Ambar tahu sejak awal, hubungan yang melaju terlalu cepat nyaris selalu berakhir kacau. Dan Gion… pria yang baru semalam hadir dalam hidupnya, sudah menunjukkan sisi terlalu agresif untuk diabaikan.
Di lokasi syuting, Ambar mencoba menyingkirkan semua pikiran. Naskah ia baca berulang, adegan ia mainkan dengan totalitas. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan hari ini dan kembali ke Jakarta. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk mengukur apakah perasaan yang muncul itu ketertarikan… atau sekadar luka lama yang menyamar sebagai gairah. Siang merambat ke sore. Sutradara akhirnya berteriak, “Cut! Selesai! Thank you semua!” Ambar mengembuskan napas lega. Ia melepas heels, duduk sebentar di belakang van produksi, meneguk air mineral. Rani, manajernya, muncul terburu-buru sambil membawa ponsel. Wajahnya serius. “Mbak… Gion hubungi aku. Dia juga nanya ke beberapa kru. Sekarang dia ada di parkiran.” Ambar terlonjak. “Apa?! Ngapain dia di sini?” Wajahnya tegang, campuran panik dan kesal. Rani menundukkan suara. “Bukan cuma itu. Dia bawa gerobak kopi. Dikasih nama Coffee for Crew. Gratis, katanya khusus buat tim produksi.” Ambar refleks menoleh. Dan benar saja—di parkiran berdiri sebuah gerobak kopi premium dengan banner bertuliskan: ‘Dari Sahabatmu: Untuk Kalian yang Hebat Hari Ini’. Kru mulai berkerumun, wajah mereka sumringah. Tapi yang membuat Ambar tercekat, semua mata perlahan menoleh ke arahnya. Jelas-jelas mengaitkan kejutan ini dengan dirinya. Ambar buru-buru membuka ponselnya dan mengetik: Ambar: Kamu ya? Benar-benar bikin aku syok. Balasan datang cepat. Gion: Aku tunggu kamu di hotel ini sekarang. Kalau nggak datang, akan ada kejutan lainnya. Ambar menatap layar lama. Dadanya sesak. Gion memperlakukannya seakan mereka sudah punya arah, padahal ia sendiri masih ragu menyebut ini “hubungan.” Ia menoleh ke Rani. “Kalau aku ke sana… kamu bakal marah?” Rani diam sejenak, lalu berkata jujur, “Aku nggak akan marah. Tapi aku takut kamu ulangi luka yang sama.” Ambar tak menjawab. Ia hanya menggenggam ponsel erat, menatap nama hotel yang tertera di pesan Gion. Apa benar luka bisa sembuh kalau aku terus membiarkan orang baru mengorek yang lama? Ambar akhirnya menarik napas panjang. Ia menatap Rani dengan sorot mata mantap. “Aku mau ke hotel itu. Tapi tolong pastikan nggak ada kamera, nggak ada wartawan. Aku nggak sanggup kalau reputasiku hancur karena gosip murahan.” Rani menatapnya lama, lalu mengangguk. “Oke. Aku atur.” Beberapa staf produksi ikut membantu. Ambar dijemput mobil hitam, menuju hotel tanpa menarik perhatian. Di perjalanan, ia membuka pesan terakhir dari Gion. Jari-jarinya sempat ragu, tapi akhirnya mengetik: Ambar: Aku sudah di jalan. Tunggu di kamar. Jangan buat kegaduhan. Hotel itu megah, lampu-lampunya berkilau di malam Bali. Dengan masker dan kacamata hitam, Ambar turun dari mobil, melangkah cepat ke resepsionis. “Ada yang menunggu saya di kamar 1208, atas nama Gion,” ucapnya pelan. “Tolong catat sebagai tamu pribadi. Jangan sebut nama saya.” Resepsionis muda itu mengangguk, paham siapa tamu istimewa di hadapannya. Lift membawanya ke lantai dua belas. Koridor sunyi. Ia mengetuk pintu dua kali. Pintu terbuka. Gion berdiri di sana dengan kemeja putih santai, lengan tergulung, senyum lebarnya seolah tak menyimpan rahasia. “Bar,” suaranya hangat. “Aku senang kamu datang.” Tanpa banyak kata, ia menarik Ambar ke dalam pelukan. Hangat, erat, terlalu akrab. Ambar kaku. Ia melepas diri, menatap tajam. “Apa-apaan sih, Gion? Maksudmu apa?” Gion tetap tersenyum meski keningnya berkerut. “Aku cuma ingin kamu tahu aku serius. Aku suka kamu, Bar. Kamu bukan cuma cantik, kamu punya sesuatu yang bikin aku terus mikirin kamu.” Ambar terkekeh pendek, getir. “Serius? Berdasarkan apa? Kita baru dua kali ketemu. Kamu pikir aku butuh drama setelah semua yang aku lewati?” “Aku tahu ini cepat,” jawab Gion tenang. “Tapi aku juga bukan anak kecil. Aku tahu apa yang aku rasain. Dan tanya siapa pun, aku nggak pernah begini sama perempuan lain.” Ambar menatapnya lama. Pikirannya berputar. Lelaki selalu bisa bilang apa saja ketika sedang menginginkan sesuatu. “Aku datang bukan buat jatuh cinta, Gion,” katanya dingin. “Aku cuma ingin tahu… kamu beneran manusia, atau sekadar obsesi sesaat. Dan satu hal: aku bukan perempuan kosong yang bisa kamu tarik sesukamu.” Keheningan menutup ruangan. Ambar akhirnya duduk di sofa, menatap jendela kota Bali malam itu. Beberapa jam kemudian, Ambar duduk di tepi ranjang, menatap pantulan lampu kota dari balik kaca besar. Tirai berayun ditiup angin malam. Di belakangnya, Gion bangun, mengenakan kemeja tipis. Ia melangkah mendekat, duduk di samping Ambar, dan menggenggam tangannya. “Tidakkah kamu lelah?” tanya Ambar pelan. “Aku hanya lelah kalau kamu nggak ada di sampingku,” jawab Gion lirih. Ambar menghela napas panjang. “Dasar hubungan ini apa, Gion? Kamu tahu aku nggak baik-baik saja. Jangan beri aku ilusi.”Senyum tipis terbit di bibir Ambar. “Kalau begitu, percayalah padaku. Kamu tempat aku pulang.” Pelukan mereka menutup percakapan itu, hangat, seolah dunia berhenti. Tapi keheningan pecah ketika ponsel Ambar bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuat darahnya berdesir—Ivan. Gion melihatnya lebih dulu. Sorot matanya berubah, menajam, menahan sesuatu yang bergolak di dalam dada. Ambar terdiam, jemarinya ragu menyentuh layar. Jantungnya berdetak lebih keras daripada nada dering yang terus berulang. Dan di tengah ketegangan itu, hanya satu hal yang jelas: malam yang seharusnya ditutup dengan tenang… baru saja membuka pintu menuju badai berikutnya. Ambar menatap layar ponselnya yang terus berdering. Nama itu—Ivan—membuat darahnya berdesir dingin. Tanpa ragu, ia menekan tombol mati lalu mematikan ponselnya. Gion yang duduk di sampingnya menoleh, nada suaranya lembut tapi menyimpan tanda tanya. “Kenapa kamu abaikan? Siapa dia, Ambar?” Ambar mencoba mengatur napas. Seny
Popularitas Ambar melejit sejak video bersama Gion viral. Tawaran wawancara datang bertubi-tubi, dari stasiun TV nasional hingga kanal YouTube besar. Semua ingin tahu: siapa Gion? Seberapa serius hubungan mereka? Apakah ini sekadar strategi menaikkan popularitas? Ambar terseret dalam pusaran perhatian publik. Hampir setiap hari ia harus tampil, menjelaskan hal-hal yang sebenarnya ingin ia simpan untuk dirinya sendiri. Kadang ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Tapi ini harga dari keputusan besar: mempublikasikan kisah cintanya. Gion tidak tinggal diam. Ia menuntut untuk menemaninya ke setiap acara. “Aku tidak bisa diam di rumah sementara semua mata menatapmu, Ambar,” katanya tajam. “Kalau kamu sibuk, aku ikut sibuk. Kalau kamu lelah, aku akan menahanmu agar tidak jatuh.” Ambar tahu sulit menolak. Gion hadir di berbagai acara, duduk manis di ruang tunggu VIP, sesekali muncul di layar dengan tenang tapi mencuri perhatian. Banyak yang terpesona pengusaha muda ini—ma
Gion tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela. “Aku tahu kamu jaga jarak. Aku tahu kamu punya alasan. Tapi izinkan aku mencintaimu dengan caraku. Aku nggak ingin kamu terus menangis karena masa lalu. Kalau kau mau… biarkan aku jadi ruang baru untukmu.” Kata-kata itu menyelinap ke pertahanan Ambar. Ia terdiam, hanya mendengarkan detak jam yang terdengar jelas di antara mereka. Akhirnya, tanpa berkata apa pun, ia menyandarkan kepala di bahunya. Tak ada “ya” atau “tidak.” Hanya keheningan yang memberi ruang pada kemungkinan. Dan malam Bali pun menjadi saksi: dua hati yang sama-sama rapuh, berusaha menemukan arti di antara luka dan keberanian baru.Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan dari sela tirai kamar hotel, menyapu wajah Ambar yang masih setengah bersandar di dada Gion. Damai yang aneh menyelimuti, seperti mimpi panjang yang belum sempat dibangunkan. Suara burung camar dari kejauhan mengisi sela keheningan mereka. Ambar menggerakkan tangannya pelan, menggenggam ta
Ambar tahu sejak awal, hubungan yang melaju terlalu cepat nyaris selalu berakhir kacau. Dan Gion… pria yang baru semalam hadir dalam hidupnya, sudah menunjukkan sisi terlalu agresif untuk diabaikan. Di lokasi syuting, Ambar mencoba menyingkirkan semua pikiran. Naskah ia baca berulang, adegan ia mainkan dengan totalitas. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan hari ini dan kembali ke Jakarta. Ia butuh ruang—untuk bernapas, untuk mengukur apakah perasaan yang muncul itu ketertarikan… atau sekadar luka lama yang menyamar sebagai gairah. Siang merambat ke sore. Sutradara akhirnya berteriak, “Cut! Selesai! Thank you semua!” Ambar mengembuskan napas lega. Ia melepas heels, duduk sebentar di belakang van produksi, meneguk air mineral. Rani, manajernya, muncul terburu-buru sambil membawa ponsel. Wajahnya serius. “Mbak… Gion hubungi aku. Dia juga nanya ke beberapa kru. Sekarang dia ada di parkiran.” Ambar terlonjak. “Apa?! Ngapain dia di sini?” Wajahnya tegang, campuran panik dan kesal.
Pagi itu, aroma kopi hitam dan dentingan lembut piring porselen membangunkan Ambar dari tidurnya—anehnya, tanpa rasa bersalah. Di dapur terbuka, Gion tampak kontras dengan dunia malam yang melekat padanya. Pemilik bar ternama itu kini hanya mengenakan kaus putih polos, sigap mengoles alpukat pada roti panggang, lalu menyusun buah segar di piring kecil. Ambar duduk pelan di meja makan. Tak ada kata. Namun keheningan itu bukan dingin—melainkan karena keduanya tahu: yang mereka bagi malam tadi bukan sekadar tubuh. “Tidurmu nyenyak?” tanya Gion, suaranya dalam namun pelan. “Cukup,” jawab Ambar singkat, meraih cangkir teh panas yang sudah tersedia di depannya. Mereka menyantap sarapan dalam diam. Sesekali saling pandang, tapi tak ada percakapan penuh makna. Tak ada pertanyaan “apa kita selanjutnya?” Dan justru di sanalah letak kekosongannya. Ambar tahu dirinya mulai mengenal sisi lain dari Gion—hangat, tidak dibuat-buat. Namun luka masa lalu membuatnya ragu. Ia terlalu takut be
Pagi baru menyapa Bali dengan hangatnya mentari dan aroma laut yang samar. Namun bagi Ambar, hari baru selalu berarti jadwal baru, naskah baru, dan riasan tebal sejak matahari belum tinggi. Dunia selebriti bukan hanya soal glamor, tapi juga disiplin, tekanan, serta ruang pribadi yang terus menyempit.Di dalam van produksi, Ambar duduk dengan rambut disanggul setengah jadi, sementara makeup artist sibuk membaurkan foundation ke lehernya. Seorang asisten menyerahkan botol infused water dan laporan revisi skrip hari ini.“Scene dua langsung diambil jam sembilan, Mbak Ambar. Habis itu ada break dua jam sebelum scene sore,” kata manajernya sambil mengecek rundown.Ambar mengangguk pelan. Pikirannya terpecah—antara adegan berat yang harus ia mainkan dan sebuah pesan WhatsApp yang masuk subuh tadi dari Gion.Gion [05.17]:Selamat pagi. Aku dengar kamu sedang syuting di Bali. Kalau ada waktu luang, mampir ke tempatku ya. Aku adakan private dinner malam Minggu ini. Tidak formal. Hanya orang-or