Share

Rahim Subur?

Author: HaluMutu
last update Last Updated: 2022-04-07 12:50:41

Terdengar salam dari seberang, dari suaranya aku tidak asing. Bukan berarti hapal, tetapi aku pernah mendengar pemilik suara itu.

"Afwan, apa benar ini dengan Alfaqir?"

"Iya, saya orang itu. Saya hanya mau mengatakan itu uang satu milyar adalah hak kamu. Dan bukan hanya itu, masih banyak lagi yang akan saya berikan sesuai wasiat seseorang."

"Seseorang? Siapa, ya?"

"Maaf, menurut wasiatnya, saya tidak bisa memberitahu sekarang."

"Oh, baik, terima kasih."

Kututup sambungan telepon untuk menghitung jumlah uang, apa benar nominalnya sesuai dengan yang dikatakan.

"Allahu akbar, ini benar." Mataku tak henti-hentinya berkaca-kaca.

Aku jadi teringat perihal konsultasi masalah rahimku. Apa ada masalah sehingga setelah tiga tahun menikah aku tak kunjung memiliki anak. Sejak dulu aku tidak punya uang untuk konsul ke dokter, sementara ibu mertuaku selalu mencegatku jika aku hendak mengatakan itu pada Mas Agha.

Flashback on

"Mas, aku ingin kita-"

"Sudah, Mutia. Jangan banyak maunya, sudah tahu suami hanya pulang sebentar, eh malah bilang minta ini itu. Belum cukup uang yang dia berikan?" cetus ibu mertuaku sembari berkacak pinggang.

Mas Agha tidak pernah membelaku, dia diam dan memilih masuk ke dalam kamar. Saat aku hendak menyusulnya, ibu selalu saja mengalihkan hal itu agar aku sibuk.

"Mas, aku ingin kita bicara sebentar."

"Mutia, aku besok harus berangkat kerja pagi-pagi lagi. Aku ingin istirahat."

Beberapa kali Mas Agha seperti itu, aku tidak banyak protes karena aku harus sadar diri, aku belum bisa memberikan apa yang dia inginkan.

"Kenapa kita tidak periksa ke dokter, Mas?"

Tidak ada jawaban, aku lihat ternyata Mas Agha sudah terlelap. Baiklah, mungkin besok.

"Haus banget, ya. Duh gerah rasanya."

Aku keluar untuk mengambil segelas air sekaligus mencari udara segar. Setidaknya dapur lebih luas dari kamarku.

"Gimana rasanya jadi wanita mandul? Huft, gak tau dah, nasib nasib. Anakku menikah dengan wanita tidak tau diuntung, sudah sadar dirinya mandul, dari yatim piatu, ke sini kayak-kayak cuma numpang dan mencari belas kasihan."

'Dulu aku sudah menjelaskan bahwa aku hanyalah anak yatim piatu, tetapi ibu mertuaku mengira ayah dan ibuku adalah orang kaya.'

Kala itu, tepat setelah akad, ibuku langsung berya harta warisan papa. Selaku pengantin baru, masih lugu dan malu, aku hanya bisa menunduk.

"Kamu punya harta warisan berapa milyar uang, berapa hektar tanah, berapa aset perusahaan?" tanya ibu mertuaku dengan sangat ketus. Salah satu khasnya adalah dengan berkacak pinggang.

"Buk, kok?" Mas Agha mencoba membuat ibunya mengerti, aku tahu dari gelagatnya ia tidak suka ibunya bertanya seperti itu padaku.

"Loh, Gha. Kamu sudah tanyakan belum? Ini penting, saat kalian sudah menikah, hartanya juga jadi milik kita dong. Gimana sih?"

Saat itu ibu mertua masih menyajikan makanan, minuman dan sebagainya. Sikapnya masih bisa dibilang hangat. Akan tetapi semua itu tidak bertahan lama.

"Maaf, Buk. Saya yatim piatu yang tidak pernah tahu asal usul keluarga saya. Jadi, saya tidak memiliki harta warisan apa-apa," ujarku memberanikan diri berkata jujur dan apa adanya.

Keesokan harinya, ibu mertuaku langsung memiliki acara arisan ibu-ibu komplek, selaku menantu aku sadar untuk membantu ibu mertua menyiapkan segalanya.

"Nanti kamu tidak usah keluar, ya. Saya malu," ketus ibu.

"Malu kenapa, Bu?"

"Ya malu, semua teman-teman arisan saya sudah tahu kalau kamu itu kaya raya, punya warisan banyak walau yatim piatu. Eh, kenyataannya malah kayak gini."

"Apa ibuk sedang butuh uang?"

Aku mencoba tetap tenang.

"Halah, tidak usah sok peduli. Paling juga uang Agha, putraku. Tidak perlu, saya lebih berhak atas uang itu."

"Tidak, Buk. Mutia punya kalung peninggalan ibu. Jika ibu butuh, ibu boleh gadaikan kalung ini. Tapi Mutia mohon, jangan dijual."

"Sini." Ibu mertua langsung merampas kalung dari leherku.

"Buk, tapi Mutia mohon jangan dijual."

"Ingat, ya. Jangan pernah kamu katakan apa-apa pada Agha. Jika tidak, kamu akan saya buat menyesal sudah melakukan hal itu."

"Baik, Buk. Tapi Mutia mohon jangan dijual."

"Bawel."

"Tebus aja jika kamu sudah punya uang, tapi saya yakin kamu tidak akan pernah bisa menebusnya. Secara, uang dari mana. Ingat, ya. Semua uang yang diberi oleh Agha, kamu harus setor sama saya. Saya yang berhak atas hasil pencapaian anak saya."

Flashback off

Sakit rasanya jika mengenang semua itu, tetapi apalah daya. Aku sekarang harus bisa berusaha melupakannya. Jika Mas Agha pulang, aku akan berusaha mengajaknya untuk tinggal di rumah baru.

"Sekarang sebaiknya aku ke dokter."

Sesampainya di rumah sakit, aku menunggu antrean tidak terlalu lama. Setelah sampai di bagianku, aku masuk dan melakukan pemeriksaan.

"Rahim ibu baik-baik saja, saya lihat tidak ada gangguan apa-apa. Subur juga. Memiliki potensi kehamilan yang sangat tinggi."

"Apa? Subur? Jadi, selama ini aku tidak memiliki gangguan apapun. Apa mungkin Mas Agha yang ...."

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanto Hasan
sangat bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Ciuman?

    "Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Pria Bertopeng

    "Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Nikah? Jawab Sekarang?

    "Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Peristiwa Manis

    "Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Racun

    "Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke

  • Menantu yang Sengaja Dibuang   Inikah Bisikan Jodoh?

    "Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status