Share

Sapa Cinta

Minimal tidak bersirobok tatap dengan mata yang pernah kupindai lamat di kala dulu. Mata sungguh masih sangat indah. Bening bak telaga di kelilingi hutan alami. Senyumannya ...

Tuhan, selamatkan jantungku!

Rasanya jantung benar-benar hendak tanggal dari gantungannya. Mengapa dunia ini begitu sempit. Ada hubungan apa antara Fahira dan Robert Pattinson? Begitu terkesan akrab. Hah. Kuraba spontan debur di dada. Meyakinkan diri bahwa ini bukan cemburu. Dia sudah istri orang. Yang iya saja, kalau aku sempat cemburu.

Terserah dia mau punya hubungan apa dengan Robert. Bukan urusanku. Cih. Alam sadarku kembali terlempar pada dunia fakta. Fahira hanya bagian masa lalu. Bukan siapa-siapa.

Memejam mata lagi. Kali ini aku membayangkan wajah lugu Suminar.

Suminar. Suminar. Suminar. Ulangku bersenandika.

Huh. Gagal. Mana mungkin aku bisa menghadirkan wajah Suminar di depan mata. Sementara perempuan si mantan itu berdiri kokoh di hadapan. Tetap saja wajah Perempuan berjilbab sorong bermode Malaysia itu yang hadir dalam nyata. Sial, bukan?

"Deva."

"I ... iya, Pak," sahutku gagap. Aku terkejut mendengar sapaan Pak Robert. Lebih tepatnya gugup sekali.

"Kamu sakit?"

"Tidak, Pak."

"Memejam mata lama sekali, seperti sedang menahan sakiit kepala."

Astaghfirullah. Robert memperhatikanku ternyata. Gawat ini.

"Oh, tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit pusing, biasa jetlag perjalanan," jawabku sekuat tenaga berusah berdiri rileks.

"Saya Keponakan dari Om Robert, beliau abang pertama dari bagian ibu." Ucapan itu keluar dari bibir Fahira. Seperti cenayang yang menyelami isi kepalaku. Ia berbicara pada Herton yang memasang tampang mesem-mesem.

Mengapa mendadak aku senang mendengar penjelasan Fahira. Suara merdunya menyejuk jiwa. Hah. Apa aku akan sinting di sini selama enam bulan?

Tapi, sebentar! Aku memejam mata menelisik ingatan. Sial juga. Jadi selama ini yang membantu biaya kuliahku tidak lepas dari saudara Fahira. Kok rasanya tak berharga sekali diri ini.

"Kumpulkan gambar kalian, saya bawa ke rumah seberang. Sekalian barang-barang baru untuk galeri ini dirapikan oleh Rin." Robert memanggil seorang wanita sedikit bertubuh gempal. Rin. Wanita pembawa buah-buahan di rumah tadi.

Pak Robert juga memberi perintah pada Dion, satpam rumah. Mengangkat meja Gambar. Meja khusus berjenis lipat, memungkinkan untuk membuat gambar dengan cara berdiri maupun dengan duduk. Keren. Jadi kakiku juga tidak kram, bisa berganti posisi sesuai keinginan.

Kardus-kaedus berselotip baru, kami koyak bersama. Ada penggaris segitiga, ini alat tempur untuk membuat garis sejajar dalam kegiatan membuat desain rumah, penggaris segitiga membantu merapikan setiap garis pada gambar.

Iya, aku ingat, belum ada penggaris segitiga di ruang khusus menggambar. Hati-hati sekali, aku mengeluarkan dan meletak dekat penggaris panjang, para penggaris sangat dibutuhkan dalam pembuatan desain rumah, apalagi untuk mengukur skala.

Setahuku Pak Yogi itu lulusan Hukum Internasional, kok bisa paham hal-hal begini. Pak Robert orang manajemen. Aku sudah beberapa kali bersua.

Penghapus, mal Huruf, mal lengkung, jangka, gunting, dan tetekbengek lainnya.

Satu tambahan komputer diangkat Dion menuju ruang khusus, tentu ini akan memudahkan kegiatan, peralatan yang digunakan membantu menghemat waktu cepat dan tepat, luar biasa Pak Yogi. Beruntung sekali Fahira mendapatkannya, dibanding aku yang bukan siapa-siapa.

Syukurlah. Fahira bahagia. Semoga kelak aku juga bisa membahagiakan Suminar.

"Deva." Suara lembut itu menabuh genderang di bilik jantungku.

Robert sudah membawa gambar kami ke rumah seberang, Dion sedari tadi kembali ke post jaga. Rin membawa beberapa kardus kosong ke tong sampah untuk dibakar. Herton masuk ke ruang Galeri. Aku tidak melihat Romi ada di mana.

Fahira tidak gegas mengikuti Robert. Kakinya seolah merekat di depan mataku.

"Sudah berlalu, tidak ada yang perlu kita bahas." Spontan ucapan itu keluar dari bibirku. Sial sekali.

Demi Tuhan, jantung ini harus segera diperiksa. Benar-benar sesak saat begitu lirih namaku lolos dari bibirnya.

"Ma-maaf sebelumnya. Aku sama sekali tidak ingin membicarakan masa lalu. Selamat ya kamu sudah jadi Sarjana. Cita-citamu akhirnya tercapai."

Kalimat itu. Apa semacam hinaan?

'Selamat ya, kamu sudah jadi Sarjana, tanpa suamiku kamu cuma jadi kain lap di kampung. Hanya petani kopra.' Aku merasa Fahira hendak mengeluarkan kalimat itu. Ya, ya ... merasa.

"Budi 'kan kubalas budi. Andai waktu bisa diulang. Aku mengetahui bahwa suamimu adalah orangtua asuh yang memberiku beasiswa cuma-cuma. Aku lebih baik jadi petani kopra selamanya. Tidak perlu kucicipi bangku kuliah."

"Kau tidak banyak berubah, Deva. Masih saja sombong. Harga dirimu terlalu mahal. Semoga kau menemukan gadis sepadan dengan harga yang kau tuliskan."

Apa maksud kalimat Fahira.

"Mama!" teriak seorang bocah dari arah garasi. Sepertinya Pak Yogi datang. Oh Bukan. Itu Ranti. Perempuan di dalam apartemen. Yang memindai racun ke dalam wajik pemberian emak. Pembokat yang setia.

Ranti menyusul bocah lelaki berusia empat tahun itu. Mataku tertumpu pada kaki anak yang sangat mirip dengan Yogi Gustaman, yang kini memeluk ibunya.

"Belajar apa aja tadi, Khai?"

"Sempoa, sama main pasir."

"Bu guru bilang apa?"

"Sampai rumah bobok," ucapnya tersenyum lucu.

Mataku merekat melihat aksi saling sapa antara ibu dan anak itu.

"Khai, ini Om Deva. Beri salam!"

"Assalamualaikum, Om. Aku Khai. Walaupun aku tidak punya betis. Jari kaki kananku hilang, jempol tangan kanan tak ada, aku bisa menang atlet lomba lari anak-anak lo," ucapnya pamer dengan wajah lugu.

Aku tersenyum mengulur tangan. Khai mencium punggung tanganku. Anak baik. Sayangnya--cacat. Mata polosnya mengingatkan aku pada Ratna. Begitulah hidup. Tidak ada yang sempurna.

Ada anak normal tapi nakalnya nauzubillah. Ada anak tidak normal. Baik banget, cerdas bahkan punya adab tinggi dalam berbicara.

"Nah. Sekarang Khai bobok ya." Fahira mengelus kepala anak itu. Ia mengangguk patuh. Aku mengikuti Fahira dari belakang. Herton sepertinya langsung ke dalam. Robert pun sudah tak terlihat lagi.

Sepoi angin menerbangkan syal yang Fahira kenakan. Ia masih seperti dulu. Suka memakai syal. Liuk tubuhnya saat berjalan pun tidak berubah. Masih pelan, elegent. Cantik. Sempurna.

"Deva, kau yakin mau ketemu Yogi?" tiba-tiba Fahira jalan berhenti mendadak. Hampir saja bertubrukan denganku.

"Sangat yakin. Ada apa?" tanyaku pura-pura tidak tau apa maksudnya.

"Hh, iya. Maaf, kalau kalau ketemu Yogi. Eh anu ...." Fahira tampak gugup.

Apa ia masih mencintaiku? Mengapa segugup itu. Rasanya aku ingin berbalik pulang. Karena bahasa tubuh Fahira sungguh membuat tidak nyaman.

"Deva, aku cuma mau ngasih tau, sepertinya bagian belakang celanamu terkena jangka. Atau terduduk di areal berpaku, tidak sengaja koyak. Bahan celana itu kain keper. Jadi mudah terkoyak jika bersentuhan dengan benda tajam," jelasnya pelan tapi sungguh membuat detak jantung ingin berhenti seketika.

Duit mengganti celana ini tidak seberapa. Malunya itu sungguh luar biasa. Fahira mengatakannya sambil tersenyum. Fahira melangkah santai keluar menuju rumah mewahnya. Sedangkan aku terdiam seribu kalimat, ambigu di tempat hingga Romi datang menepuk bahuku sambil terbahak-bahak. Sampai air matanya keluar seolah ia habis menonton drama komedi paling lucu sejagad nusantara ini.

"Ternyata Ibu Bos lucu juga ya, aku kira orangnya dingin, sombong dan jutek. Ah aku menyukai pekerjaan ini, ada istri bos cantik yang akan selalu menemani kita." Romi masih tertawa seolah mengejekku karena celana yang robek tanpa sadar. Malunya ....

Huh. Dasar jantung. Kau bikin masalah.

Sapa ramah pertama dari yang dicinta tidak akan lekang oleh masa.

Astaghfirullah, apa suara Fahira membuatku lupa dengan Suminar.

Jangan jadi lelaki tidak bertanggungjawab, Dev!

ah, iya. Aku harus selalu mengingat Suminar.

Agar Fahira hilang dari otakku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nty
menunggu update
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status