Share

Episode 9 (Sesuai Rencana)

Wajah Bia tampak pucat. Badannya lemas seketika. Matanya masih melotot mendengar Yoga membacakan nama yang muncul di layar monitor adalah namanya.

"Bianca siapa?" tanya Sandi nampak asing dengan nama yang diucapkan temannya.

Bia semakin ketakutan. Sepertinya ia telah salah mengambil kartu memori. Bagaimana jika kartu memori tersebut dapat membongkar rahasia Bia?

"Eh, kok mati sih," ucap Yoga panik ketika melihat monitornya berubah menjadi hitam gelap.

Berbeda dengan Yoga, Bia justru tampak lega. Ia begitu tenang ketika layar monitor itu mulai mati. Ia tak lagi ketakutan rahasianya terbongkar, terlebih rencananya bersama Andi berjalan seperti yang diinginkan.

"Kenapa, Yog?" tanya Dafa yang melihat Yoga panik.

"Komputer gue mati tiba-tiba," jawab Yoga yang masih mengotak-atik komputernya agar menyala.

"Kok bisa?" tanya Sandi yang kini menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan fokusnya pada Yoga.

"Jangan-jangan karena memorinya, ya, Yog?" tanya Bia pura-pura tidak tahu.

"Kayanya sih," jawab Yoga. Setelah sekitar 4 menit berlalu, akhirnya komputer Yoga pun menyala.

"Udah bisa?" tanya Sandi yang sedari tadi tak berkedip melihat Yoga.

Yoga bernafas lega, "udah," jawabnya. Ia pun kembali untuk melihat kartu memori yang diserahkan Bia padanya. Kali ini, Bia kembali panik. Ia berharap Yoga tak menemukan apapun di dalam kartu memori miliknya.

Bia menarik nafas perlahan, "gimana Yog?" tanyanya.

"Bentar ya, Bel, aku cek dulu," balas Yoga. "Eh, bentar ... ."

Jantung Bia semakin bergetar hebat. Pikirannya kacau, ia tidak menemukan ide untuk menghentikan Yoga. Ia hanya berharap kepada Tuhan agar rahasianya tak terbongkar sebelum Bia dapat menemukan kebenaran dalam hidupnya.

"Kenapa lagi, Yog?" tanya Sandi.

"Eh, ini ada pesan masuk dari nomor baru ke nomor pak Tiar dari 5 menit yang lalu," ucap Yoga. Lagi dan lagi Bia merasa terselamatkan.

Mendengar ucapan temannya, Dafa dan Sandi beranjak dari kursi masing-masing lalu menghampiri Yoga. Mereka berdua melihat ke arah komputer Yoga. Pesan tersebut berisi ancaman kepada pak Tiar.

'Saya tunggu 1 kali 24 jam, jika uang itu belum masuk di rekening saya sesuai kesepakatan, saya yang akan menjemput anak kamu, Kenzi, di sekolah.'

Isi pesan tersebut dibaca dengan lantang oleh Sandi. Tentu saja pengirimnya adalah Andi.

"Kenzi siapa?" tanya Sandi.

"Mungkin keluarganya," jawab Bia yang kali ini coba membaur membahas pekerjaan.

"Lacak sekarang," pinta Dafa.

Yoga mengangguk, ia menggerakkan jari jemarinya dengan cepat. Ia coba melacak nomor telepon yang baru saja menghubungi pak Tiar.

Setelah cukup lama, Yoga mulai cemas, "gak bisa," jawab Yoga lalu menghentikan pekerjaannya. Ia tak mencobanya lagi lantaran yakin bahwa nomor tersebut sudah tidak dapat terlacak. Sandi dan Dafa pun tak memaksa Yoga untuk mencoba kembali. Mereka paham betul dengan kemampuan Yoga. Jika memang tak bisa, dicoba kedua kali juga tidak akan bisa.

"Artinya pemilik nomor ini juga bukan orang sembarangan," ucap Sandi.

Yoga mengangguk setuju. "Kita harus gimana sekarang?" tanyanya.

"Berangkat," ucap Dafa tiba-tiba lalu berjalan dengan cepat keluar kantor. Sandi dan Yoga pun bergegas mengikuti Dafa. Tak lupa, Yoga membawa sebuah tab yang berada di atas mejanya. Sementara itu Bia masih terdiam tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Ayo, Bel," ajak Sandi yang melihat Bia tak bergerak sedikit pun.

"Ha? Oke," jawab Bia lalu menyusul temannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status