Share

Wanita Berkalung Luka

"Siang, Mas. Saya mau ketemu Pak Yogi bisa?"

"Sudah janjian?"

"Sudah, Mas. Ini?"

Aku memberikan kode di layar. Hadeh. Pak Yogi cuma anggota dewan, harusnya jelata sepertiku dengan mudah masuk rumahnya, aku pikir tidak rumit untuk bersua, ah, ternyata lebih rumit daripada bertamu ke istana kepresidenan. 

Kok, bisa begitu? Usut punya usut selain anggota dewan, Pak Yogi juga pebisnis handal, pengusaha pertambangan, memiliki beberapa perusahaan penyedia alat berat. 

Orang kaya tanpa utang. 

Kagum--tentu saja. Jarang ada pejabat yang begitu. Mungkin Yogi Gustaman satu-satunya. 

Sebelum berangkat Pak Robert memberi padaku satu nomor kode agar diizinkan masuk dalam apartemen milik Pak Yogi. Mirip kode tiket masuk bandara, yang ditunjukin via ponsel ke satpam biar bisa masuk buat check in. Bedanya ini hanya untuk masuk apartemen.

"Silakan masuk! Pak Yogi sedang tidak ada. Mungkin sekitar agak sorean baru tiba. Apakah anda bernama Devano?"

Satpam--mungkin aku bisa menyebutnya satpam. Atau penjaga keamanan. Atau ... polisi yang ditugaskan menjaga kediaman ini. Kalau bodyguard sepertinya bukan. Ukuran fisiknya tidak jauh beda denganku.

Dia menjelaskan jadwal Pak Yogi mengunjungi apartemen. 

Aku melintas ruangan yang ditunjuk oleh penjaga itu.

"Nama saya Rubila, panggil saja ubil, saya sudah setahun menjaga di apartemen Pak Yogi. Usia saya baru tiga puluh," jelasnya ramah. Medok Jawa. Wajah Bugis. Perpaduan keduanya.

Memangkas sungkan. Aku mengangguk. Apa Pak Yogi sudah bercerita tentang aku pada Mas Ubil ini. Namanya mirip perempuan, mungkin waktu ngidam, emaknya ingin anak perempuan dan sudah memilihkan nama sebelum melahirkan. Ternyata yang lahir laki-laki.

"Semua orang bilang nama saya seperti wanita, padahal di Eropa nama Rubila lebih familiar kepada lelaki," ujarnya seperti cenayang yang mengerti apa isi kepalaku. 

Aku tertawa. Secara tidak langsung menyindir diri ini belum pernah ke Eropa.

"Pak Ubil bisa aja." Aku mulai mencair dengan pembawaannya yang ramah.

"Lurus terus ada pintu berdaun dua bertuliskan LF masuk saja," tunjuknya tersenyum begitu ramah. Apa semua anggota Pak Yogi ramah. Entah. Aku tidak tahu. Tidak pula mencari tahu. Ini hari pertama kali hendak bertemu Pak Yogi, setelah Pak Robert memberitahu orangtua asuh yang membiayai seluruh kebutuhan kuliahku adalah dia.

Ubil bilang apa? LF. Mengapa mendadak jadi teringat perempuan itu. 

Benar saja. Daun pintu bertulis huruf LF besar berada di depan kami. Aku menekan jempol, finger print di sebelah kanan sudah tersedia. Selain nomor kode, Pak Robert juga menjelaskan aku wajib absen jika sudah berada di apartemen.

"Apa maksud LF, Pak?" tanyaku pada penjaga itu.

"Panggil saja saya Ubil, Pak Devano!"

"Oh iya, Ubil." Usiaku sudah menginjak tiga puluh tiga tahun. Wajar terlihat lebih tua dari Ubil.

Pintu terbuka. Satu, dua, lima, sembilan. Ya, ada sekitar sembilan orang di dalam ruang ber air conditioner, sejuk melintas, wangi melati grasse campur mawar bulgaria menguar, parfum mahal, aku mengetahui bau itu dari salah seorang mahasiswa terkaya di kampus. Namanya Husna. Gadis ramah, cantik, cerdas dan punya segudang yang ingin dimiliki wanita.

Beberapa teman menyatakan Husna menyukaiku. Trauma mendekati gadis sempurna aku lebih memilih emak jodohkan saja, bukankah intiusi wanita baik seperti emak akan memberi yang terbaik juga.

Karpet coklat muda berbahan beludru mengajak kakiku melangkah ke dalam. Menjadi orang yang ke sepuluh berada di ruangan luas dengan ukiran dinding berwarna gading. 

"Tadi Pak Devano nanya tentang LF?" Ubil mengingatkan.

"Ya."

"LF itu singkatan lima fraksi, Pak. Saya ke depan dulu. Selamat menunggu." Tanpa menyapa tamu yang lain Ubil langsung beranjak keluar.

"Terimakasih," ucapku mengangguk, Lelaki berkulit sawo matang itu sudah berada di luar pintu.

Lima Fraksi. Ah, aku lupa. Yang kudatangi bukan artis sinetron melainkan politikus handal. 

*

"Devano Anggara." Seorang wanita dengan blazer lengan panjang bawahan rok senada namun seukuran pahanya. Menyebut namaku. 

Mengapa lengan harus tertutup tapi paha dibiarkan terbuka. Ada-ada saja style para pekerja yang bercita-cita sultan. Seperti apa wajah Yogi Gustaman. Ini kali pertama aku bertemu orang yang telah memberi begitu banyak kebaikan padaku, setelah empat tahun menyelesaikan kuliah. Tentu saja aku penasaran.

Biasanya hanya menerima uang masuk rekening dan tidak mengenal siapa pemberinya.

"Silakan masuk, Pak Devano!" Wanita tadi menuntun aku masuk ke sebuah ruangan, ukuran lima kali enam meter persegi. Dilengkapi berbagai ornamen jati. Dinding berwarna abu-abu khas sebuah kantor. Meja kerja, laptop, sebuah pot dengan bunga lili mati. Harum yang sama dengan ruangan tadi mengendus Indra penciumanku. Menenangkan. 

Kata Ratna adik kandungku, wangi orang kaya. Enak memang jadi orang kaya. 

"Deva." Suara berat dari balik laptop dengan kursi yang bisa berputar searah kemauan, menyebut namaku--singkat.

Apa dia Yogi Gustaman? Waw. Masih muda. Hidung mancung, bibir merah, wajah oriental khas lelaki Asia. Seperti dalam film-film CEO yang acap ditonton Ratna.

Pantas bakal digadang-gadang calon menteri desa terpencil. Dengar kabar katanya Pak Yogi ini cikal bakal kandidat yang akan memberdayakan desa-desa terpencil untuk dikelola dan ditata agar berkehidupan lebih baik. 

Bertambah kekagumanku padanya. Semoga desa kami menjadi salah satu desa yang akan diberdayakan. Seperti desa-desa di Negara Brunei. Jembatan penghubung yang unik, desaign kampung dengan interior modern berpadu klasik namun elegant. Amin.

"Deva."

"Ya, Pak. Semoga rezeki Bapak semakin berlimpah," ucapku tersedak. Lamunan tentang kampung modern buyar seketika. Astaghfirullah. Aku malah melamun. Plus ngelantur.

"Silakan duduk, Pak Deva." Perempuan seksi itu mempersilakan dengan menarik kursi untuk aku duduki. Ramah yang di buat-buat atau memang ramah beneran. Kadang sulit dibedakan.

Emak mewanti aku untuk hati-hati di kota. Ramah bukan berarti sedarah. Itu prinsip kuat yang emak tanamkan. Artinya ada orang ramah belum tentu dia akan membantu saat kesulitan, bisa jadi menjadi musuh dalam selimut. Maka kehati-hatian wajib setiap melakukan langkah.

Ayah tidak salah memilih jodoh seperti emak. Nasehatnya lebih manjur untuk motivasi daripada Mario Bros. 

"Kamu bekerja dengan saya dengan sistem kontrak, selama kontrak tidak diperbolehkan menikah, kontrak pertama enam bulan, kalau mau lanjut akan dibuat draft perjanjian kontrak lanjutan."

"Siap, Pak!"

"Semua job description yang akan kamu kerjakan sudah di susun oleh Ranti. Selama enam bulan kamu akan tinggal bareng Romi, dan Herton di rumah saya."

"Di rumah bapak?!" Aku sedikit berteriak seakan tak percaya.

"Bukan di rumah pribadi, di sebelah rumah saya ada rumah khusus, sudah seperti galeri. Kalian akan dibantu langsung oleh profesional untuk bekerja lebih cekatan dan tepat."

"Terimakasih, Pak."

"Silakan tandatangan di sini!"

Aku pun menandatangani sesuai arahan perintah. 

"Oke. Buat gambar semenarik mungkin."

Astaghfirullah. Aku lupa. Aku sudah bertunangan. Harus telpon emak tentang ini. Telanjur pula draft itu aku tandatangani. Aku yakin Suminar sabar menunggu enam bulan. 

"Baca baik-baik draft yang diberikan, Deva?"

Aku mengangguk, mataku lebih fokus ke angka yang sangat lumayan. Enam bulan bisa membelikan emak rumah, pesta besar tiga hari tiga malam, mengundang pemain handal silat kuntau, salah satu tradisi berasal dari Banjar Kandangan, sudah lama leluhur Tembilahan mengadopsi tradisi asal Kalimantan Selatan ini. 

Andai duit berlebih, aku akan sewa Teater Mamanda. Tembilahan tanah kelahiranku bermayoritas suku Banjar dan nenek moyang berasal dari Kalimantan.

Emak pasti bangga, wanita itu berpuluh tahun rindu kampung halaman, menampilkan pementasan budaya masyarakat Banjar di acara pernikahanku nanti tentu akan membuat emak meluapkan kerinduannya. Mengenang adat dan budaya nenek moyang yang telah lama terlupakan.

"Deva."

"I ... iya, Pak." Haduh. Aku melamun lagi.

"Bekerja dengan baik, buat bangga orangtuamu."

"In sya Allah, Pak. Eh, Sebenarnya ini ... anu, maaf sebelumnya, Pak. Ini ada oleh-oleh dari emak untuk Bapak. Sebagai ucapan terimakasih karena sudah memuliakan kami orang miskin. Terimakasih atas semua, Pak." Mataku tiba-tiba berkaca.

Memberikan bungkusan wajik buatan emak pada Pak Yogi.

"Emak kamu tahu saya suka wajik kampung?"

Aku mengerjit bingung. Pak Robert yang memberitahu. Aku memilih diam tidak merasa harus menjawab. Pak Yogi menerima wajik dengan senyum mengembang.

Namun, tiba-tiba perempuan bernama Ranti yang sedari tadi berdiri, lebih cekatan mengeluarkan sebuah benda. Entah apa itu berkilauan. Sinarnya menerpa wajik buatan emak. 

"Sudah Ranti, dia steril." Ucapan Pak Yogi jelas menambah paham untukku. Benda itu.

Alat pemindai racun? Ya, aku lupa lagi. Yogi Gustaman seorang politisi yang nyawanya pasti banyak yang mengincar.

"Mulai besok kamu sudah bisa bekerja. Ubil akan mengantarmu ke rumah saya."

**

Magrib menjelang. Aku duduk di bangku bagian tengah Honda Civic berwarna metalik. Membelah jalanan kota Pekanbaru.

Ubil berhenti di sebuah gerai oleh-oleh, masuk ke dalam gerai sebentar saja, balik ke dalam mobil membawa beberapa plastik makanan. 

"Untuk anak Pak Yogi," jelasnya tanpa kutanya.

Mobil memasuki halaman luas, gerbang dengan ketinggian tiga meter terbuka secara otomatis. Ubil memarkirkan mobil sebelah kanan, di depan rumah tiga kali lipat rumahku di kampung. Samping-sampingan dengan pos jaga.

Sedikit jauh berjarak bunga-bunga lavender yang tertata manis, indah sekali penata taman itu. Rumah yang lebih layak disebut istana berdiri megah, kokoh. Serupa rumah-rumah orang kaya di sinetron yang kerap Ratna tonton. Aku jarang menonton. Sesekali usil mengintip drama yang ditonton Ratna adikku. Yang suka berhayal jadi orang kaya. 

Sekarang dia tidak perlu lagi susah hidup. Dua puluh persen gajiku untuk Ratna kuliah. Hati seorang abang tanpa bersuara pasti menginginkan terbaik untuk adiknya. Emak selalu mengajarkan pada kami. Darah itu kental. Tidak ada yang bisa mencairkan. 

"Itu rumah Pak Yogi?" tanyaku pada Ubil yang tengah membuka kunci menunjuk pada bangunan persis istana di seberang mata.

Bangunan yang Ubil buka tiga kali lipat ukuran rumahku saja dibilang paviliun. Terus rumahku disebut apa jika Pak Yogi berkunjung.  Benar-benar kaya.

"Ya, salah satu rumahnya. Pak Yogi punya beberapa rumah. Tapi, rumah yang di sini paling sering dikunjungi, karena istri beliau tinggal di sini. penjagaan di rumah ini juga ketat."

Aku melongo. Mengangguk paham.

"Pak Deva orang pertama yang lolos masuk sini, dua temannya akan nyusul. Silakan!"

Aku masuk. Ubil menjelaskan semua yang ada di rumah yang kami masuki. Dari mulai ruang galeri gambar, peralatan menggambar sampai urusan perdapuran.

"Saya pamit Pak Deva. Selamat bekerja," ucapnya mengakhiri penjelasan.

"Terimakasih Ubil."

"Jika butuh bantuan, Pak Deva bisa telpon saya." 

"Sekali lagi, terimakasih."

Ubil meninggalkan aku di rumah yang bisa kusebut mewah versi di kampungku. Sepeninggalan Ubil. Aku menyibak jendela. Entah mengapa mata ini begitu usil menatap istana di seberang, tidak berbatas pagar. Ya, masih satu wilayah. Sepertinya luas seluruh tanah yang kudatangi ini, dua kali lipat luas lapangan bola versi internasional. 

Aku gegas sholat magrib. Pesan emak yang tidak boleh ditinggalkan. Sedarurat apapun, sholat tetap wajib dikerjakan.

Selesai berdoa. Alunan suara orang mengaji sayup terdengar dari arah lantai dua Istana itu. Aku menyebutnya istana. Sayup sekali. Mungkin karena sepi jadi gelombangnya menghantar dengar. Kakiku melangkah mengikuti arah suara. Seperti terhipnotis. Hening. Lantunan ayat Alquran itu hilang ditelan malam.

Mataku tak sengaja memandang ke lantai dua itu. Seorang wanita berambut panjang, keluar dari pintu menuju teras atas. Wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi, aku masih bisa mendeteksi ada air mata yang berhamburan dari pipinya. 

Siapa gadis itu?

Anak Pak Yogi? Istrinya?

Tidak mungkin istrinya. Siapapun yang menjadi istri Yogi Gustaman pasti bahagia. Selain suka bersedekah, anggota dewan dua periode itu juga rajin beribadah, begitu yang kudengar. 

Apa seorang gadis yang tengah jatuh cinta? Pak Yogi masih muda. Mana mungkin memiliki seorang gadis. Tinggi dan langsingnya perempuan itu kuyakin dia persis Cinderella.

Siapa?

Isak memilukan di tepi teras lantai dua. Menutup mukanya, ia berpaling, menunduk lalu hilang di balik pintu. Kuyakin wanita sempurna di atas sana tengah berkalung luka.

"Jangan pernah sakiti wanita, Deva. Dia ciptaan Allah yang harus dilindungi, beri obat untuk rasa sakitnya, Wanitalah yang pertama sekali begitu percaya Allah mengangkat nabi kita sebagai utusan di dunia, sedangkan lelaki justru banyak mengoloknya." Nasehat emak padaku suatu waktu.

Ah, siapa yang berani menyakiti wanita yang menangis itu. Dan ... Siapa wanita berkalung luka itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status