Share

Bias Rindu

"Jangan pernah sakiti wanita, Deva. Dia ciptaan Allah yang harus dilindungi, beri obat untuk rasa sakitnya, Wanitalah yang pertama sekali begitu percaya Allah mengangkat nabi kita sebagai utusan di dunia, sedangkan lelaki justru banyak mengoloknya." Nasehat emak padaku suatu waktu.

Ah, siapa yang berani menyakiti wanita yang menangis itu?

Siapa wanita berkalung luka di atas sana?

Mengapa pula aku terlalu penasaran?

Titt. Ponselku berdering.

Mataku menangkap mobil Ubil meninggalkan kediaman Pak Yogi. 

Astaghfirullah. Aku sampai lupa mau nelpon emak. Sibuk mengurusi yang bukan urusanku. Malah emak nelpon duluan. Belum jadi apa-apa di kota aku sudah lupa daratan begini. Semoga Allah mengampuni, sepertinya tadi setan mendadak menggodaku. Terhanyut dengan kehadiran sosok bernama wanita. 

Aku harus sadar. Suminar menanti proses ijab kabul. Kata emak Suminar gadis baik-baik, jika seorang emak rhido Allah pun juga rhido. 

Mungkin setan tadi sengaja datang menghibur jomblo sepertiku.

Emak memang benar. Wanita itu harus dilindungi. Wanita tercantik sejagad itu juga berpesan. Jika yang butuh perlindungan ada hak orang lain atasnya. Maka hal penting adalah safety diri dengan iman. 

Ah, emak. 

"Dev. Deva ... Deva anak emak. " 

Ha. Emak udah dari tadi menjawab. Aku malah hening terbawa lamunan Suminar dan gadis tadi magrib.

"Assalamualaikum, Mak. Sehat?"

"Alhamdulillah, waalaikumussalam, Nak. Emak dari tadi sudah baca salam. Kamu melamun? Sudah solat magrib, Deva?"

"Sudah, Mak." Hal pertama yang selalu emak tanya saat berjauhan. Sholat. 'Bukan kau yang menjaga sholat, Deva, tapi, sholat itu yang selalu menjaga ke mana dirimu pergi.' Nasehat yang selalu emak ulang. 

Melamun? 

Emak benar lagi. Hanya seorang ibu yang tidak bisa dibohongi.

"Kau sudah makan?" Hal kedua, sudah biasa-- ditanyakan.

"Belum, Mak. Selekas isya, barulah Deva makan."

"Bagus, jaga pola makan, ingat Dev. Sumber segala penyakit itu ada di lambung."

"Iya, Mak. Deva selalu ingat pesan emak."

"Ubi jalar, bagus juga untuk makan pagi. Lambung terjaga." Kebiasaan emak kalau sudah membaca galau sedang melanda putranya. Ceramah soal makanan baik untuk lambung topik utama.

"Bagaimana kabar kerjaanmu?" Akhirnya emak menanyakan itu. Aku bingung cara menyampaikan pada emak kondisi kontrak yang tidak memperbolehkan menikah.

"Deva, kau masih dengar emak?"

"Ma--masih, Mak. Gini ... "

Akhirnya mengalir cerita dari mulutku, walau sedikit tersendat. Menyusun kata agar emak tidak marah, tidak risau, pun tidak kecewa. Lelah juga, tapi, lega.

"Tidak apa-apa, Deva. Jaga diri dan hati, ya, Nak. Emak juga tidak menuntut. Tetap berdoa untuk kesuksesanmu. Jika Allah takdirkan kalian bersama, santan pecah masih bisa menjadi bahan rendang yang enak. Hanya butuh waktu."

Alhamdulillah. Rasanya aku lega mendengar itu. Emak memang sosok ibu yang bijak. Semoga kelak istriku seperti emak.

"Mak, sampaikan salam dan maaf Deva untuk Suminar."

"Elok lagi kalau kau yang sampaikan langsung."

"Baik, Mak."

Setelah berbincang panjang dengan emak. Mengucap salam lalu menutup ponsel. Aku kembali wudhu dan melaksanakan sholat isya. Yah, perut terasa keroncongan. Nanti saja setelah makan, semoga aku ingat untuk menghubungi Suminar.

Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu. Rasanya aku tidak mengunci pintu. Buat apa juga. Sekeliling pagar tinggi, plus cctv. Beberapa satpam jaga. Ngapain lagi aku harus kunci pintu.

Tamu itu tidak masuk langsung. Tanda si tamu orang beradab. Emak bilang juga gitu, kalau bertamu meskipun jendela dan pintu pemilik rumah terbuka, tidak baik melongokkan kepala. Ketuk dulu, beri salam. Jika tiga kali tidak ada sahutan. Segera pulang. 

Tok. Tok. 

Astaghfirullah. Aku gegas ke depan takut si tamu terlalu lama menunggu.

"Malam, Pak. Saya Dion. Saya bagian keamanan di sini. Ini Herton dan Romi."

"Ya, malam, Kawan." Aku menyalami mereka semua, mengangguk ramah. 

Herton dan Romi. Keduanya memang terlihat di apartemen Pak Yogi. Artinya mereka dua lolos bekerjasama dengan Pak Yogi. Seperti yang Ubil bilang kami bertiga akan tinggal di sini. Artinya tujuh orang entah di mana. Bisa jadi tereliminasi. 

"Hallo."

"Ya, ya. Herton, Romi kenalkan saya Deva."

"Kami sudah kenal. Namamu acap disebut Pak Yogi ketika mewawancarai kami. Apa kami harus kering di luar."

Aku tertawa mendengar candaan Herton. Tubuhnya cukup tinggi, ditelisik dari wajah, Herton masih seusia Ubil. Sedangkan Romi kutaksir masih dua puluh limaan.

"Lah, ini rumah kita tempati bersama. Harusnya main terobos, tidak menunggu untuk kuberi perintah. Soalnya aku bukan Pak Yogi," kelakarku menepuk pundak Herton. 

Awal pertemuan yang baik. Kami berempat tertawa lagi. 

"Silakan masukkan barang-barang ke rumah ini, Pak Herton dan Pak Romi. Setelah itu mari kita ke rumah induk untuk makan."

"Pak, apa kami tidak bisa makan di sini saja?" tanyaku merasa sungkan membayang duduk di istana seberang.

"Sudah ditunggu nyonya. Nyonya juga termasuk bagian tim di sini."

"Maksud Bapak Istri Pak Yogi."

"Ya, beliau itu master kesenian. Ia bertugas mengecek semua gambar yang kalian selesaikan sebelum dieksekusi ke lapangan."

"Oh, begitu. Jadi malam ini kami akan bertemu Nyonya Gustaman?" sela Herton. Laki-laki itu sepertinya punya karakter luwes dan mudah berbincang. Berbeda dengan Romi yang lebih pendiam. 

"Ya, benar. Nyonya hendak memberi arahan apa yang dikerjakan besok."

"Jadi bos kami Nyonya Gustaman?" Untuk pertama kali suara Romi terdengar. Ia mengerjit berkali-kali tanda kurang suka berpemimpin wanita.

"Kalau tidak salah tadi Pak Yogi mengatakan kami akan dibantu Mbak Ranti. Bukan istri beliau." Aku takut juga kalau ternyata istri Yogi Gustaman itu galak, cerewet, apalagi suka menyalah-nyalahkan. Bisa berantakan mood menggambar. 

"Itu benar, Mbak Ranti bertugas menuliskan job description apa yang harus dan tidak harus kalian kerjakan. Artinya Mbak Ranti bagian lapangan sedangkan Nyonya bagian internal sebelum eksekusi ke lapangan. Begitu."

"Oh," sahut kami serentak.

"Silakan mandi dan beberes dulu Pak Romi dan Pak Herton saya tunggu di luar. Ini barang-barang saya taruh di mana?"

Aku menengok barang yang dimaksud Satpam Dion. Sangat banyak. Sepertinya di ruang galeri ada.

Mungkin ini tambahan stok. 

"Sini saya bantu bawa. Ke ruang galeri. Herton dan Romi mandi aja dulu. Di sini masing-masing kamar ada kamar mandi jadi tidak perlu antri." Aku menjelaskan karena tadi sudah keliling survey isi rumah.

Aku diikuti Dion menuju ruang galeri gambar. Sudah ada pensil mekanik khusus untuk menggambar.

"Wah ... begini ya kalau orang mau bangun rumah. Saya pikir tukang-tukang itu tidak perlu menggambar. Tapi, di kampung saya tukang jarang menggambar dulu baru membangun. Mereka bisa bangun langsung rumah sesuai permintaan tuan rumah."

Aku tertawa, tentu saja. Setiap tukang kampung untuk membangun rumah biasa dia sudah hapal tekhnik dan caranya, bisa karena tanah berukuran sedikit dan juga bersifat pribadi.  Berbeda kalau membangun perumahan, jalan kota. Apalagi membentuk desa kecil dengan menyulapnya menjadi sebuah kota mini harus memakai tekhnik seni agar rapi dan tidak semrawut, tidak bisa sembarangan karena menentukan hajat hidup masyarakat ramai.

"Saya tau ini namanya pensil mekanik." Dion meraba pensil yang baru ia keluarkan dari plastik.

"Ya, pensil mekanik digunakan untuk menggambar sketsa, atau menggambar rumah sebelum dipertebal dengan menggunakan tinta rapidho." Aku menjelaskan sedikit walaupun dia tidak bertanya. Kata emak ilmu semakin bertambah jika kita memberikan pada orang lain.

"Kegunaannya apa, Pak Deva."

"Pensil mekanik memudahkan kita merevisi gambar yang masih dapat dihapus menggunakan setib, makanya ukuran pensil mekanik itu bisa bermacam-macam di pasaran, tergantung milimeter pensilnya, tujuannya ya itu. Membantu memudahkan revisi jika ada kesalahan menggambar."

Tidak lama saling berbincang. Romi dan Herton sudah selesai mandi. 

"Mari Bapak-bapak!" Dion menyambut ramah. 

Romi nampak lebih imut, muda sekali. Baru lulus kuliah. Herton tampak lebih dewasa. Kalau aku telat kuliah telat pula lulusnya. Usia sudah tiga puluh tiga. Nikah pun belum. 

Kami bertiga berjalan menuju istana. Entah mengapa dadaku berdebar sangat kencang. Semoga Dion,.Romi dan Herton tidak mendengar tabuh gendang di dada ini. Malu aku.

Sudah tua tapi masih grogi. 

Seperti apa istri Yogi Gustaman. Apa dia gadis yang tadi kulihat?

Atau gadis yang kulihat itu pembantu di rumah ini. Bisa jadi. Apa nanti kami bersua di dalam. Mengapa napasku mendadak sesak. Emak bilang itu tanda kita orang baik. Cemas akan ketidakpantasan diri bersua orang terpandang.

Ya, mungkin karena pertama kali melihat rumah semegah istana. Jadi malu untuk memasukinya. Itulah sebab jantungku tak karuan detaknya.

"Silakan masuk dari pintu samping kita langsung ke ruang makan."

Kami mengikuti perintah Dion. Pintu terbuka seolah tahu saja kami akan datang. Waww ... Suhu dingin air conditioner menerpa kulitku. Desaign interior yang luar biasa. Persis istana dalam negeri kayangan. 

Dion membawa ke ruangan lumayan luas. Meja makan panjang berkapasitas dua puluh empat orang, bisa makan di meja panjang berbahan jati dengan liuk sembarang. Desaign yang manis. 

Aku, Herton dan Romi mengambil tempat. Sedangkan Dion masih berdiri.

"Saya pamit. Sebentar lagi nyonya akan turun."

Kami mengangguk serentak. Kuperhatikan wajah kedua temanku ini. Wah. Sama mereka juga gugup masuk istana. Heh. Belum sempat kami bertiga memulai obrolan terdengar tapak kaki bersentuhan dengan lantai. 

Berketuk pelan menuju meja makan. Hening serentak. Dion sedari tadi sudah pergi. Semoga tidak ada yang mendengar irama jantungku. 

Haduh. Mau ketemu Nyonya saja begini. Bisa jadi karena yang mau ditemui wanita dan belum kenal karakternya seperti apa. Riuh detak mendadak tumpah. Semoga orangnya tidak galak.

"Rin, buah yang tadi taruh di meja." 

Suara lembut mendayu datang dari arah belakang. Menyuruh seseorang menaruh buah di meja yang sudah berisi berbagai makanan.

Kompak kami bertiga menoleh, tanpa sadar serentak berdiri dan menganggukkan kepala pertanda hormat ala Jepang.

Kakiku mendadak beku. Memindai wanita di hadapan. Ia sama terkejutnya. Wajah itu sampai pias seputih kapas. 

'Fa--Fa--hira.'

Mendadak lidahku kelu menyebut nama itu. Kini mata kami saling tatap tak karuan. Jilbab dongker membingkai indah wajahnya. Jantungku jangan ditanya frekuensinya, tak lagi bisa diajak kompromi. Masih bernapas saja--syukur.

"Silakan duduk!" Ia seperti mudah menguasai keadaan. Matanya beralih menatap Herton dan Romi. Berusaha menghindari untuk bersirobok denganku.

Fahira. Ah, susahnya menyebut nama yang dulu pernah membuat aku berkeping tak berdaya. 

Dia wanita yang kulihat di lantai atas?

"Selesai makan kita akan bicarakan tugas esok hari." Santai tanpa nada gugup, Fahira berbicara seolah tidak mengenaliku. 

Mata itu tidak bisa menyembunyikan luka. Aku yakin seribu persen dia adalah wanita yang kudengar terisak. Rasanya tidak mungkin gadis bernama Rin yang baru saja meletekkan buah di atas meja. 

Rin tidak memakai jilbab dengan mudah aku mengekspos rambut pendeknya. Wanita yang kulihat tadi rambutnya panjang. Jadi teringat saat rambut itu kumainkan dengan jari. Ah, Deva! Sadarlah. Yang di depanmu sekarang itu bukan Fahira yang dulu. Dia bosmu. Bukan kekasihmu. Ingat itu Deva! Sebuah suara menyentak kesadaran. 

Apa bisa kontrak dibatalkan. Rasanya aku tidak sanggup bersua dia. Aku kira hati ini sudah move on dan bisa terisi nama lain. Ternyata masih sama nadanya.

Apa aku sanggup bekerja selama enam bulan ini? Wajah emak bermain di pelupuk mata, berganti kepolosan dan tatap lembut Suminar. Demi mereka. Siapapun bosku aku rela. 

Masa lalu hanya bagian dari takdir yang harus dijalani. Baiklah Fahira. Jika kau saja sanggup bertatap muka dan tidak gugup sama sekali. Artinya kau sudah melupakan semua. Maka, akupun harus gegas melenyapkan ingatan tentang kita. 

Suminar. Suminar. Suminar. Aku memejam mata sengaja memaksa wajah lugu Suminar hadir.

"Pak Deva. Kenapa? Ibu tanya apa ada yang kurang kebutuhan kita?"

Aku melongo. Kapan Fahira bertanya. Sial. Ia menatapku dalam. Tanpa malu aku balas menatapnya.

"Tidak ada, Romi. Semua sudah dilengkapi oleh--Tuan--besar--Yogi Gustaman," jawabku menekan kata, sedikit berseloroh menyebut tuan besar sambil menahan senyuman.

Romi dan Herton ikut mengulum senyum. Sedangka Fahira mendelik. Mata itu masih sama. Seperti dulu. 

Ah... Apa ini? apa Tuhan tengah mengujiku?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Inoeng Loebis
rekomendasi
goodnovel comment avatar
Mr. Ken
Terimakasih yang sudah membaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status