget kali, Bu. Tadi malam 'kan bantu Ibu buat bingka ini sampai larut malam, karena ibu buat banyak untuk dikirim ke Andini dan ngasi tetangga."

Iya, sebenarnya pada dasarnya ibu baik bahkan beliau kalau membuat sesuatu pasti sekalian buat ngasi tetangga atau buat keluarga kami. Cuma kalau masalah ucapan yang keluar dari mulut beliau sing ada lawan kata orang. Sebenarnya dulu ibu pun tak begitu. Aku lupa semenjak kapan ibu berubah seperti ini. Tapi, hanya pada orang dekat saja. Kalau sama orang lain ibu banyak diamnya.

Mendengar ucapanku, membuat ibu murka. Suara beliau meninggi.

"Raga ... Raga, ibu juga pernah hamil! bukan cuma satu kali, Raga! Kalau hanya bikin kue, masak, dan kerja rumah gak masalah sama sekali, itu mah kecil. Seujung kuku aja, enggak! Bahkan ibu dulu bukan hanya kerja rumah tapi bantu almarhum Bapakmu ke kebun, tapi lihat kalian lahirnya sehat-sehat semua bahkan sampai sekarang, sampai jadi suami dia."

Ya Allah, aku kira udah hampir sebulan ini ibu tak mempermasalahkan sama sekali karena ibu udah berubah sama Arumi.

Rupanya pagi ini hanya karena menantunya itu tak menyiapkan sarapan anaknya ini, ibu mulai lagi. Padahal sudah ku beritahu dan aku ingatkan perihal Arumi yang dikatakan dokter waktu itu.

Aku memilih diam agar tak memperpanjang masalah. Namun, bukannya selesai ibu masih lanjut dengan celotehnya. Lebih tepatnya berbicara pada dirinya sendiri.

"Heran, aku sama istri-istri jaman sekarang!! kayaknya mudah banget capek, lelah, sakit. Hah!! Kebanyakan makan micin kali. Para suami anteng aja lagi, gak diurus sama bininya. Pada takut semua kali sama bini, tapi istri begitu malah dibilang baiik, solehaaa sama orang. Dibelain sama lakinya. Ampun ... ampun."

Huhh! Aku hanya bisa membuang nafas kasar... Mengeluarkan beban mendengar semua ocehan ibu.

"Kalau kami dulu udah kerja rumah, masak, beberes, ngurus anak masih pontang-panting ke kebun bantu suami cari nafkah. Buat nyekolahin anak, biar berguna, berbakti sama orang tua. Udah besar udah jadi laki orang malah lebih bela orang lain yang baru hadir. Dari pada orang tua yang ngelahirin, ngurusin, sampai bisa jadi orang."

Ya, walaupun ayahku adalah seorang PNS, tetapi PNSnya golongan rendah jadi gaji tak besar. Lagipula Pegawai Negeri dahulu tak seperti PNS sekarang yang Alhamdulillah sudah banyak tunjangan ini-itu. Kalau dulu hanya gaji, dan gajinya pun sanagat kecil.

Jadi untuk membantu keuangan sekolah kami Ayah dan Ibu masih berkebun. Ayah dan ibu selalu nyekolahin kami di sekolah terbaik di daerah kami.

Mereka mau pendidikan kami terjamin. Karena hanya itu yang dapat mereka berikan untuk masa depan kami. Begitulah kata ayah dulu.

Hatiku tertohok, aku benar-benar bingung, serba salah. Ngomong salah ... tak ngomong salah.

Aku hanya berbicara di hati saja untuk menenangkan diri dan menyejukkan ruang hati.

Oh ibuku yang baik, yang ku hormati, aku sayangi. Tahukah dirimu kalau dirimu tak bergeser sedikit pun dari hati ini. Bakti ini hanya untukmu. Karena itu aku menuruti permintaan ibu, untuk tinggal di sini bersama ibu. Walau sangat jauh dari kantor.

Meski apapun itu tak dapat membalas setetes pun ASI-mu untukku.

Walaupun kulit ini di kuliti untuk dijadikan sendal jepitmu tak kan mampu membalas secuil pun sakitmu ketika melahirkanku, walaupun emas berbukit-bukit kuberikan padamu takkan bisa mengganti peluhmu mengurusku.

Anakmu ini hanya minta pengertian sedikit saja darimu untuk menyayangi anak orang yang kini ku jadikan istri dan menjadi anakmu juga, Bu.

Tentu semua kata-kata itu hanya tercekat di tenggorokan tak mampu ku keluarkan. Aku tak mau memperpanjang masalah. Mau bagaimanapun dia adalah ibuku. Yang melahirkan, mengasuh dan mendidikku hingga seperti ini persis seperti yang beliau katakan tadi. Ya sudah, bersabar sajalah dan berarap Arumi yang sedang tidur di kamar tak mendengar sama sekali celoteh ibu tadi.

Sekali lagi kukatakan. Ibuku sebenarnya orangnya sangat baik, dengan orang-orang, tetangga, suka membantu, suka berbagi, suka memberi. Cuman memang kalau ngomong ya begitu ceplas-ceplos.

Tiba - tiba Arumi muncul ke dapur,

"Bang, mau sarapan pakai apa hari ini, Bang? Biar adek buatin."

"Udah sayang, pakai kue ini juga udah kenyang. Katanya kamu ngantuk badan pegal-pegal kok malah bangun? Istirahat aja sana."

"Ilang ngantuknya, Bang ... pegalnya juga nanti ilang sendiri."

Arumi segera mengumpulkan piring kotor bekas semalam dan sepertinya mau mencuci piring.

"Lo dek, gak usah di kerjakan sekarang nanti aja nunggu kamu gak pegal-pegal lagi. Lagian masih terlalu pagi juga buat cuci piring."

Istriku tak perduli dia mulai mencuci piring.

Mungkin ucapan ibu di dengarnya tadi.

Ibu bukannya mencegah malah berujar, "Gitu dong! jangan jadikan hamil alasan buat bermanja ria."

"Ibuk!" ucapku pada ibu.

"Kenapa? ibu salah lagi!"

Medengar ucapan ibu utuknya, Arumi pun tak menoleh sama sekali.

Aku rasa dia hanya pura-pura tak mendengar seolah suara air yang keluar dari keran melenyapkan suara ibu. Namun, aku yakin dia mendengar.

Melihat itu tak tega, timbul keinginan mau bantu istriku nyuci piring dulu, tetapi urung kulakukan karena pasti kata-kata ibu buat Arumi akan lebih pedas.

Sebulan ini ibu banyak diam. Aku kira dirinya sudah berubah seperti dulu lagi pada Arumi. Namun, pagi ini rupanya kata-kata ibu makin dahsyat.

Tak mau memperkeruh keadaan. Aku pun masuk ke ruang dalam. Ibu berlalu mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dan ketika menyapu ruang dalam, sesaat beliau melewati kamar kami. Ketika di dekat pintu kamar kami ibu terdiam. Ternyata memperhatikan sebuah kardus yang cukup besar di dekat lemari di dalam kamar.

Melihat itu, aku mengusap telinga dan menggaruk kepala yang tak gatal, Aduuh! Siap-siap ... siap-siap... telinga telinga sabar ya.

Kemudian ibu mendekatinya, memperhatikan dengan seksama isinya dan berteriak "Arumiii!! ini apaaa??" Ibu sepertinya sangat marah melihat isi kardus itu.

Arumi sampai terperanjat mendengar teriakan ibu yang menggelegar dan segera berlari ke dalam.

Ada apa lagi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status