Mag-log inPagi itu, aroma kopi hitam dan dentingan lembut piring porselen membangunkan Ambar dari tidurnya—anehnya, tanpa rasa bersalah.
Di dapur terbuka, Gion tampak kontras dengan dunia malam yang melekat padanya. Pemilik bar ternama itu kini hanya mengenakan kaus putih polos, sigap mengoles alpukat pada roti panggang, lalu menyusun buah segar di piring kecil. Ambar duduk pelan di meja makan. Tak ada kata. Namun keheningan itu bukan dingin—melainkan karena keduanya tahu: yang mereka bagi malam tadi bukan sekadar tubuh. “Tidurmu nyenyak?” tanya Gion, suaranya dalam namun pelan. “Cukup,” jawab Ambar singkat, meraih cangkir teh panas yang sudah tersedia di depannya. Mereka menyantap sarapan dalam diam. Sesekali saling pandang, tapi tak ada percakapan penuh makna. Tak ada pertanyaan “apa kita selanjutnya?” Dan justru di sanalah letak kekosongannya. Ambar tahu dirinya mulai mengenal sisi lain dari Gion—hangat, tidak dibuat-buat. Namun luka masa lalu membuatnya ragu. Ia terlalu takut berharap. Kenapa aku selalu begitu mudah dicintai semalam, tapi tak pernah cukup baik untuk dicintai selamanya? batinnya, sambil menyuap potongan roti terakhir. Gion diam, hanya memperhatikan. Gerak tubuh Ambar, tatapannya yang menghindar, nada suaranya yang netral—semua berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Suara klakson dari bawah mengagetkan mereka. Mobil hitam berlogo rumah produksi sudah menunggu. Ambar berdiri, mengenakan blazer tipis di atas dress putih satin—gaun yang semalam jadi saksi. Ia menatap Gion sejenak. Tidak ada senyum, tidak ada kelembutan. Hanya sorot mata lelah yang sulit membedakan kasih sayang dan kelicikan. Sebelum benar-benar pergi, ia berbisik pelan, nyaris gumaman, “Terima kasih untuk cinta satu malamnya… setidaknya aku bisa melupakan bajingan yang telah meninggalkanku.” Gion terdiam. Kata-kata itu menyayat. Bukan nadanya, tapi pahit yang tersembunyi di balik entengnya kalimat itu. Sebelum ia sempat membalas, pintu sudah tertutup. Hanya aroma parfum Ambar tertinggal di udara. Ia bersandar di dinding, menatap kosong. “Apa kamu benar-benar hanya ingin melupakan… atau terlalu takut untuk mengingat?” Mobil produksi melaju di jalanan Bali yang lengang. Di kursi belakang, Ambar bersandar, memandangi langit lewat jendela. Pikirannya melayang pada kalimat terakhir Gion semalam. Aku menikmati waktuku denganmu… kamu lebih dari sekadar cantik. Kalimat itu nyaris romantis. Namun justru karena terlalu manis, ia tak percaya. Tak semudah itu aku percaya, Gion. Lelaki sepertimu… dunia kita berbeda. Kariermu tinggi, relasimu luas, lingkaranmu penuh perempuan. Aku? Hanya perempuan kesepian yang terlalu mudah mengizinkan tubuhku dinikmati. Tangannya mengepal, meremas sudut baju. Rasa bersalah menyelinap. Bukan karena kejadian semalam, tapi karena ia sadar: dirinya terlalu lembut terhadap luka yang belum sembuh. “Mengapa aku selalu begitu lemah saat mencari pengalihan dari rasa sakit?” gumamnya. Ia membuka ponsel. Nama Gion masih tersimpan. Tanpa ragu, ia hapus. Tidak ada kata, tidak ada salam. Hanya satu tindakan diam: menghilang sebelum hatinya kembali terjebak. Lebih baik begini. Tidak ada komunikasi. Tidak ada harapan. Tidak ada luka yang diulang. Supir menoleh lewat kaca spion. “Kita hampir sampai, Mbak Ambar.” Ambar mengangguk. Menyandarkan tubuhnya, menutup mata sejenak. Tak apa dibilang dingin. Karena jika aku tak tegas, aku akan terus jadi korban dari orang-orang yang hanya singgah untuk menikmati, bukan menetap. Dan pagi itu, di balik riasan profesionalnya, Ambar kembali mengenakan topeng selebriti. Di luar tampak tenang, di dalam ia sedang belajar mencintai dirinya dengan cara baru. Setibanya di lokasi syuting, keramaian langsung menyambut. Kru berlalu-lalang, sutradara menyiapkan set, manajer berbicara dengan asisten produksi sambil sesekali melirik memastikan Ambar siap. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, dunia Ambar terasa sunyi. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk menata hati. Saat berganti pakaian, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia biarkan hingga berhenti sendiri. Lalu sebuah pesan masuk. Gion: Sudah sampai? Kamu baik-baik saja, kan? Jantung Ambar berdegup cepat. Ia tak langsung membalas. Tatapannya lama tertahan di layar. Beberapa detik kemudian, pesan lain muncul. Gion: Aku ingin mampir. Ingin lihat kamu syuting, kalau kamu tidak keberatan. Ambar menghela napas panjang. Ada rasa aneh. Bukan takut, bukan senang. Tapi bingung—ia sendiri belum tahu bagaimana perasaannya terhadap Gion setelah semalam. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: “Gion, untuk saat ini… aku rasa belum tepat. Banyak kamera, wartawan, gosip. Aku tak ingin menyeretmu dalam hal yang tidak penting.” Namun sebelum terkirim, ia hapus. Terlalu panjang, terlalu personal. Ia memilih jalan yang lebih tegas. Tiba-tiba Ponsel di genggaman Ambar bergetar. Suara Gion terdengar dalam dan tegas dari seberang, “Ada apa sebenarnya, Ambar? Kenapa kamu tiba-tiba bicara tentang cinta satu malam?” Ambar menghela napas panjang, menahan air mata yang nyaris pecah. “Apakah semudah itu mencintai atau menikmati waktumu bersamaku, Gion? Pertemuan kita baru hitungan hari. Tidak mungkin cinta datang secepat itu hanya karena aku membuatmu merasa hidup.” Suaranya bergetar, tapi tegas. Di kursi depan, Rani dan sopir hanya pura-pura tidak mendengar, meski atmosfer mobil terasa menegang. Ambar melanjutkan tanpa memberi ruang untuk jawaban. “Aku tahu kelemahanku… mudah jatuh cinta, terlalu asik untuk dinikmati. Dan bodohnya, aku selalu terjerat pada lubang yang sama, terlena dengan gumaman lelaki yang hanya menginginkan tubuhku.” Kata-kata itu meluncur deras, seperti amarah yang lama terpendam. Hening sejenak. Lalu suara Gion terdengar, tenang sekaligus menohok. “Perasaan yang membuatmu terluka adalah masa lalu. Dan masa lalumu… adalah tugasku untuk mengobatinya, Ambar. Berteriaklah kalau itu membuatmu lega. Aku akan tetap di sini. Karena aku mencintaimu tanpa syarat.” Hening panjang menyusul. Hanya suara debur ombak di kejauhan yang menemaninya. Ambar menutup mata, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kalau begitu… aku akan menunggu,”Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma
Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b
Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku
Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl
Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi







