Terdengar salam dari seberang, dari suaranya aku tidak asing. Bukan berarti hapal, tetapi aku pernah mendengar pemilik suara itu.
"Afwan, apa benar ini dengan Alfaqir?""Iya, saya orang itu. Saya hanya mau mengatakan itu uang satu milyar adalah hak kamu. Dan bukan hanya itu, masih banyak lagi yang akan saya berikan sesuai wasiat seseorang.""Seseorang? Siapa, ya?""Maaf, menurut wasiatnya, saya tidak bisa memberitahu sekarang.""Oh, baik, terima kasih."Kututup sambungan telepon untuk menghitung jumlah uang, apa benar nominalnya sesuai dengan yang dikatakan."Allahu akbar, ini benar." Mataku tak henti-hentinya berkaca-kaca.Aku jadi teringat perihal konsultasi masalah rahimku. Apa ada masalah sehingga setelah tiga tahun menikah aku tak kunjung memiliki anak. Sejak dulu aku tidak punya uang untuk konsul ke dokter, sementara ibu mertuaku selalu mencegatku jika aku hendak mengatakan itu pada Mas Agha.Flashback on"Mas, aku ingin kita-""Sudah, Mutia. Jangan banyak maunya, sudah tahu suami hanya pulang sebentar, eh malah bilang minta ini itu. Belum cukup uang yang dia berikan?" cetus ibu mertuaku sembari berkacak pinggang.Mas Agha tidak pernah membelaku, dia diam dan memilih masuk ke dalam kamar. Saat aku hendak menyusulnya, ibu selalu saja mengalihkan hal itu agar aku sibuk."Mas, aku ingin kita bicara sebentar.""Mutia, aku besok harus berangkat kerja pagi-pagi lagi. Aku ingin istirahat."Beberapa kali Mas Agha seperti itu, aku tidak banyak protes karena aku harus sadar diri, aku belum bisa memberikan apa yang dia inginkan."Kenapa kita tidak periksa ke dokter, Mas?"Tidak ada jawaban, aku lihat ternyata Mas Agha sudah terlelap. Baiklah, mungkin besok."Haus banget, ya. Duh gerah rasanya."Aku keluar untuk mengambil segelas air sekaligus mencari udara segar. Setidaknya dapur lebih luas dari kamarku."Gimana rasanya jadi wanita mandul? Huft, gak tau dah, nasib nasib. Anakku menikah dengan wanita tidak tau diuntung, sudah sadar dirinya mandul, dari yatim piatu, ke sini kayak-kayak cuma numpang dan mencari belas kasihan."'Dulu aku sudah menjelaskan bahwa aku hanyalah anak yatim piatu, tetapi ibu mertuaku mengira ayah dan ibuku adalah orang kaya.'Kala itu, tepat setelah akad, ibuku langsung berya harta warisan papa. Selaku pengantin baru, masih lugu dan malu, aku hanya bisa menunduk."Kamu punya harta warisan berapa milyar uang, berapa hektar tanah, berapa aset perusahaan?" tanya ibu mertuaku dengan sangat ketus. Salah satu khasnya adalah dengan berkacak pinggang."Buk, kok?" Mas Agha mencoba membuat ibunya mengerti, aku tahu dari gelagatnya ia tidak suka ibunya bertanya seperti itu padaku."Loh, Gha. Kamu sudah tanyakan belum? Ini penting, saat kalian sudah menikah, hartanya juga jadi milik kita dong. Gimana sih?"Saat itu ibu mertua masih menyajikan makanan, minuman dan sebagainya. Sikapnya masih bisa dibilang hangat. Akan tetapi semua itu tidak bertahan lama."Maaf, Buk. Saya yatim piatu yang tidak pernah tahu asal usul keluarga saya. Jadi, saya tidak memiliki harta warisan apa-apa," ujarku memberanikan diri berkata jujur dan apa adanya.Keesokan harinya, ibu mertuaku langsung memiliki acara arisan ibu-ibu komplek, selaku menantu aku sadar untuk membantu ibu mertua menyiapkan segalanya."Nanti kamu tidak usah keluar, ya. Saya malu," ketus ibu."Malu kenapa, Bu?""Ya malu, semua teman-teman arisan saya sudah tahu kalau kamu itu kaya raya, punya warisan banyak walau yatim piatu. Eh, kenyataannya malah kayak gini.""Apa ibuk sedang butuh uang?"Aku mencoba tetap tenang."Halah, tidak usah sok peduli. Paling juga uang Agha, putraku. Tidak perlu, saya lebih berhak atas uang itu.""Tidak, Buk. Mutia punya kalung peninggalan ibu. Jika ibu butuh, ibu boleh gadaikan kalung ini. Tapi Mutia mohon, jangan dijual.""Sini." Ibu mertua langsung merampas kalung dari leherku."Buk, tapi Mutia mohon jangan dijual.""Ingat, ya. Jangan pernah kamu katakan apa-apa pada Agha. Jika tidak, kamu akan saya buat menyesal sudah melakukan hal itu.""Baik, Buk. Tapi Mutia mohon jangan dijual.""Bawel.""Tebus aja jika kamu sudah punya uang, tapi saya yakin kamu tidak akan pernah bisa menebusnya. Secara, uang dari mana. Ingat, ya. Semua uang yang diberi oleh Agha, kamu harus setor sama saya. Saya yang berhak atas hasil pencapaian anak saya."Flashback offSakit rasanya jika mengenang semua itu, tetapi apalah daya. Aku sekarang harus bisa berusaha melupakannya. Jika Mas Agha pulang, aku akan berusaha mengajaknya untuk tinggal di rumah baru."Sekarang sebaiknya aku ke dokter."Sesampainya di rumah sakit, aku menunggu antrean tidak terlalu lama. Setelah sampai di bagianku, aku masuk dan melakukan pemeriksaan."Rahim ibu baik-baik saja, saya lihat tidak ada gangguan apa-apa. Subur juga. Memiliki potensi kehamilan yang sangat tinggi.""Apa? Subur? Jadi, selama ini aku tidak memiliki gangguan apapun. Apa mungkin Mas Agha yang ...."Bersambung...*Pantas saja jika Agha memilih menikah lagi di sana. Jika istrinya saja tidak bisa memberikan dia anak.*Betul, Jengsay. Biarkan saja Agha menikah lagi, dia pasti akan segera memiliki keturunan. *Apalagi istrinya yang sekarang modis, molek, tidak seperti si ono yang tidak tahu selera suami. *Hus, awas ononya, kan bisa berabe kite. Aku menggeleng melihat isi komentar berbalas di story adik iparku. Aku tahu, salah satu pemilik akun itu adalah ibu mertuaku. Itupun aku tidak tahu hp siapa yang dipakai, bisa saja ponselku sebab sebelum itu ibu mertuaku tidak memiliki ponsel pribadi. "Sebentar, Mas Agha sudah menikah lagi?" Tersebab penasaran, aku menscroll status Widya pasti aku akan menemukan sesuatu. Dan ternyata benar, itu Mas Agha dia sedang bergandengan tangan dengan mempelai wanita. "Ah, mungkin saja dia adalah temannya. Mana mungkin Mas Agha akan berbuat seperti itu." Berbagai sangkaan positif aku pasan
Dor dor dor"Mutia, keluar kamu. Mutia," seseorang memekik dari luar seiring pintu yang terus digedor. "Iya sebentar." Aku sibuk merapikan pakaianku, dan memutar gagang pintu dengan tangan yang lain. "Ibuk?" Wanita paruh baya itu menatapku tajam dengan tangan berkacak pinggang. Ia menerobos masuk ke dalam walau tanpa aku persilakan. Aku hanya bisa mengelus dada. "Mutia, ingat, ya. Kamu masih punya hutang sama saya," ujarnya. Aku mengernyitkan dahi, selama aku hidup dan menikah dengan Mas Agha, belum pernah tahu bagaimana rasanya berhutang. Minimal aku menahan perut jika lapar sedang melanda. "Utang apa, Buk?" "Gini, ya. Sekarang kan semua BBM naik nih. Dan kamu, sekarang sudah bukan istri Agha lagi, jadi semua fasilitas yang pernah kamu pakai selama di rumah saya, saya minta. Sini bayar.""Oh iya lupa, kamu kan miskin. Mana ada kamu punya uang. Dan lagi, kamu hidup sebatang kara. Saudara mana yang mau belas kasihan buat ngebantuin
"Maaf, Mbak. Bulu matanya hampir copot, awas jatuh nanti bisa hilang. Eman-eman, mahal kan." Wajahnya memerah, dan kini gantian Mas Agha yang memandanginya. Mungkin ia perlu korektor sepertiku sehingga bisa tampil lebih elegan lagi. Berhias si boleh menurutku, tapi bukannya dandanan itu terlalu menor. Aku tertawa di balik wajah yang berusaha kutata sedemikian santai. "E-em. Mas Agha mau ngomong apa?" tanyaku pada satu-satunya laki-laki yang pernah kuputuskan padanya hati ini akan berlabuh. Melihat dia akan sedikit ragu, aku menoleh ke arah wanita di sampingnya. Aku mengangguk paham, lalu pamit untuk berlalu. "Mutia, kamu mau ke mana?" Aku menghentikan langkahku, untuk apa dia bertanya. Apa masih ada urusan, masih penting kah diriku baginya saat ini. Dengan tetap memperhatikan tatakrama berbicara, aku menoleh untuk menjawab. "Mau nganterin ini ke panti asuhan, Mas." "Kenapa gak pakai mobil aja?
"Ibrahim itu siapa, Buk?" "Dia salah satu aktivis dakwah di desa sebelah, dia sering ke sini untuk menyumbang dan sesekali mengecek keadaan anak-anak di sini." Aku mengangguk pelan, masih ada ternyata laki-laki yang berhati mulia. Adakah mertua baik yang tersisa untukku? Kurasa tidak ada, atau mungkin ini adalah bagianku. "O iya, gimana rumah tangga kamu sama Agha?" DegHatiku bercampur aduk, aku harus jawab bagaimana. Susah sekali untuk menjabarkannya. Ditinggal saat diri ini sangat-sangat menyayanginya. Dalam kesetiaan, kesetiaan yang dibalas sembilu."Sudah tidak ada, Buk. Menikah dengannya hanya menjadikan saya harus mencicipi pahitnya masa iddah."Wajah Bu Hanik berusaha, seakan ia merasa tak enak. "Maafkan ibu ya, Nak. Ibuk tidak tahu jika ternyata perangai laki-laki itu seperti itu. Dulu ibu yakin dia akan membahagiakanmu," lirih Bu Hanik sembari meremas tanganku. Aku mengulas senyum, tidak masalah.
"Bingkisan apa lagi ini?" Aku mengleng kotak dengan sampul warna ungu di tangan, siapa sebenarnya yang sangat suka mengirimkan kotak-kotak misterius ini. Aku boleh membukanya? Semoga saja bukan orang iseng sehingga mengisi kotak ini dengan ular atau sebagainya. "Tidak, tidak ada desis." Pikiranku traveling, tidak mungkin ini uang lagi. Uang yang kemarin itu sudah terlalu banyak. "Eh, Mutia. Kebetulan sekali. Dari kemarin itu banyak banget yang nyariin kamu. Nanyain alamat kamu. Mutia Zahira. Jadi saya tunjukkan alamat rumah ini. Tidak apa-apa, kan?" seru Bu Kontrakan. Akhirnya kejanggalan ini terjawab, pantas saja. Tetapi, jika pak pos mungkin bisa saja bertanya ke rumah lama, lalu kebetulan bertemu bu kontrakan ini. Namun, jika manmer? "Temen saya juga pernah nanyain kamu. Kata sih mantan ibu mertua kamu, ya?" Ah, seakan ingin sekali kutepuk kening ini. Dunia bak selebar daun kelor saja. Ke mana pun aku pergi, ad
Sore ini kurasa cuaca cukup mendukung untuk merefresh hati, aku ingin keluar mencari refensi berjualan dan tempat strategis dalam proses berjalannya nanti. Di tengah asiknya berjalan kaki, kutemui semua ruko dengan ukuran sedang bertuliskan dijual. Di bawahnya juga tertera nomor untuk dihubungi, kurasa itu nomor pemiliknya. "Oh, kebetulan sekali ya, Pak. Bisa-bisa. Baik."Tak lama berselang, aku melihat ada seorang laki-laki yang datang dan membuka ruko tersebut. Pantas sekali, sebab saat aku hubungi tadi beliau langsung merespon dan mengatakan bahwa sedang berada di sekitar sini. Setelah saling berucap dan menjawab salam, aku memperkenalkan diri bahwa aku yang berminat pada ruko tersebut. Tempatnya strategis menurutku untuk berjualan makanan. Ya, aku ingin berjualan menu-menu makanan. Jika bisa, kuusahakan mengusung beberapa makanan khas yang pernah diajarkan saat di panti dulu. Setelah terjadi tawar menawar, ruko itu dijua
Pagi-pagi sekali, Al-Faqir sudah menelpon saat aku sibuk mempersiapkan apa saja yang hendak kubeli untuk persiapan hari esok membuka jualanku di hari pertama. "Baik, saya akan segera ke sana."Aku semakin dirundung rasa penasaran apa yang akan ia sampaikan, bagaimana juga dia memiliki rahasia-rahasia itu semua. Tanpa berpikir lama, aku akan menyelesaikan semua urusan penjualan nanti saja. Bisa dipikir sambil berjalan. Sesampainya di ruko, betapa terkejutnya aku ternyata ruko sudah rapih, bersih, bahkan ada benner besar bertuliskan "Welcom Bu Mutia Zahira" Siapa yang telah menyiapkan ini, aku jadi terharu dengan semuanya. Kuusap perlahan bekas air mataku, aku memang secengeng ini. "Ehem."Deheman itu, sepertinya aku mengenalnya. Aku menoleh, dan ternyata berdiri seorang berbadan tegap berambut ikal, dan bermata teduh. "Saya Ibrahim," serunya memperkenalkan diri. Aku sontak menurunkan pandangan, la
Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a