Home / Romansa / Mencari Cinta Sejati / Bab 7. Ijinkan Aku Mencintaimu

Share

Bab 7. Ijinkan Aku Mencintaimu

Author: Azzahra_19
last update Huling Na-update: 2025-08-04 23:55:22

Ambar tahu sejak awal, hubungan yang melaju terlalu cepat nyaris selalu berakhir kacau. Dan Gion… pria yang baru semalam hadir dalam hidupnya, sudah menunjukkan sisi terlalu agresif untuk diabaikan.

Di lokasi syuting, Ambar mencoba menyingkirkan semua pikiran. Naskah ia baca berulang, adegan ia mainkan dengan totalitas. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan hari ini dan kembali ke Jakarta. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk mengukur apakah perasaan yang muncul itu ketertarikan… atau sekadar luka lama yang menyamar sebagai gairah.

Siang merambat ke sore. Sutradara akhirnya berteriak, “Cut! Selesai! Thank you semua!”

Ambar mengembuskan napas lega. Ia melepas heels, duduk sebentar di belakang van produksi, meneguk air mineral.

Rani, manajernya, muncul terburu-buru sambil membawa ponsel. Wajahnya serius.

“Mbak… Gion hubungi aku. Dia juga nanya ke beberapa kru. Sekarang dia ada di parkiran.”

Ambar terlonjak. “Apa?! Ngapain dia di sini?” Wajahnya tegang, campuran panik dan kesal.

Rani menundukkan suara. “Bukan cuma itu. Dia bawa gerobak kopi. Dikasih nama Coffee for Crew. Gratis, katanya khusus buat tim produksi.”

Ambar refleks menoleh. Dan benar saja—di parkiran berdiri sebuah gerobak kopi premium dengan banner bertuliskan: ‘Dari Sahabatmu: Untuk Kalian yang Hebat Hari Ini’.

Kru mulai berkerumun, wajah mereka sumringah. Tapi yang membuat Ambar tercekat, semua mata perlahan menoleh ke arahnya. Jelas-jelas mengaitkan kejutan ini dengan dirinya.

Ambar buru-buru membuka ponselnya dan mengetik:

Ambar:

Kamu ya? Benar-benar bikin aku syok.

Balasan datang cepat.

Gion:

Aku tunggu kamu di hotel ini sekarang. Kalau nggak datang, akan ada kejutan lainnya.

Ambar menatap layar lama. Dadanya sesak. Gion memperlakukannya seakan mereka sudah punya arah, padahal ia sendiri masih ragu menyebut ini “hubungan.”

Ia menoleh ke Rani. “Kalau aku ke sana… kamu bakal marah?”

Rani diam sejenak, lalu berkata jujur, “Aku nggak akan marah. Tapi aku takut kamu ulangi luka yang sama.”

Ambar tak menjawab. Ia hanya menggenggam ponsel erat, menatap nama hotel yang tertera di pesan Gion.

Apa benar luka bisa sembuh kalau aku terus membiarkan orang baru mengorek yang lama?

Ambar akhirnya menarik napas panjang. Ia menatap Rani dengan sorot mata mantap.

“Aku mau ke hotel itu. Tapi tolong pastikan nggak ada kamera, nggak ada wartawan. Aku nggak sanggup kalau reputasiku hancur karena gosip murahan.”

Rani menatapnya lama, lalu mengangguk. “Oke. Aku atur.”

Beberapa staf produksi ikut membantu. Ambar dijemput mobil hitam, menuju hotel tanpa menarik perhatian.

Di perjalanan, ia membuka pesan terakhir dari Gion. Jari-jarinya sempat ragu, tapi akhirnya mengetik:

Ambar:

Aku sudah di jalan. Tunggu di kamar. Jangan buat kegaduhan.

Hotel itu megah, lampu-lampunya berkilau di malam Bali. Dengan masker dan kacamata hitam, Ambar turun dari mobil, melangkah cepat ke resepsionis.

“Ada yang menunggu saya di kamar 1208, atas nama Gion,” ucapnya pelan. “Tolong catat sebagai tamu pribadi. Jangan sebut nama saya.”

Resepsionis muda itu mengangguk, paham siapa tamu istimewa di hadapannya.

Lift membawanya ke lantai dua belas. Koridor sunyi. Ia mengetuk pintu dua kali.

Pintu terbuka. Gion berdiri di sana dengan kemeja putih santai, lengan tergulung, senyum lebarnya seolah tak menyimpan rahasia.

“Bar,” suaranya hangat. “Aku senang kamu datang.”

Tanpa banyak kata, ia menarik Ambar ke dalam pelukan. Hangat, erat, terlalu akrab.

Ambar kaku. Ia melepas diri, menatap tajam.

“Apa-apaan sih, Gion? Maksudmu apa?”

Gion tetap tersenyum meski keningnya berkerut. “Aku cuma ingin kamu tahu aku serius. Aku suka kamu, Bar. Kamu bukan cuma cantik, kamu punya sesuatu yang bikin aku terus mikirin kamu.”

Ambar terkekeh pendek, getir. “Serius? Berdasarkan apa? Kita baru dua kali ketemu. Kamu pikir aku butuh drama setelah semua yang aku lewati?”

“Aku tahu ini cepat,” jawab Gion tenang. “Tapi aku juga bukan anak kecil. Aku tahu apa yang aku rasain. Dan tanya siapa pun, aku nggak pernah begini sama perempuan lain.”

Ambar menatapnya lama. Pikirannya berputar. Lelaki selalu bisa bilang apa saja ketika sedang menginginkan sesuatu.

“Aku datang bukan buat jatuh cinta, Gion,” katanya dingin. “Aku cuma ingin tahu… kamu beneran manusia, atau sekadar obsesi sesaat. Dan satu hal: aku bukan perempuan kosong yang bisa kamu tarik sesukamu.”

Keheningan menutup ruangan. Ambar akhirnya duduk di sofa, menatap jendela kota Bali malam itu.

Beberapa jam kemudian, Ambar duduk di tepi ranjang, menatap pantulan lampu kota dari balik kaca besar. Tirai berayun ditiup angin malam.

Di belakangnya, Gion bangun, mengenakan kemeja tipis. Ia melangkah mendekat, duduk di samping Ambar, dan menggenggam tangannya.

“Tidakkah kamu lelah?” tanya Ambar pelan.

“Aku hanya lelah kalau kamu nggak ada di sampingku,” jawab Gion lirih.

Ambar menghela napas panjang. “Dasar hubungan ini apa, Gion? Kamu tahu aku nggak baik-baik saja. Jangan beri aku ilusi.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 63. Bayangan Yang Kembali

    Pagi menjelma lembut di balik tirai kamar mereka. Sinar matahari menembus kaca jendela, menari di kulit Ambar yang hangat oleh cahaya. Ia baru saja terbangun, rambutnya masih acak, matanya sayu namun teduh.Vero memandangnya dari meja kerja—senyum samar muncul di wajahnya, tapi sorot matanya tidak benar-benar tenang.Sejak malam sebelumnya, pikirannya tidak berhenti memutar pesan misterius dari nomor tak dikenal. Dua kalimat pendek yang membuat dadanya sesak:📩 “Kau pikir dia akan benar-benar selamat bersamamu?”📩 “Kami selalu selangkah di depanmu.”Pesan itu seperti duri kecil di pikirannya—tajam, sunyi, tapi menyakitkan.“Pagi…” suara lembut Ambar memecah lamunannya. Ia tersenyum sambil meraih cangkir teh hangat di meja.Vero segera menutup laptopnya, pura-pura sibuk membereskan kabel charger. “Pagi juga. Tidurmu nyenyak?”Ambar mengangguk pelan. “Aneh, ya. Dulu setiap malam aku selalu takut gelap. Tapi sejak kamu di sini, rasanya aman.”Ia menatap Vero dengan sorot lembut yang ma

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 62. Takut Mencintai

    Pagi menyapa dengan lembut, menembus tirai tipis kamar Ambar. Cahaya matahari menari di wajahnya yang masih menyimpan bekas air mata semalam. Di dadanya, kata-kata Vero masih bergema—“Aku mencintaimu, Ambar. Menikahlah denganku.”Suara itu seperti gema yang tak mau berhenti, menimbulkan kehangatan dan ketakutan sekaligus.Ambar menatap cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai. Ia menyentuh bibirnya pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang terjadi semalam bukan hanya mimpi.“Apa aku pantas bahagia?” bisiknya lirih. “Apa aku berani percaya lagi?”Pintu kamar terbuka perlahan. Vero berdiri di ambang pintu, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tenang, tapi di balik senyumnya ada rasa gugup yang tak bisa ia sembunyikan.“Aku nggak mau maksa kamu jawab sekarang,” katanya lembut, meletakkan cangkir di meja kecil. “Aku cuma mau kamu tahu, perasaanku nggak akan berubah, bahkan kalau kamu butuh waktu.”Ambar tersenyum samar, berusaha menenangkan dirinya. “Kamu selalu ta

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 61. Antara Percaya dan Takut

    Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan sudah berhenti, tapi udara di sekitar apartemen masih lembab, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kegelisahan.Pesan misterius di ponsel Ambar masih terpampang di layar: “Kau tak seharusnya mempercayainya.”Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti bisikan jahat yang menolak pergi.Vero duduk di depan meja kerja, memandangi layar laptop dengan ekspresi serius. Sejak pesan itu datang, ia terus mencoba melacak sumber pengirim, tapi setiap kali hampir menemukan jejak, sistemnya tiba-tiba terputus. Seolah pengirim pesan itu tahu cara menghapus jejak dengan sempurna.“Koneksi ini nggak biasa,” gumamnya. “Bukan cuma pesan acak. Ini dikirim lewat sistem terenkripsi, seperti pesan internal jaringan.”Ambar berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Lampu-lampu kota berpendar samar, memantul di matanya yang mulai buram oleh rasa cemas. “Kalau begitu… berarti pengirimnya bukan orang biasa, kan?”Vero menoleh. “Aku nggak mau buru-b

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 60. Antara Takut dan Yakin

    Pagi itu, matahari menembus lembut lewat celah tirai, menimpa wajah Ambar yang masih terlelap di sofa ruang kerja. Laptop di depannya masih menyala, menampilkan deretan kode yang belum sempat diselesaikan. Di sebelahnya, secangkir kopi dingin dan buku catatan penuh coretan ide tentang “siapa yang mungkin di balik semua ini.”Vero datang membawa dua gelas teh hangat. Ia berhenti sejenak, menatap wajah Ambar yang tampak damai namun lelah. Ada rasa iba sekaligus kagum — perempuan di depannya telah berjuang melawan sesuatu yang bahkan belum bisa mereka beri nama.“Bangun, Ambar…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Ambar menggeliat, membuka mata perlahan. Senyum samar muncul saat melihat Vero di hadapannya. “Aku ketiduran lagi, ya?”“Sepertinya begitu. Tapi kamu beruntung punya partner yang sabar,” jawab Vero sambil duduk di sebelahnya. Ia menyodorkan segelas teh hangat.Ambar menerimanya dengan kedua tangan, menikmati hangatnya yang seolah menenangkan hatinya. “Terima kasih, Ver. Aku

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 59. Menari di atas cinta

    Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl

  • Mencari Cinta Sejati   Bab 58. Suara Dari Dalam Sistem

    Malam itu apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang tadi deras kini tinggal rintik halus, mengetuk jendela seperti nada-nada gelisah. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan bayangan dua orang yang duduk berseberangan — Vero di depan laptop, Ambar di sofa, memeluk lutut sambil memperhatikan setiap gerakannya.“Aku sudah coba buka semua jaringan yang tersisa,” ujar Vero pelan, matanya tak lepas dari layar. “Tapi ada sistem yang menolak aksesku. Ini bukan kode biasa.”Ambar menelan ludah. “Kau pikir… orang itu sudah tahu kita di sini?”“Belum tentu,” jawabnya tanpa menatap, “tapi seseorang sedang mempermainkan kita.”Suara keyboard berganti dengan dengung lembut kipas laptop. Di layar, deretan data bergulir cepat — nama file, peta lokasi, dan log panggilan yang tak pernah mereka lakukan. Vero mengetik cepat, matanya memindai baris demi baris seolah membaca bahasa rahasia yang hanya dia mengerti.Ambar bangkit dan menghampi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status