Utami baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Dia bermaksud pergi ke butik lalu beraktivitas seperti biasa. Suasana rumah sangat sepi kala gadis itu melintasi bagian demi bagian. Rumah itu memang selalu sepi. Selain dirinya adalah anak tunggal, kedua orang tuanya juga sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing. Papinya dengan perusahaan yang beranak pinak. Sedangkan maminya dengan usaha franchise makanan yang semakin berkembang dengan pesat.
“Iya, Feb, aku masih di rumah, kamu cek stok dulu, nanti kita bicarain.” Utami menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sembari terus melangkahkan kaki. “Tami! Nggak sarapan dulu?” Utami memandang ke sumber suara. Ternyata maminya ada di ruang makan. Dia yang barusan memanggil Utami. Bukan hanya maminya, namun papinya juga ada di sana. Utami yang tadinya berniat untuk sarapan di butik mengurungkan niat tersebut lalu membelokkan langkah menuju meja makan. “Aku pikir Mami masih di Bandung. Kapan nyampe, Mi?” Utami tanyakan sembari menarik kursi lantas menempatkan diri di sana. “Kemarin malam, mungkin kamu udah tidur.” Utami mengangguk lalu menyuap oatmeal dengan topping buah kering yang disuguhkan padanya. Kamu mau ke mana, Ta?" Kali ini Mahawira yang bertanya. "Ke butik, Pi." "Gimana butik? Lancar?" "Lancar, Pi. Aku sering out of stock sekarang." Utami tersenyum menceritakannya. Baju-baju yang dijual di butiknya selalu diburu dan ludes dalam waktu yang singkat. Selain pakaian yang dia jual sangat modis dan berkualitas bagus, Utami sangat ramah. Gadis itu tahu betul bagaimana caranya menonjolkan image princess dalam dirinya. "Papi ikut senang. Semoga usaha kamu makin sukses." "Makasih ya, Pi. Usahaku berjalan dengan lancar adalah berkat doa Papi juga." Mahawira mengangguk-angguk. "Kalau kabar Joandra gimana?" Mahawira dan istrinya serentak memandang ke arah putri mereka. "Jo kayak biasanya sih, Pi." "Memangnya sampai kapan dia mau jadi berandalan?" Utami menatap papinya lekat. Dia tidak senang mendengar istilah yang disebut barusan disematkan pada kekasihnya. "Maksud Papi berandalan apa ya?" "Gimana nggak berandalan? Demo sana demo sini dan selalu saja bikin huru-hara. Memangnya dia dapat apa dari itu semua?" Ini bukanlah untuk pertama kali orang tuanya protes. Dan Utami selalu menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari pekerjaan Joandra. "Bukan huru-hara, Pi. Itu kan bagian dari pekerjaannya Jo," kata Utami membela pria yang dicintainya. Bibir Mahawira melengkung miring. "Di mana-mana yang namanya orang bekerja selalu mendapat uang. Tapi coba lihat dia. Apa yang didapatkannya? Mau sampai kapan memangnya dia buang-buang waktu dan energi kayak gitu?" "Iya lho, Ta, Mami setuju dengan papimu. Lebih baik Joandra menerima tawaran Papi. Dia nggak usah khawatir. Papi pasti akan membayar dia setinggi mungkin. Tinggal sebut dia mau berapa." Maudy, perempuan berambut pendek itu yang merupakan maminya Utami ikut berpendapat. "Aku sudah bilang begitu, Mi, Pi, tapi Jo yang nggak mau." "Alasannya apa?" "Joandra sungkan kerja sama Papi, soalnya Papi kan orang tua aku." "Aneh pacarmu itu, Ta," kecam Maudy. "Semestinya dia senang dan merasa beruntung punya calon mertua seperti papimu," omel wanita itu lagi yang tidak terima alasan yang dikemukakan putrinya. Utami tidak menjawab. Di saat yang sama ponsel Mahawira berbunyi. Pria itu mengambil benda tersebut yang terletak di atas meja tepat di samping piringnya. Kemudian wajahnya yang tadi tampak santai berubah menjadi serius. Lelaki itu tampak tegang. Utami pikir itu pasti dari Jati, tangan kanan sang papi yang melaporkan entah apa. Mahawira mengembalikan ponsel ke meja dengan sedikit hentakan yang mengundang perhatian putri dan istrinya. "Ada apa, Pi? Siapa yang menelepon?" tanya Maudy. Perempuan itu khawatir menyaksikan wajah suaminya yang mengeras. Mahawira mengembuskan napas dengan kasar sebelum memberi tahu. "Dari Jati." "Jati bilang apa? Kenapa Papi tegang begitu? Ada masalah?" "Ada yang melaporkan perusahaan kita, Mi." "Kurang ajar. Siapa sih orang sirik itu? Kompetitor? Kalah saing ya kalah saing. Semestinya mereka bisa menerima dengan lapang dada." Maudy menggerutu panjang. Kesal pada orang yang tidak bertanggung jawab yang iri pada mereka. "Bukan kompetitor," bantah suaminya. "Lalu siapa?" Mahawira memandang pada sang putri yang seperti tidak ambil pusing pada apa pun yang bukan menjadi urusannya. "Joandra," sebut pria itu kemudian. Bersambung~Utami tidak tahu kesalahan sebesar apa yang telah dilakukannya sehingga hidup benar-benar kejam padanya. Berita mengenai suami dan papinya ada di mana-mana. Di televisi, di media online, di saluran streaming dan entah apa lagi. Ke manapun Utami pergi dia hanya mendengar orang-orang berbisik-bisik membicarakan kemalangannya.Utami ingin menangis, namun air matanya sudah kering sejak Joandra meninggalkannya. Di kantor para pegawai membicarakan di belakangnya. Saat Utami muncul mendadak bisik-bisik itu tidak terdengar. Mereka semua diam.Setiap kali Utami melintas dia akan menerima tatapan kasihan dari orang-orang itu. Padahal Utami tidak ingin dikasihani.Sedangkan di rumah, Utami juga harus menyaksikan maminya yang menangis setiap hari meratapi nasib mereka.Begitu pula dengan mertuanya yang tidak sanggup menerima kenyataan pahit itu.Saat ini Utamilah yang mengambil alih kepemimpinan Mahawira Group. Hari-harinya diisi dengan mengurus perusahaan. Utami berniat menjual beberapa anak p
Utami menatap dirinya di cermin selagi makeup artist meriasnya.Bukan hanya mereka berdua di sana. Tapi ada juga Inka dan Tiwi yang merupakan sahabat Utami."Tami, lo kenapa sih? Dari kemarin wajah lo gitu-gitu aja. Apa lagi memangnya yang lo pikirin?" ujar Inka menyaksikan muka tidak bersemangat Utami."Nggak mikirin apa-apa. Nih gue senyum." Utami melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyum sembari menatap kedua sahabatnya melalui kaca."Senyum lo nggak tulus," komentar Tiwi.Utami melengkungkan bibirnya lebih lebar. Namun tetap saja tidak terlihat bahagia."Mbak Tami-nya mungkin lagi nervous, Mbak. Biasalah, namanya juga mau nikah," sela penata rias ikut berkomentar.Utami tersenyum sekali lagi. Syukurlah ada yang membantunya menggiring opini sehingga kecurigaan para teman-temannya tidak berlanjut lebih jauh.Tidak ada yang mengerti perasaan Utami selain dirinya sendiri bahwa pernikahan ini adalah hal paling berat yang harus dia jalani. Utami ingin berbagi. Tapi dia tahu semua i
Utami tidak mengira jika reaksi yang akan dia terima dari Joandra adalah pelukan hangat seperti ini. Pelukan yang sudah bertahun-tahun Utami rindukan.Utami balas dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Joandra. Dia menahan agar air matanya tidak menetes."Maaf untuk apa, Jo?" lirihnya dalam pelukan Joandra.Banyak yang ingin Joandra sampaikan. Tak sedikit hal yang ingin dia ungkapkan. Bahwa kata maaf tadi adalah mewakili seluruh kesalahannya yang tidak terhitung dan mungkin tidak akan pernah termaafkan.Kemudian yang terucap dari mulutnya adalah, "Maaf karena aku membuat semua ini terjadi.""Kamu nggak salah, Jo. Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan," balas Utami dengan pelukan yang lebih erat.Utami tidak ingin semua ini berakhir. Dia masih ingin berada lebih lama lagi di pelukan Joandra. Namun harapannya tak terkabul.Bagai disadarkan oleh kenyataan, Joandra melepaskan Utami dari dekapannya. Mereka sedang berada di ruang publik. Joandra tidak ingin menambah masalah
Hampir dua minggu lamanya Joandra berada di Medan. Begitu kondisinya pulih lelaki itu kembali ke Jakarta dan memulai aktivitasnya seperti sediakala. Berhubung pemilu sudah selesai maka Joandra lebih banyak menghabiskan hari-harinya di LBH Justicia. Tempatnya mengabdi selama ini."Bang, ada surat buat lo." Angga memberi amlop pada Joandra.Lelaki itu menerimanya, melihat nama pengirim dengan seksama kemudian membaca isi surat tersebut."Astaga." Itu kata pertama yang berhasil keluar dari mulut Joandra setelah membaca surat tersebut."Kenapa, Bang?" Angga bertanya ingin tahu."Gue dipanggil Peradi," beritahu Joandra. Peradi adalah organisasi yang menaungi para advokat di Indonesia."Masalahnya?""Kayaknya ada yang ngelaporin gue, katanya gue ngelanggar kode etik sebagai advokat.""Adaaa aja masalahnya." Angga ikut geram mengetahuinya. Seakan tidak cukup dengan mencelakai Joandra, orang-orang masih ingin menjatuhkannya dengan cara yang lain.Joandra hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu.
Sidang hari ini berlangsung panas. Pihak penggugat dan tergugat keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka merasa berada di jalan yang paling benar dan bersikukuh mempertahankan pendirian masing-masing. Beberapa kali sidang terinterupsi karena Daniel yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan Joandra tetap terlihat tenang meski adu argumen seperti ini tidak hanya membutuhkan pikiran namun juga menguras energinya. Terlalu banyak berbicara memicu perasaan perih bekas operasi di perutnya. Namun, Joandra menyimpan dari orang-orang. Dia tidak boleh cengeng karena akan membuatnya lemah. Itu hanyalah bekas operasi. Semua orang yang pernah mengalami operasi pasti pernah merasakannya.Dari tempat duduknya Utami memerhatikan Joandra. Khawatir laki-laki itu akan tumbang saat sidang sedang berlangsung. Tapi syukurlah. Yang ditakutkannya tidak terjadi. Joandra baik-baik saja sampai sidang berakhir.Satu demi satu orang-orang yang menghadirinya keluar dari ruangan. Sid
Joandra memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas Utami yang saat ini sedang menatapnya. Bukan hanya itu saja. Selain tangannya yang menggenggam jemari Joandra, tangannya yang lain menelusup ke setiap helai rambut laki-laki itu lalu membelainya dengan lembut.Perasaan malu dan bersalah menghimpit dada Joandra. Malu karena Utami sudah memberi pertolongan sampai sebegininya sedangkan besok dia harus menghadapi orang tua gadis itu. Juga merasa bersalah lantaran terlalu sering menyakiti Utami.“Sakit, Jo?” tanya Utami saat melihat Joandra meringis sembari menyentuh perutnya.“Sedikit,” jawab laki-laki itu. Seharusnya saat ini dia berada di tempat yang nyaman dan melalui masa-masa perawatan di bawah pengawasan tenaga medis.“Sabar ya, Jo. Ini nggak akan lama kok. Sebentar lagi kita nyampe.” Utami ikut meringis melihat ringisan di wajah Joandra. Meskipun waktu tempuh dengan menggunakan pesawat pribadi lebih singkat dibandingkan pesawat komersial, namun detik demi detik waktu terasa begitu