Share

Detak Jantung

Pukul 22.08 alu melirik pergelangan tangan. Melingkar pengingat waktu hasil perlombaan catur tingkat jurusan. Aku menang sebagai juara satu. Ya Karena lawannya cuma dua orang. Coba seluruh jurusan, bisa KO. Acara tahunan yang diadakan jurusanku gagal total. Inilah hadiahnya jatuh ke tanganku.

Indah memang mengenang semuanya, pantas filem kampus biru laris manis.  Duduk di serambi depan rumah, aku mulai memainkan pensil. Di sisi kiri kutaruh bolpoin ukuran sedang. Rapidho 0.1 Mili, sengaja kuletak tepat depan mata, untuk memudahkan mengambil saat tangan ini mulai mengarsir garis tipis.

"Bagaimana gambarmu? Sudah selesai?" Herton datang membawa plastik beridi kacang pilus. Teman baru satu ini hobi sekali ngemil cemilan jajanan seperti itu. 

Setelah makan malam dengan kesunyian kata, beradu debar jantung riuh bergemuruh, muka yang sengaja kupilih untuk menunduk. Untungnya Fahira lebih menguasai situasi. Wajar. Dia itu Magister. Kabar angin bakal calon doktoral. Waktu kami pacaran saja dia sudah calon Sarjana, Apalagi sekarang. Istri pengusaha, sekaligus politisi handal, penguasa rakyat, sedangkan aku bukan siapa-siapa?

Memang aku sempat mendengar dari Daus sepupu Fahira--temanku di pangkalan ojek Gaung. Daus bilang Fahira tengah melanjutkan studi. Selesai basa-basi dengan kami bertiga lebih tepatnya pada Herton Romi, karens aku lebih banyak diam dan didiamkan. Kami pamit undur diri, kembali ke rumah bangsal galeri sketsa. Alias rumah miniatur arsitektur.

"Hei. kau ngelamun lagi, buruan kawinlah kalo gitu, ditanyain malah bengong." Herton menepuk pundakku cukup keras. Aku menoleh, tersenyum tipis menanggapi candaannya.

"Lagian, baru juga mulai malah ditanya udah selesai apa belem,nge-gambar desaign itu sama kaya ngehalu juga, harus kebanyak bengong buat dapat inspirasi. Pengennya lembur, biar besok bisa dipastikan bagus atau tidak. Minimal tau kemampuan kita. diterima atau ditolak gambar-gambar ini."

Sebenarnya aku yang tak sabar, jika gambar yang kubuat diterima tentu aku tau kalau enam bulan ke depan akan tinggal di rumah ini sebagai arsitek dari perumahan rakyat. Aku bisa mempersiapkan mental, juga bisa izin pulang kampung beberapa hari menikahi Suminar diam-diam saja, alias nikah siri. Kasihan Suminar. Ikatan akad antara aku dan Suminar menjadi satu alasan kuat aku dan Fahira bukan lagi siapa-siapa. Aku takut dia mengira aku gagal move on. Atau dia mengira aku masih mencintainya. Walau jujur detak jantung ini sangat bermasalah jika melihat dia.

"Kata Pak Yogi, kita juga harus menjelaskan detail tujuan gambar yang kita buat. Semacam filosofimya, kelebihan dan kekurangan ketika gambar telah menjadi fisik bangunan."'

Ya, Herton benar. Kami bahkan disuruh menjelaskan kelebihan atau kekurangan sebuah rumah jika mengarah matahari atau sebaliknya. Atau pintu menghaddap kiblat, toilet dilarang menghadap dan membelakangi kiblat dan banyak lagi aturan yang tidak pernah aku pelajari ketika duduk jadi mahasiswa desaign arsitektur.

"Kalian sudah solat isya?" tanya Romi yang telah mengenakan koko navy bersiap untuk solat. Kebetulan kami melewatkan adzan Isya di rumah besar itu. Alim juga teman-temanku. Mereka pantas terpilih untuk bayaran semahal ini.

"Kau seperti emakku, Rom," tawaku menyembur. Tapi niatnya bagus, mengingatkan diri untuk mengingat pada Tuhan.

Yogi Gustaman orang yang sangat selektif memilih karyawan. Untuk wawancara dan unjuk bicara plus unjuk kerja saja, Yogi mendatangkan psikolog dan ahli pembaca rona dan wajah. Bahkan alat pemindai kebohongan. Luar biasa. Aku tahu itu. karena saat memasuki area test, terlihat dua orang berkasak-kusuk. Salah satunya psikolog yang pernah nampang di beberapa majalah. Makanya familiar.

srek.

"Au!" jeritku kecil.

"Kenapa, Dev?" Herton yang tengah membuka jebdela menoleh mendengar suara jeritanku.

"Tanganku tergores pensil runcing," jelasku meringis sedikit.

"Makanya menggambar jangan melamun, Bro." Herton mendekat, menepuk bahuku. Astagfirullah. Aku jadi teringat Suminar. Sudah janji mau menelpon. Pasti gadis lugu itu menanti tak sabar. Bisa dikejar emak aku ke kota ini. Melupakan janji bukan tipe emak. Tergores pensil bisa jadi kode dari alam agar aku mengingat janji.

Kuraih ponsel dari dalam saku celana. Menekan nomor. Panggilan langsung tersambung.

"Assalamualaikum, Abang." Suara lembut Suminar terdengar jelas menjawab telepon dariku, tanpa harus menekan loudspeker--biasalah--ponsel senter murahan. Herton dan Romi yang baru selesai solat melirik ke arahku. Mereka tentu saja mendengar suara perempuan dari ponselku.

"Wah, ada yang memadu kasih, pantas dari tadi ngelamun ternyata homesick," bisik Herton pada Romi. Disambut tawa mengejek dari Romi. Aku tak menghiraukan mereka. Berjalan ke dalam, sambil membalas senyum usil mereka.

Suminar ternyata sudah menyimpan nomorku. Padahal aku belum memberitahu nomor ini padanya, berarti emak yang memberikan nomor ponsel langka pemberian pak Robert ini pada Suminar.

"Waalaikumussalam, Suminar. Kamu sehat?"

"Alhamdulillah, sehat. Abang sehat juga?" tanyanya bernada malu. Aku mengangguk. Ah, mana mungkin Suminar melihat anggukanku.

"Iya, Dik. Alhamdulillah, abang sehat." Aku harus membiasakan diri menyebut Dik pada Suminar. Panggilan seperti itu membuat bahagia seorang wanita. Begitu pesan emak.

"Ada sesuatu hal penting yang ingin abang sampaikan," ucapku pelan. Sebenarnya tidak sampai hati menyuruh dirinya menunggu.

"Minar siap untuk mendengar, Bang."

"Dik, abang minta maaf sebelumnya, pernikahan kita kan ditunda lebih dari enam bulan, apa kamu tidak keberatan?"

Hening.

Apa Suminar marah? semenit, dua menit aku menunggu. Masih hening. Apa yang terjadi pada Suminar di seberang.

"Abang," panggilnya lirih. Huh. Aku menarik napas--lega. Kirain ngapain dia sampai diam begitu lama.\

'ya, Dik. Jika kamu tidak rhido, abang rela dan ikhlas kamu mencari lelaki lain." Sengaja kalimat ini kukeluarkan, setidaknya aku penasaran, Suminar akan menjawab apa, Setia menunggu, atau setuju mencari pria lain.

"Tidak, Bang. Suminar ikhlas abang menunda pernikahan kita. Suminar akan sabar menanti abang."

Lega juga, Gadis itu ternyata legowo.

"Tadi, emak datang kemari bersmaa ayah. Beliau menceritakan tentang kontrak kerja abang. Jika semua itu untuk masa depan kita, tidak ada alasan bagi Minar untuk menolak ini."

"Suminar, terimakasih atas pengertian kamu."

"Ya, Bang. Tidak apa-apa. Selamat bekerja. Semoga Allah memberi yang terbaik untuk kita."

"Aamiin."

Aku mengakhiri komunikasi. Lega menjalar dalam jiwa. Entah mengapa pikiranku kembali terganggu dengan Fahira. Wanita penoreh luka berdarah itu, menyusup cepat dalam jiwa, aku terbatuk. Sedikit sesak. Tidak ada wanita lain yang harus kucurigai, mennagis di teras atas itu selain dia. Tapi, ada apa denga Fahira?

Mengapa tangisannya sangat memilukan? Ah, sudahlah. Mengapa aku masih peduli. Sudah ada Suminar.

"Dev, sudah belum nelponnya? Pak Robert barusan nelpon nih, katanya mau kemari!" Teriakan Herton membuatku gegas meletakkan ponsel ke atas nakas lemari kecil ruang tengah. 

"Pak Robert mau ke sini?"

"Ya, sekitar lima menit lagi sampai."

Sialan! Gambarku.

*

"Pak Robert, silakan!" Kami bertiga menyambut direktur utama developer PT. Gustaman Group. Menyediakan ruang duduk di lantai tempat kami berdiri dengan gambar masing-masing di tangan. Pak Robert masih berdiri belum melangkah masuk. Menyapu pandangannya ke langit-langit rumah.

"Kalian sudah makan?" tanya Pak Robert. Jelas itu pertanyaan basa-basi. Mana mungkin Pak Robert tidak tau kalau kami sudah makan.

"Assalamualaikum," sapa sebuah suara dari balik punggung Pak Robert yang masih berdiri di bibir pintu. Memejam mata berkali-kali, jantungku mendadak riuh. Frekuensi detak yang sangat tidak stabil.

Oksigen mana? Apakah hilang dari bumi? Mengapa napasku begitu sulit untuk kutarik.

'Fahira' decisku kecil dalam hati saja. Detak jantung ini benar-benar bagai tabuh genderang perang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status