Share

Mencintai Istri Bos
Mencintai Istri Bos
Penulis: Mr. Ken

Putus

"Kita Putus?"

"Maaf!"

"Aku bosan dengan kalimat maaf yang kau sebut," ujarku keras di depannya dengan suara menahan geram.

"Ayah menjodohkanku dengan anak saudaranya." Linangan air matanya berhamburan.

"Karena kalian berdarah ningrat, sedangkan aku hanya anak petani bawang?"

"Bu--bukan itu, percayalah! Aku mencintaimu. Tapi, ini karena ayah."

"Ayah ... Ya, ayahmu. Orang yang gila kehormatan, tak mampu kau elak perintah darinya."

"Plis, jangan benci padaku." Gadis itu masih saja menunduk. Berulang menyeka sudut matanya. 

"Baiklah! Bukankah cinta butuh pengorbanan seperti yang sering kau gembor-gemborkan, mungkin ini saatnya aku meminta bukti itu."

"Tidak, aku tidak mampu melawan ayahku, maaf!"

"Kalau begitu pergi dari sini! jangan kau tunjukkan lagi rupamu di sini."

"Maaf."

"Cukup!"

Gadis itu berlari, menyusuri setapak, merambas tanaman pandan-pandan raksasa, ia membiarkan lengan mulus tersayat kecil pinggiran pandan yang sebagian berduri.

Gejolak emosi, kecewa, cinta yang hangus tiada sisa. Persis ranggas kering semakin kering di bawah terik mentari.

_DA

Kalimat demi kalimat terngiang jelas hingga kini. Meski bertahun sudah lalu, entah mengapa Tuhan begitu senang mempermainkan perasaanku. Siluet hunjaman silet masih terasa menancap, terhunus tepat tanpa bisa kucabut pangkalnya.

Aku meminta ayah melamar dia malam itu. Gadis tercantik di desa kami, gadis yang amat aku cintai, pemenang dara terbaik se-kabupaten Tembilahan. 

"Ah, ya. Kau Firman bukan? Petani sekaligus pengumpul 'kopra' dari desa Gaung--pinggiran sungai yang airnya hitam, bau juga sangat kotor. Asal ibumu dari desa Rumbio--Bangkinang sebuah pelosok yang indah tapi primitif di sudut kota Pekanbaru. Merantau ke Tembilahan karena keluarga ayah dan ibumu selalu berkonflik sebab warisan yang tidak seberapa." 

Sambutan pahit dari ayahnya. Ayah gadis yang ingin aku lamar. Seorang perangkat desa sebelah yang sedikit sudah tersulap mirip kota kecil. Walau perangkat desa, dia punya kuasa. Seenaknya saja menghina ayahku.

Selain berdarah penguasa, calon mertuaku itu juga pewaris tunggal perkebunan pinang sepanjang belahan sungai gaung tempat aku dan keluarga berdomisili di Tembilahan ini. Tentu saja ia mengenal ayah. 

Mataku nyalang menangkap hinaan yang baru saja ia lontarkan.

"Apa tujuan kalian melamar anak gadis kami?" tanya lelaki angkuh itu memiringkan senyumnya. Pandangan angkuh tersorot jelas.

"Tidak usah dijawab, tentu saja kami menolaknya. Fahira hanya akan menikah dengan orang yang sepantas dengan dia. Kuliah di kampus ternama, memiliki titel setidaknya Sarjana, ada beberapa kriteria yang tidak saya sebutkan. Takut anda tersinggung, jadi maaf! ... " Entah hinaan yang ke berapa. Kakiku rasa tidak lagi sanggup menahan untuk menendang wajah sombong di hadapan.

"Tidak usah dilanjut duhai orang kaya, aku memang bukan lelaki berpendidikan, tapi, aku lelaki yang punya harga diri. Seorang gadis itu hak ayahnya. Maka dengan baik aku meminta padamu, jika kau tidak memberikan. Kami siap untuk pulang, mari ayah!"

Aku menarik ayah untuk berdiri. Menahan gejolak emosi yang sukar dijabarkan riuh gemuruhnya. Sakit. Bukan hanya sakit. Ini lebih dari hunjaman silet tajam.

"Sopanlah, Nak! Hargai perkataan yang tua. Duduk kembali. Andai kamu dan Fahira tidak Tuhan takdirkan sejodoh, biarkan silaturahmi tetap tersambung dengan baik." 

Ayah menuntun tanganku untuk kembali duduk. Silaturahmi apa yang dimaksud ayah. 

"Dia sudah menghina kita ayah."

"Tidak, Nak. Yang dikatakan Pak Raden itu benar. Kita ini petani kopra, hidup bergantung pada kelapa. Tidak ada hinaan dalam kalimatnya. Keluarga kita juga acap bertengkar karena warisan yang tidak seberapa. Sudah banyak kota kita datangi, Tembilahan tempat berteduh hingga kini, tapi kemiskinan, Allah beri pada kita untuk tetap menjadi manusia yang bersyukur, di akhirat kita hanya sedikit dimintai pertanggungjawaban. Sebab, kita ini mi--s--kin."

Senyum ayah mengembang. Keriput kulit akibat menua di punggung tangannya  tercetak jelas saat mengulur tangan pada Raden Wijaya. Tatap percaya diri pada lelaki sebaya ayah yang kulitnya masih kencang sebab bekerja dalam ruangan ber--air conditioner.

Membiarkan tangan ayah menggapai angin. Cetakan keangkuhan di wajah itu masih tak bergeming.

"Ayah, lihat ekspresi dia, senyum yang mengembang mengejek ayah. Kurang ajar!"

"Tidak. Duduklah!" Perintah ayah tidak aku penuhi. Aku tetap berdiri.

"Maafkan anak saya Pak Raden, maafkan kelancangan kami meminang gadis sempurna seperti Fahira. Sekali lagi, kami mohon maaf dan undur diri."

Ayah mengulur lagi tangannya. Tapi, tidak mendapat sambutan. Ayah menundukkan kepala, memberi hormat, senyum menghiasi wajah ayah, sampai kaki ayag melangkah menjauh, tidak ada respon apapun dari lelaki gila hormat itu.

Aku yang langsung menuju halaman disambut wangi melati pada halaman. Sepasang mata indah mengintip dari balik tirai jendela, melihat ayah dari ambang pintu berdaun dua, dengan ukiran jati Jepara. Aku mencoba menahan sesak untuk tidak melepas tinju. Minimal menendang daun pintu mahal itu. 

Miris. Kami miskin, miskin yang kemudian menenggelamkan kebahagiaanku merajut impian bersama kekasih tercinta.

Senja mulai menampakkan diri. Aku masih termangu di pojok danau indah tempat biasa aku dan wanita itu menghabiskan lelah.

"Kau melawan ayahku? Kau berani datang hanya untuk menentangnya, kau juga menginjak harga diri ayahku, Deva?"

Tiba-tiba suara yang begitu kurindukan terdengar, suaranya marah, bagiku bagai nada indah dari belakang tubuh ini.

"Fahira." Ingin sekali aku memeluknya, meluapkan segala kerinduan. Tapi, tadi dia bilang apa. 

Ya Allah ... Tuhan penguasa. Betapa orang hebat punya segala cara licik memutuskan tali cinta. 

Ayahnya telah mencuci otak gadis yang aku cintai ini. 

Baiklah. Baiklah. Aku benci kau Fahira. Benci. Kau ternyata lebih percaya pada ayahmu penipu itu. Bukan tidak tahu aku apa yang dilakukan Raden Wijaya sebagai perangkat desa. Demi gadis semata wayangnya. Aku menutupi kebusukan untuk melindungi calon mertua tak tahu diri itu.

"Pergilah gadis terpandang! Tidak usah kau datang hanya untuk meminta penjelasan, atau menyuruhku meminta maaf pada ayahmu yang sangat terhormat itu. Aku juga sudah tidak mencintaimu. Aku benci kau!"

Kalimat terakhir itu, begitu sulit aku ucapkan. Entah mengapa lolos dari bibir ini. 

Ada air yang menganak di pipinya. Ah, andai bisa kuusap sekali saja. Jangan menangis! Sakit dada ini melihat air matamu, Fahira. Sampai kiamat menjelang, cinta ini masih sama. Tidakkah kau bisa menelisiknya.

Air yang merembes semakin deras di pipi mulus itu, membuat dentuman sakit di bilik jantungku. Ingin kurengkuh agar jangan lagi banyak mengalir. Tapi, tiada daya yang aku mampu selain menatap pilu. 

Kini, kami menjadi dua orang yang berbeda. Karena kasta dan harta.

Selamat tinggal cinta! Selamat tinggal.

*

"Kuliah!"

Aku kuliah. Mimpi apa aku semalam. Setelah satu tahun berlalu. Ayah memberikan surat dari salah satu anggota dewan yang menang dan berhasil melenggang ke Senayan karena suara dari desa kami penuh seratus persen untuk dia--Yogi Gustaman. Menjadi anggota dewan komisi lima. 

Aku diberi beasiswa, bahkan Pak Yogi langsung membiayai seluruh kebutuhan bulananku. Hingga empat tahun di Jakarta tiada terasa. Aku--Devano Anggara lulus sebagai Sarjana Desaign Interior di salah satu perguruan tinggi--Jakarta. 

Awal segalanya merubah nasib di masa silam. 

"Ayah, aku akan datang. Aku akan bahagiakan ayah dan emak. Tunggu aku, Yah!"

"Emak bahagia, Nak. Bukan karena Sarjanamu, tapi, emak bahagia jika emak meminang cucu darimu."

Aku terhenyak. 

"Mau kah kau emak jodohkan? Seorang gadis manis dari Kuala Simpang. Tidak cantik tapi menarik."

"Jika emak bahagia, apapun akan Deva lakukan. Pilihan emak, pasti terbaik untuk Deva, pertemukan Deva dengan gadis itu, Mak."

"Baiklah, Nak. Rabu hari baik untuk bersua, datanglah. Emak siapkan Nasi Samin kesukaanmu, juga Srikaya rendang."

Aku datang, Mak. Semoga aku bisa mencintai seorang gadis lagi. Seperti aku mencintai dia yang pernah menoreh luka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nty
Sangat Bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status